Seringkali Orang Tua Tidak Mendukung Perkembangan Anak seperti yang Seharusnya

2 0 0
                                    

{Karya ini telah diterbitkan dalam buku Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak dari penerbit Sekolah Menulis Indonesia pada Desember 2020 ISBN 978-623-7181-81-1}

Orang tua tanpa sadar telah membuat kesalahan dengan menganggap diri mereka adalah seseorang yang mengetahui segala jenis kebutuhan anaknya. Padahal, setiap anak memiliki kemampuan dan kesulitan beradaptasi yang berbeda-beda. Pengaruh lingkungan dan zaman ketika anak dibesarkan tentu saja akan berbeda dengan bagaimana orang tua dulu. Selain itu, anak juga perlu menemukan dan mengatasi kesulitan yang akan dihadapinya di setiap fase kehidupan. Orang tua hanya perlu mendukung dan memberikan informasi yang dapat membuat anak mengerti tentang krisis atau masalah yang mereka hadapi.

Walaupun demikian, masih sering ditemui adanya orang tua yang memaksakan kehendaknya pada anak. Ada juga orang tua yang menyepelekan kebutuhan anaknya sewaktu masih balita. Kebanyakan dari orang tua tidak mengetahui bahwasanya masa depan anak mereka sangatlah bergantung pada pola asuh yang diberikannya semasa kecil. Beberapa orang tua mungkin merasa tidak ingin anaknya merasakan krisis atau kesulitan dalam hidup dengan bersikap overprotective terhadap anaknya. Padahal, selain peran dari orang tua, anak perlu mengekplorasi dirinya sendiri di lingkungan sekitarnya seperti pada teman sebayanya. Orang tua hanya perlu membimbing anaknya dan memberikan pemahaman yang dapat menjadi bekal untuk anak menyelesaikan krisis yang akan dilaluinya di masa selanjutnya. Untuk dapat mengetahui apa yang perlu diberikan orang tua kepada anaknya, orang tua perlu memahami bagaimana proses perkembangan anaknya dan kesulitan apa yang akan dihadapi anaknya sehingga anak bisa lebih siap untuk menjadi orang dewasa yang dapat diandalkan di masa depannya.

Berdasarkan teori perkembangan psikososial oleh Erick H Erikson dalam "Childhood and Society" serta "Identity, Youth and Crisis", siklus kehidupan manusia yang terdiri dari delapan fase, masing-masing fasenya memiliki krisis yang akan menentukan apakah seseorang itu berhasil mencapai perkembangan yang positif atau gagal dan berkembang secara negatif. Keberhasilan dari penyelesaian krisis dalam suatu tahapan akan menentukan kesiapan individu dalam menghadapi krisis pada tahap berikutnya. Fase tersebut yaitu Trust vs Mistrust, Autonomy vs Shame and Doubt, Initiative vs Guilt, Industry vs Inferiority, Identity vs Role Confusion, Intimacy vs Isolation, Generativity vs Stagnation, serta Integrity vs Dispair. Untuk anak hingga berusia 21 tahun, fase yang dilalui adalah dari Trust vs Mistrust hingga Identity vs Role Confusion.

Untuk fase Trust vs Mistrust yang dimulai sejak anak dilahirkan hingga berusia 18 bulan, anak membutuhkan rasa aman, percaya, dan harapan dari ibu atau pengasuh utama. Anak membutuhkan perhatian penuh dari ibu atau pengasuh utama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pemberian ASI yang terjadwal dan konsisten sehingga dapat membuat anak belajar untuk toleransi karena nanti ia sudah yakin bahwa akan diberikan ASI tersebut. Namun, jika pada fase ini, anak tidak mendapatkan perhatian penuh dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, ia akan menjadi seseorang yang tidak percaya pada orang lain. Bahkan, hal ini dapat menjadi predisposisi psikopatologi depresi dan skizofrenia ketika anak dewasa.

Proses selanjutnya yaitu Autonomy vs Shame and Doubt hingga anak berusia tiga tahun. Di jangka waktu usia tersebut, anak akan mulai menunjukkan keinginan dirinya dengan cara menolak perintah orang tua. Dengan membiarkan anak mengeksplorasi batas kemampuan mereka dalam lingkungan yang mendukung dan toleran terhadap kegagalan, diharapkan anak dapat mengendalikan dirinya dan mampu menunda kesenangan ketika ingin mendapatkan hal yang diinginkan. Jika pada fase ini anak tidak diberi dukungan, di masa mendatang anak akan sering merasa malu dan ragu ketika ingin menyampaikan keinginannya. Di masa dewasanya, hal ini dapat menjadi predisposisi psikopatologi gangguan obsesif kompulsif, perfeksionisme, kaku dan tidak fleksibel.

Tahapan berikutnya adalah Initiative vs Guilt yang berlangsung hingga berusia lima tahun. Pada proses ini, anak mulai mengembangkan rasa keingintahuan, empati, simpati, bahasa, imajinasi, eksplorasi, partisipasi aktif, dan mengetahui perbedaan gender. Orang tua diharapkan untuk mendukung apa yang akan lakukan jika tidak membahayakan. Jika perkembangan di proses ini berhasil, anak dapat memiliki kemampuan inisiatif, ambisi, realistis, dan tujuan ketika dewasa. Namun, jika proses ini gagal, anak akan merasa malu dan cemas yang dapat menjadi faktor predisposisi gangguan konversi, inhibisi, dan fobia.

Selanjutnya, fase Industry vs Inferiority yang akan berlangsung hingga anak berusia 13 tahun. Pada fase ini, anak mulai membentuk rasa percaya diri, regulasi emosi, penguasaan diri, dan sudut pandang pribadinya. Anak akan mulai memiliki kesenangan dalam menghasilkan sesuatu dan jika berhasil ia akan merasa memiliki kompetensi dan bangga akan dirinya. Namun, jika gagal, anak akan merasa rendah diri.

Tahap terakhir dari masa anak adalah Identity vs Role Confusion hingga berusia 21 tahun. Pada masa ini, anak ingin menunjukkan identitas dirinya dengan cara mengatur dirinya sendiri. Selain itu, anak membutuhkan pengakuan dari teman sebaya yang dipengaruhi oleh rasa saling percaya. Untuk mendapatkan hal tersebut, anak akan berusaha menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di kelompok tersebut. Namun, jika anak tidak mampu menemukan identitas dirinya, ia dapat melakukan penyimpangan.

Dari kelima tahapan perkembangan psikosial tersebut, orang tua diharapkan untuk memenuhi kebutuhan anak agar dapat melewati tahapan tersebut dengan baik. Hasil yang diharapkan dari setiap tahapannya secara berurutan meliputi anak memiliki harapan, keinginan untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang bertujuan, kompetensi, dan komitmen. Peran orang tua di sini adalah memastikan anak menjalani dengan baik proses fase tersebut dengan membantu dan mendukung anak. Diharapkan juga orang tua mampu memahami dan memberikan pengertian atas konflik yang sedang dihadapi anaknya. Dengan demikian, anak akan lebih siap untuk melewati fase psikososial berikutnya.











Referensi
1. McLeod SA. Erik Erikson's stages of psychosocial development. Simply Psychology. 2018 May 3. Available from: https://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html
2. Orenstein GA, Lewis L. Eriksons stages of psychosocial development. [Updated 2020 Mar 9]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556096/
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. Eleventh edition. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2015.
4. Rey J. IACAPAP textbook of child and adolescent mental health. Geneva: International Association for Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions, IACAPAP; 2015.

Back in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang