Kedai Kopi Manusia

3 0 0
                                    

Aku menyusuri pinggir jalan raya menuju tempat kesukaanku. Sebuah tempat yang cukup ramai ketika sore hari mulai tiba. Aku mengenal pemilik tempat yang disebut kedai kopi itu. Ia seringkali membagikan sepotong ikan yang entah dari mana ia temukan di bahan belanjaannya. Ia tersenyum ketika aku datang untuk meminta makananku.

“Akashi!! Akhirnya, kamu datang juga,” sambutnya ketika aku memasuki tempat tersebut melalui pintu kecil khusus.

“Meow,” ucapku meminta makananku untuk segera diberikan.

“Tunggu sebentar, aku ambilkan dulu ikan khusus untukmu”, ucap pemilik kedai itu.

Aku memakan makananku di tempat yang telah disediakannya. Sambil aku menikmati makananku, manusia yang seringkali datang di saat yang sama denganku membuka pintu besar yang biasa dipakai manusia.

“Biasa ya,” ucapnya memesan kopi yang seringkali ia habiskan berjam-jam lamanya hanya untuk mengobrol dengan pemilik kedai.

“Silakan dinikmati,” ucap pemilik kedai dengan ramah.

“Sampai kapan kamu menolak lamaranku?” ucap laki-laki dewasa kepada kakak pemilik kedai yang telah menjadi pusat perhatiannya selama berbulan-bulan.

“Maaf Rik, saya tidak ingin membahas hal tersebut ke sekian kalinya,” ucapnya.

“Aku sudah menunggu bertahun-tahun, menyiapkan segalanya, mengapa kakak masih tidak ingin menerimaku?” ucap laki-laki itu terus membahas hal yang sama seperti pertemuan sebelumnya.

“Sudah berapa kali saya katakan bahwa saya tidak tertarik untuk membahas hal tersebut,” ucap ia tegas.

“Namun, kamu tidak pernah memberikan alasannya. Mengapa kamu menolakku? Bukankah kamu sebelumnya menyukaiku? Aku menolakmu dulu karena aku belum merasa pantas untukmu. Apakah aku tidak bisa diberikan kesempatan kedua?” ucap laki-laki itu mulai mengakui asal-usulnya.

“Itu kan dulu. Perasaan saya sudah berubah. Lagipula, bukankah Anda sendiri yang mengatakan bahwa sebaiknya kita bersahabat saja?” ucap perempuan itu mulai tidak sabar.

“Apakah kamu sudah memiliki seseorang?”

“Tidak. Saya tidak ingin membuatmu menunggu lagi. Saya kan sudah bilang kalau saya sebentar lagi akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Saya tidak ingin menikah dulu.”

“Aku tidak masalah jika menunggumu lagi.”

“Tidak ada yang tahu perasaan manusia.”

“Aku akan mengatur perasaanku hanya untukmu.”

Aku melihat pemilik kedai merasa kesal, namun ia tidak bisa mengusir pelanggannya tersebut. Aku sepertinya akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya.
Praakkk. Secangkir kopi yang sengaja ditunggu berjam-jam itu akhirnya ludes dan tumpah ke badan laki-laki itu.

“Kucing kurang ajar!”

“Sebaiknya Anda pulang saja.”

Laki-laki itu akhirnya pergi meninggalkan kedai kopi dengan kesal. Tak lama kemudian, pemilik kedai memutuskan menutup kedainya karena sudah tidak ada pengunjung. Aku segera pulang ke rumahku.

Lima tahun kemudian, di tempat yang sama.
“Fera, aku harap kamu bisa datang ke pernikahanku minggu depan,” ucap laki-laki itu sambil memberikan surat undangan pernikahannya.

“Baiklah. Saya pasti datang ke pernikahanmu, Rik.”

Laki-laki itu kemudian pergi lagi setelah memberikan undangannya. Tak lama kemudian, aku yang masih sering mengunjungi kedai tersebut, mendengar suara isak tangis dari pemilik kedai tersebut.

“Katamu, akan menungguku. Aku rela kembali ke Indonesia demi dirimu. Namun, kamu justru memberikan undangan pernikahanmu dengan wanita lain,” kata ia sambil terseguk-seguk.

“Meow,” ucapku ingin menenangkannya.

“Sepertinya hanya kamu yang selalu kembali ke sini meskipun aku pergi ke banyak tempat dalam waktu yang cukup lama,” ucapnya sambil memelukku.

“Meow”

“Baiklah, aku harus kuat. Ternyata memang ia bukan jodohku.”

Setelah itu, Fera kembali menutup kedai kopi tersebut. Aku kembali ke rumahku. Sepertinya, aku harus melakukan sesuatu.

Aku berdoa kepada Tuhan agar aku bisa menjadi manusia untuknya. Keesokan harinya, aku, bangun dari tidurku yang panjang. Namun, ada yang berubah. Aku menjadi manusia. Selain itu, aku melihat seseorang yang aku kenal selama ini.

“Fera?” panggilku untuk membangunkannya.
“Riko! Dok! Dokter!” teriaknya memanggil dokter untuk memeriksa diriku.

Tak lama kemudian, dokter tersebut berkata, “Ini suatu mukjizat dari Tuhan. Saat ini, Riko sudah stabil dan membutuhkan maksimal sebulan masa rehabilitasi untuk dipulangkan.”

“Riko, maafkan aku karena membuatmu bingung selama ini.”

“Bisa ceritakan, apa yang terjadi?”

“Tujuh tahun yang lalu, aku sedang berada di Jerman. Kamu datang ke sana untuk melamarku dan aku justru menyuruhmu pulang karena kamu pasti menemukan orang yang lebih pantas dibandingkan aku. Beberapa bulan setelah kamu pulang, aku kembali ke Indonesia, dan kamu tiba-tiba saja memberiku surat undangan pernikahanmu dengan wanita lain. Namun, saat aku akhirnya datang ke tempat undanganmu tersebut dengan sedikit terlambat, bom bunuh diri yang dikirim oleh seseorang yang merupakan musuh dari calon istrimu meledak ketika aku mendekati lokasi tersebut. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkanmu hingga tiba-tiba saja kamu dengan tertatih-tatih berusaha keluar dari tempat tersebut. Aku segera membawamu ke rumah sakit, namun selama tujuh tahun, kamu berada dalam koma karena adanya kerusakan pada otakmu. Aku turut berduka dengan kematian calon istrimu, Rik” jelasnya panjang lebar.
Namun, aku sama sekali tidak mengingatnya. Aku tidak mengingat diriku sebagai Riko. Aku hanya mengingat bahwa aku melihat Riko ketika aku menjadi kucing. Sebenarnya, apa yang terjadi? Aku bertanya-tanya dalam diriku.

“Apakah kucing yang selalu datang ke kedaimu masih ada hingga saat ini?”

“Kucing itu …sudah meninggal tepat pada harimu akan menikah.”

Namun, aku di sini. Aku adalah kucing itu. Aku juga bukanlah Riko yang kamu kenal.

“Aku tidak bisa mengingat masa laluku, Fera.”

“Aku akan membantumu mengingatnya Riko”

Beberapa bulan kemudian, aku sebagai Riko, melaksanakan acara pernikahan dengan Fera. Aku tidak mengerti apa-apa dengan dunia manusia. Aku juga hanya mengenal Fera saat ini. Aku tidak mengenal siapa pun. Bagaimana kah kabar Riko yang sebenarnya? Apakah ia akan senang jika aku menggantikan kesadarannya di tubuhnya sendiri? Namun, aku tidak bisa mengatakan hal ini pada siapa pun, bukan? Bisa-bisa aku dikira gila karena menganggap diriku adalah kucing. Walaupun seringkali aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memesan ikan jika makan sesuatu. Bahkan Fera mulai bertanya-tanya karena seingatnya itu Riko justru alergi dengan ikan. Aku hanya menggaruk kepala dan mengatakan bahwa aku suka ikan sekarang.

Fera tersenyum dan berkata, “Baguslah. Aku akan memberikanmu ikan setiap hari seperti halnya yang aku berikan pada kucingku dulu.”

Jika aku masih seekor kucing, mungkin ekorku akan berkibas-kibas saking senangnya. Namun, karena aku sekarang adalah manusia, aku hanya bisa tersenyum untuk menutupi rasa senangku itu.

“Apakah kamu mau berkunjung ke kedai kopiku?” tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum.

“Rasanya aneh melihatmu sering tersenyum karena dulu kamu itu sangat jarang tersenyum,” katanya lagi.

Beberapa menit kemudian, aku dan Fera tiba di kedai kopinya. Kali ini, kedai kopi tersebut sudah hampir tiga kali lipat dari apa yang aku ingat. Pegawai kedai tersebut langsung menghampiri kami dan menunjukkan rasa hormat kepada pemilik kedai tersebut.

“Ruang VVIP telah dipersiapkan,” ucapnya sambil memberikan kunci ruangan kepada Fera.

“Ok, terima kasih ya.”

Aku di bawa ke ruang tersebut yang ternyata adalah ruangan yang sama seperti tujuh tahun yang lalu. Lengkap dengan tempat makanku dulu sebagai kucing. Tanpa sadar, aku meneteskan air mataku. Aku buru-buru mengelapnya takut Fera menjadi khawatir.

“Bagaimana? Apakah kamu suka?”

“Sangat suka.”

Ia tersenyum dan membuatkan kopi yang katanya adalah kopi kesukaanku. Namun, ketika awal aku mencobanya, aku benar-benar tidak paham mengapa Riko menyukai kopi seperti itu. Akan tetapi, sekarang aku paham alasannya. Kopi yang pahit itu mengingatkanku akan masa-masa menyakitkan yang pernah aku alami. Namun, ketika aku melihat Fera duduk di depanku dan menatapku dengan penuh kasih sayang, rasa pahit itu berubah menjadi kenangan manis yang tidak bisa aku lupakan. Setelah meminum kopi buatannya itu, aku juga bisa lebih memaknai setiap tegukannya. Setelah aku tahu bahwa kopi yang ia buat berasal dari biji kopi kebun almarhum orang tuanya yang menjadi satu-satunya warisan berharga untuknya. Aku mulai merasa bersalah karena dulu sempat memecahkan segelas kopi buatannya.

Back in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang