{Karya ini telah diterbitkan dalam buku Aku Pernah Salah Langkah dari penerbit Sekolah Menulis Indonesia pada Agustus 2021}
Hujan membasahi Kota Depok dengan gelagar petir dan angin yang semakin lama makin menyeramkan. Saya tak bisa memilih pilihan lain selain mengambil keputusan yang tidak menguntungkan untuk bisa pulang dengan fasilitas ojek online yang biasanya. Terpaksa, saya berjalan sendirian menghadang angin kencang menuju stasiun kereta yang dipenuhi orang-orang yang baru saja pulang kuliah atau kerja. Lelah semakin terasa ketika saya harus memasuki kereta yang sudah penuh dengan orang-orang yang sama lelahnya. Saya menarik napas dan berusaha untuk tetap waspada atas segala hal yang mungkin saja bisa terjadi.
Sepanjang perjalanan, saya memerhatikan penumpang kereta yang mendapatkan tempat duduk. Banyak dari mereka adalah pria yang sudah kelelahan mencari nafkah keluarga dan memilih untuk sedikit egois dengan pura-pura tertidur demi menghindari tatapan tidak suka dari wanita karir yang ingin diutamakan. Saya teringat tujuan feminisme yang menuntut kesetaraan gender wanita dan laki-laki di masyarakat. Apakah untuk mencapai tujuan tersebut juga termasuk perihal waktu cuti bagi perempuan yang melahirkan dan istilah ladies first di masyarakat perlu dihilangkan? Jika demikian, mengapa banyak wanita yang merasa direndahkan ketika mereka tidak diutamakan? Sebenarnya mengapa banyak aliran-aliran baru di masyarakat yang justru menjadi alat perusak kesatuan manusia?
Saya tidak mengerti dengan pemikiran manusia. Mereka memiliki akal namun melakukan hal yang tidak masuk akal. Mereka mencari masalah dan memperbesar masalah tersebut hingga menghasilkan masalah-masalah baru. Bahkan banyak dari mereka yang menyia-nyiakan waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting di luar sana. Sebut saja penggunaan sosial media sejenis Instagram, TikTok, Twitter, dan lainnya yang lebih banyak ruginya daripada manfaatnya. Beberapa ada yang memanfaatkannya dengan baik, namun banyak yang sebaliknya. Mengapa manusia diciptakan dengan akal jika pada akhirnya malah bersikap seperti tidak punya akal?
Kereta akhirnya sampai di stasiun tempat tujuan. Hujan sudah reda dibandingkan sebelumnya. Saya mencoba menghindari kerumunan dan menjaga barang bawaan dengan waspada. Beberapa menit kemudian, akhirnya saya tiba di rumah. Segera menjalankan aktivitas yang biasanya dan berusaha melupakan pemikiran tentang manusia sebelumnya. Hingga malam hari tiba, saya mengecek grup angkatan untuk berjaga-jaga jika ada informasi penting. Selain grup angkatan, tidak ada lagi urusan dengan siapa pun. Bagi saya, hubungan pertemanan antarmanusia itu hanyalah buang-buang waktu dan tenaga. Tidak ada manfaatnya kecuali untuk hal-hal remeh seperti mencari koneksi orang dalam dan sejenisnya yang bukan menjadi urusan saya.
Hari-hari berikutnya, saya menemukan kabar baik. Saya tidak lagi harus datang ke kampus untuk menghindari penularan corona. Tidak ada lagi manusia di sekitar saya dan saya tidak lagi perlu mengurusi sapaan orang sekitar yang hanya sekadar basa-basi. Saya tidak butuh manusia yang tidak bisa memanfaatkan waktu mereka dengan baik. Apalagi mereka yang bisanya mengasihani diri, terlarut dalam penyesalan dan pengandaian “bagaimana jika”, dan terlalu emosional. Melelahkan sekali jika harus berurusan dengan manusia.
Selama bertahun-tahun, saya tidak menyukai keberadaan manusia di sekitar saya. Saya lebih memilih untuk menyibukkan diri dalam lautan ilmu yang dapat dinikmati dengan mudah melalui buku bacaan. Sayang sekali bagi mereka yang tidak menemukan kesenangan di balik lembaran-lembaran tulisan pemikiran orang-orang hebat dari berbagai generasi ini. Mereka justru menghabiskan waktu di depan ponsel dengan scrolling dan menonton video dari orang-orang yang tidak jelas kehidupannya. Pemikiran itu semua masih tertanam hingga suatu kejadian aneh tapi nyata yang datang pada beberapa bulan berikutnya.
Saya mati, di dalam sebuah mimpi yang begitu terasa nyata, atau sepertinya itulah yang saya kira. Saya melihat dari atas sana bahwa tidak ada seorang pun yang mengingat dan menangisi kepergian saya. Hanya kilasan beberapa orang yang berbisik merasa kasihan namun sepertinya mereka bersyukur atas kematian saya karena saya melihat mereka menyunggingkan bibirnya. Saya tidak menghasilkan apa-apa yang bisa diberikan kepada orang tua saya selain predikat calon lulusan sarjana yang tidak jadi sarjana karena nyawanya sudah dicabut. Saya kembali melihat masa sekolah saya sebelum kuliah. Di sana, saya tidak mengenal siapa-siapa selain guru yang membantu saya hingga lulus. Orang yang saya hormati hanyalah guru saya. Teman? Apa itu teman? Saya tidak begitu mempedulikannya.
Masih di dalam mimpi, saya tiba-tiba dibawa ke atas. Mungkin di atas awan? Saya bertemu dengan seseorang dan di sana ia bertanya mengenai apakah ada yang disesali dari diri saya. Saat ditanya demikian, saya bingung untuk menjawabnya. Lalu, saya teringat orang tua saya bahwa saya belum memberikan apa-apa selain nilai raport yang tinggi dan hanyalah sebatas angka di atas kertas. Saya menelan ludah dan ia bertanya lagi mengenai keinginan saya untuk kembali ke dunia. Saya akhirnya mengangguk dan tiba-tiba saja saya terbangun dari mimpi dengan keadaan keringat dingin di sekujur tubuh saya. Saat terbangun, saya kaget dengan mimpi yang begitu nyata itu. Lalu, saya tertawa dalam gelap dan bersyukur karena masih hidup. Sejak saat itu, saya mulai mempertanyakan diri terkait apa yang ingin saya berikan ke dunia ini sebelum terlambat. Alhasil, saya mulai belajar mengembangkan diri, bersosialisasi, dan lebih banyak membantu orang tua.
Saya juga mulai merenungi alasan saya tidak menyukai manusia. Saya mencoba mengenalinya lebih banyak dari sebelumnya dengan cara membaca buku seperti psikologi, sosiologi, dan filosofi. Saya mencoba terbuka kepada orang lain seperti yang disarankan dari buku pengembangan diri yang saya baca. Saya mencoba berteman dan mencari sahabat yang bisa saya percaya. Saya mulai menulis buku dan mengikuti organisasi serta komunitas yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan cara pandang saya. Perlahan namun pasti, saya mulai menyadari dan memahami berbagai perspektif manusia. Saya belajar berempati dan mengulurkan bantuan tanpa diminta. Saya merasa bahwa kali ini saya benar-benar hidup.
Saya melihat masih banyak orang-orang yang luar biasa dan sangat inspiratif di sekitar saya. Saya tersadarkan bahwa mungkin saja manusia yang terlihat tidak masuk akal bagi saya sebenarnya memiliki alasannya sendiri dan jika saya mencoba mengenalinya lebih banyak ternyata bisa dipahami. Saya menjadi tertarik dengan pemikiran orang-orang yang memiliki cara pandang yang berbeda dari diri saya. Sekarang, saya yakin bahwa saya menyukai manusia itu sendiri. Saya merasa bahwa saya belajar lebih banyak setahun ini dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya, pelajaran hidup yang lebih berharga daripada pelajaran yang didapat hanya dari sekolah. Mungkin memang benar kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.” Manusia nyatanya ada untuk saling melengkapi kehidupan manusia lain di dunia ini.
Jika suatu saat nanti saya ditanya kembali apakah saya menyesal, setelah saya mengubah pemikiran saya dan cara hidup saya sekarang, saya bisa menjawab bahwa saya tidak menyesal. Alasannya, saya sudah belajar dan berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu merupakan bagian dari pelajaran yang diberikan kepada saya tahun ini. Jadi, saya bersyukur bisa mengetahui bahwa sebelumnya saya pernah salah langkah dan sekarang saya sudah belajar dari itu semua. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back in Time
Non-FictionKumpulan karya fiksi dan non-fiksi yang pernah ditulis bertahun-tahun sebelumnya untuk dilombakan atau diterbitkan. Ada yang menang dan ada yang kalah, namun tak apa karena semua akan menjadi sejarah yang ditulis dalam media yang tak akan hilang dim...