09

278 24 4
                                    

Sesuai perkataan Yedam pada waktu itu, dia akan mengajarkan Doyoung mengenai materi – materi yang tidak Doyoung pahami dan mereka akan belajar bersama.

Saat ini, mereka berdua tengah berada di rooftop sesuai permintaan Doyoung untuk belajar di sana dan Yedam hanya menurut dengan apa yang Doyoung katakan.

“Ayo kak kita belajar bersama. Kakak udah janji kan mau ngajarin Dobby. Aku masih ngak terlalu paham sama materi reaksi oksidasi. Aku masih bingung cara hitungnya kak”

“Oke, kamu bisanya kapan. Belajarnya di mana? Aku datang ke rumahmu atau kamu datang kerumahku? Atau mau di café”

“Hari ini aja kak, pas pulang sekolah. Di rooftop ya, soalnya di sana dingin anginnya sepoi – sepoi”

“Oke deh”




Suasana di rooftop saat ini sangat hening dengan dua insan yang tampak serius dengan buku yang ada di hadapan mereka masing - masing. 

Sesekali Doyoung memecah keheningan dengan bertanya pada Yedam dan sesekali Yedam memberikan penjelasan atau tanggapan terkait soal – soal yang Doyoung kerjakan.

“Ini gak gini Doyoung, pertama kamu liat dulu soalnya, terus pahamin pelan – pelan, abis itu baru kamu buat persamaan reaksinya” Ucap Yedam dengan perlahan agar mudah di pahami.

“Kak istirahat dulu ya, capek. Kepalaku sakit” Rengek Doyoung yang akhirnya di setujui oleh Yedam.

Lagi dan lagi, suara bisik – bisik yang membuat kepala Doyoung pusing kembali datang. Kali ini, suara itu datang perlahan – lahan sehingga masih bisa sedikit di kontrol oleh Doyoung.

“Bunuh Yedam”

“Jatuhkan dia dari sini”

“Dia merebut yang seharusnya jadi milikmu”

“Jangan buang – buang waktu. Cepat habisi dia”

“Peringkatmu terancam Kim Doyoung’

“Kau bodoh”

“Pengecut”

“Lemah





Aku pusing. Suara itu terus berputar di kepalaku bagaikan kaset rusak dan tak bisa berhenti. aku mencoba untuk terus memakai akal sehatku dan membuang suara – suara aneh itu menjauh dan pergi.

Aku hanya bisa diam dan berharap suara sialan itu cepat menghilang dari pendengaranku. Tapi nyatanya tidak, aku terus di paksa untuk menyakiti bahkan membunuh kak Yedam.

Tidak, aku tidak mau. Aku sudah menggangapnya seperti kakak ku sendiri. Hanya karena peringkat, aku akan melenyapkannya. Tidak, aku harus tetap mengendalikan diriku.

Diam – diam, aku merogoh tasku dan mengambil cutter yang entah sejak kapan aku memasukkannya ke dalam sana. Aku bahkan sudah lupa.

Sementara itu, kak Yedam masih sibuk membolak balikkan bukunya dan tak menyadari aku yang perlahan mulai menggoreskan ujung cutter yang tajam itu pada pergelangan tangaku.

Aku meringis, merasakan perih dan panas yang perlahan menjalar di sekitar pergelangan tanganku yang sudah tergores. Sakit memang, tapi rasa sakit itu perlahan - lahan hilang dan hanya menyisakan sedikit rasa perih.

Aku harap dengan menyakiti diriku sendiri, pikiranku akan teralihkan dan suara – suara itu hilang.

Aku melakukannya berulang kali, dan untungnya kak Yedam masih tidak menyadari perbuatanku. Aku sangat bersyukur untuk hal itu.

Awalnya suara – suara itu memang hilang, tapi tak lama setelah itu, dia kembali lagi. Kali ini dengan suara bisikan yang lebih kuat dan cepat hingga membuatku semakin lemah dan kepalaku seperti di putar – putar. Rasanya pening bukan main.

“Dob, kamu udah istirahatnya? Mau lanjut belajar apa mau pulang?. Udah sore juga, takutnya ntar kamu sampe rumahnya kemaleman” Tanya kak Yedam.

Aku bergeming, tak sedikitpun menghiraukan pertanyaan kak Yedam yang ditujukan padaku. Kak Yedam tampak menatapku heran karena aku yang terus diam dengan tatapan kosong.

Entah dapat bisikan darimana, aku refleks berdiri, menarik tangan kak Yedam secara brutal dan kasar. Mencengkram kuat tangan yang ukurannya lebih kecil dariku itu dengan sangat kuat hingga tampak ada bekas tanganku dan juga sedikit kemerahan.

Ia meringis kesakitan dan tampak shock dengan tindakan yang kulakukan belum lagi dengan kondisi tanganku yang masih bercucuran darah akibat cutting yang aku lakukan tadi.

"Ddob-by tangan kk-amu berd-darah" Cicitnya yang masih bisa ku dengar.

"Gak usah peduliin aku kak. Kakak diem aja" Ketus ku yang berhasil membuat kak Yedam terdiam dengan tangan gemetarnya yang masih terus ku genggam erat.

Aku terus menariknya hingga berada di pembatas rooftop yang paling ujung. Kepalaku menunduk untuk melihat langsung ke arah bawah dan menakjubkan, pemandangan dari ketinggian terlihat sangat menarik di mataku. Kak Yedam terus mengguncangkan tanganku dan berusaha untuk melepaskan tautan tanganku yang masih mencengkram kuat tangannya.

“Doyoung, kamu kenapa. Doy, lepasin. Doyoung” pekiknya sembari terus berusaha melepaskan tanganku.

Aku tetap diam, dan tak bersuara barang sedikitpun. Aku semakin mendekatkan kak Yedam ke bagian paling ujung rooftop yang sudah tidak ada pembatas sama sekali.

Dia terus berontak dan memintaku untuk sadar dengan apa yang akan aku lakukan. Tapi aku tetap diam, tak bergeming.

"Kak Yedam, pemandangan apapun bakal bagus kalo kita lihat dari ketinggian. Karena aku lagi di rooftop yang tinggi ini sekarang, jadi aku mau kak Yedam di bawah sana. Apa pemandangannya masih tetap bagus?" Ucapku sembari menatap lurus ke bawah.

"KIM DOYOUNG, JANGAN GILA KAMU. KAMU NGOMONG APA KAKAK GAK PAHAM. JANGAN MACEM - MACEM LEPASIN TANGAN KAKAK" Teriak kak Yedam panik.

Tak peduli teriakan kak Yedam yang memekakkan telinga dan tak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Dengan sekali tarikan, tangan kananku yang tengah memegang tangan kiri kak Yedam, kuhempaskan dengan sangat kuat ke depan.

Sontak kak Yedam yang kaget dan tak sempat menyeimbangkan berat tubuhnya langsung terhuyung dan ikut terdorong ke depan. Tubuh kak Yedam terjun dari atas rooftop yang terbilang cukup tinggi. Sekolahku memliki 5 lantai, dan kalian pasti bisa menebak yang terjadi selanjutnya pada kak Yedam.

Aku melihat dengan jelas tubuh kak Yedam yang sudah sampai di lantai paling dasar dan membentur kerasnya lantai lapangan.

Ya, tubuh kak Yedam jatuh tepat di tengah lapangan basket dengan kondisi kepala pecah, dan banyak darah bercucuran dari kepalanya. Tubuhnya tampak baik – baik saja, tapi bagiku pemandangan yang aku lihat saat ini sungguh mengerikan.

"Ternyata pemandangannya jadi jelek. Tapi aku suka hahaha" Ujarku sembari tertawa puas bak seseorang yang baru saja memenangkan taruhan.

Suara – suara bising yang sedari tadi berkeliaran di telingaku, seolah hilang dalam sekejap. Tapi keringat dingin  tiba – tiba bercucuran di seluruh badanku yang gemetar hebat.

Kepalaku kembali pening, dan tiba – tiba air mata keluar berdesakan dari kedua kelopak mataku. Aku menyesal dengan perbuatan yang sudah aku lakukan pada kak Yedam yang selama ini baik dan selalu membantuku. Perasaanku saat ini sangat kacau. Senang, sedih, takut, cemas dan perasaan bersalah bercampur menjadi satu.

Aku berusaha meredam tangisku dan menghapus sisa air mata yang masih membasahi area wajahku. Saat ini aku hanya ingin pulang dan segera tidur agar aku bisa lupa akan kejadian ini meskipun untuk sementara.

Ketika aku membalikkan badanku untuk berkemas dan pulang, tiba – tiba aku di kejutkan oleh sosok Haruto dan Jeongwoo yang tengah menatap heran ke arahku.

“Doy, Yedam mana?"









































TBC

Mohon maaf kalo ada typo ya. Semoga  masih ada yang nungguin cerita ini.

Maaf ya sekarang updatenya agak lama. Tapi mulai sekarang aku usahain deh buat rajin up.

See you next chapter....

Teubyee💙

ᴋᴀʟᴏᴘꜱɪᴀTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang