Pagi hari terasa lembab dengan cuaca yang sedikit berkabut. Saat ini awan gelap menutupi langit, udara terasa lebih dingin.
Aku menghela napas, kuharap aku bisa lebih lama merasakan tempat tidur. Tapi aku tidak bisa melakukan itu, tidak ada alasan untuk melakukan itu. Leherku sudah tidak bengkak, hanya ada noda- noda yang agak gelap terlihat disana- sini, tapi itu bisa kusiasati dengan beberapa make- up.
Perasaanku masih sama seperti kemarin lusa, aku tidak ingin bertemu siapa- siapa di kampus nanti. Kuharap aku bisa menghindari Elias, tapi harapan itu sepertinya terlalu muluk. Elias sepertinya selalu tahu dimanapun aku berada, dan dia akan berada dimanapun dia ingin berada. Dan tentu, tempat dia ingin berada akan selalu menggangguku. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berjalan lurus, seperti biasa, mengabaikannya kalau bisa.
"Hei, cewek. Masih pagi lho, tapi wajahmu sudah masam saja!"
Seseorang berlari pelan dari samping dan merangkulkan lengannya padaku. Aku mengenal suaranya dan menoleh seketika.
"Evan!" Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dan memberinya pelukan ringan, masih sambil berjalan.
"Bagaimana perasaanmu? Sudah baikan? Kau yakin sudah tidak apa- apa? Sini kulihat lehermu," dia menyentuh wajahku dan memeriksa leherku,
"Aku sudah baik- baik saja, semua sudah sembuh, jangan terlalu khawatir.."
"Bagaimana aku tidak khawatir! Kemarin itu.."
Dia menggeleng dengan ngeri dan muak,
"Aku tidak bisa berkata- kata. Beraninya Anna melakukan hal seperti itu! Kau tidak perlu khawatir sekarang, aku sudah memberinya pelajaran. Dia tidak akan berani menyentuhmu lagi!"
"Sebenarnya itu juga salahku.. mungkin aku terlalu berlebihan."
Kataku terus terang, aku tidak berani melihat wajahnya. Mengingat betapa kacaunya aku hari itu, aku jadi sangat malu.
"Apa? Bagaimana itu bisa jadi salahmu?"
"Well, aku tanpa sengaja menabraknya, dan.. Err, sedikit memprofokasinya.."
Aku melihat wajah tidak puas Evan dari sudut mataku. Aku menghela napas,
"sepertinya aku harus menceritkannya dari awal.."
Dengan itu, kuceritakan bagaimana aku menabrak Anna dan memprofokasinya, juga memastikan untuk memberi tahu Evan tentang "sapa'an" teman- teman Lycan Elias-yang menghancurkan mood-ku dan membuatku memprofokasi Anna sampai berakhir babak belur.
"Wow. Kau bilang padanya kalau.. Pangeran Elias 'milikmu' begitu? Waw. Aku tidak pernah berpikir kau akan berani melakukan hal seperti itu."
Aku hanya memberinya senyum masam, aku juga tidak pernah benar- benar memikirkannya, kini setelah Evan menegaskannya, aku jadi merasa aneh. Elias dan milikku tampak terlalu werewolf untukku yang manusia. Semua orang tahu kalau werewolf itu posesif.
"Argh, sudahlah aku tidak ingin memikirkannya. Btw, kau bawa barang- barangku?"
Aku benci membahas hal- hal ini,
"Ya, sudah ada di lokermu. Tapi jangan kau coba- coba mengalihkan topik little lady," Suara Evan terdengar lebih serius.
Aku tahu cepat atau lambat dia akan menanyakan ini juga, seperti ayah.
"Bukankah kau bilang kau akan menjalani hidup yang Klise? Kenapa tiba- tiba membuat Dia jadi milikmu?"
Kini dia memberiku senyum miring, ugh aku benci saat orang- orang memberiku senyum seperti ini. Aku merasa terpojok dan diejek.
"Yah, aku hanya sebal dan tidak mood, itu saja." Dia berdecak mendengar jawabanku, sangat tidak puas.
"Remii, kau dengar dirimu sendiri? Kau tidak pernah seperti ini. Biasanya kau tidak akan membuka mulutmu sembarangan, lagi pula saat di ruang Kesehatan, kau terlihat sangat dekat dengan pangeran Elias,"
Aku sangat berharap Evan cemburu, setidaknya itu tanda bahwa dia punya sedikit 'rasa' untukku, tapi kurasa ini bukan seperti itu. Dia hanya ingin tahu bagaimana perkembangan hubungan antara aku dan Elias. Aku tidak menyukai fakta itu.
"Kau dengar aku, aku tidak bermaksud apa- apa. Kami juga tidak sedekat itu. Aku masih ingin kehidupan Klise yang kau sebut-sebut tadi."
Aku mendesah dan meminta Evan untuk tidak mengungkit- ungkit topik ini lagi untuk sementara.
"Aku belum siap Evan, lebih baik kita tidak usah membicarakannya. Bagaimana dengan makan malam keluargamu malam itu?"
Kami berjalan ke kampus dengan topik yang lebih ringan. Kuharap, aku tidak perlu menjelaskan lebih banyak hal tentang 'progress' hubunganku dan Elias. Karena seperti yang sudah kupikirkan sejak dulu: Aku tidak akan pernah mau menjadi Mate-nya.
Aku suka jurusan yang kuambil saat ini. Satu- satunya mata kuliah yang kubenci adalah statistika, mata kuliah yang dipegang oleh Mr. Higgins. Aku tidak pernah berpikir jurusan Sastra masih akan mempelajari mata kuliah yang pada dasarnya adalah matematika. Tapi sekarang aku senang, karena hari ini tidak ada statistika! Dan yang membuatku lebih senang adalah, mata kuliah pagi ini merupakan salah satu mata kuliah favoritku- Psikologi Karakter. Berkat kurikulum baru yang diterapkan tahun ini, aku bisa mengambil beberapa mata kuliah dari jurusan lain, senangnya..
Mata kuliah ini sangat membuatku terhibur, dari dulu mempelajari Karakter seseorang adalah hal yang menyenangkan untukku. Karena aku adalah anak yang cenderung pendiam, dijauhi dan tidak punya teman, aku sering memperhatikan orang dan menganalisa tindak- tanduk mereka. Aku sering mengkotak- kotakkan mereka-yah aku tahu, aku mulai sadar kalau itu sebenarnya perbuatan yang salah. Tidak ada orang yang benar- benar bisa di kotak- kotakkan, karena setiap individu itu unik dan punya kelebihan masing- masing. Tapi aku juga seorang penulis, mengkotak- kotakkan karakter seseorang mempermudahku mencari inspirasi untuk membuat karakter fiksi.
Jadi aku sudah positif, benar- benar ingin menikmati kelas ini. Yah, sebelum 'Mereka' datang. Aku melihat Elias dan gengnya memasuki ruangan. Elias menggunakan t- shirt putih hari ini. Aku mulai menyadari bahwa dia hanya menggunakan warna- warna yang terlihat netral. Hitam, wine, putih. Roxanne berjalan disampingnya, dia menggandeng Alex yang berjalan di belakangnya. Vionn dan Noah juga mengikuti di belakangnya.
Hal yang membuatku sangat terganggu adalah saat mereka semua mengambil tempat duduk tepat di belakang Evan dan aku. Aku merasakan rasa gugup perlahan merambatiku. Elias duduk tepat di belakangku. Dia memajukan kursi lipatnya dan duduk sangat dekat di belakangku.
Aku bisa merasakan setiap udara yang masuk dan keluar darinya. Tiap indra yang kumiliki sensitif menerima apapun yang Elias lakukan didekatku. Perlahan aku hilang fokus pada mata kuliah yang diajarkan Ms. Frey. Aroma tubuh Elias memenuhi seluruh indra penciumanku. Aku bernapas dengan aromanya di udara, satu- satunya yang bisa kuhirup adalah dia. Aku menggelengkan kepala, menolak takluk pada pesona Elias.
Aku menoleh dan melihat Roxanne mengangguk kearahku, menyapa. Aku tersenyum padanya. Dia terlihat sangat cantik dengan dress motif bunga-nya yang didominasi merah maroon. Aku tidak mengerti bagaimana dia tahan dengan pakaian musim panas itu, padahal sekarang adalah waktu untuk musim dingin. Sebelum aku mengatakan sesuatu, Alex membisikinya, membuatnya mengabaikanku tiba- tiba. Aku menggelengkan kepalaku dengan kecewa.
"Jangan khawatir princess, kau bisa bicara padaku kapan saja. Aku tidak akan mengabaikanmu."
Elias berbisik tepat di belakang telingaku, aku merinding, sekali lagi merasakan napasnya di daun telingaku. Ms. Frey mengajar di kelas seperti biasa, aku tidak bisa menoleh kebelakang tanpa resiko tertangkap mata elang Ms. Frey. Dan kalau wanita tua itu memergokiku tidak mendengarkan mata kuliahnya, kurasa bukan hal baru kalau aku akan di keluarkan dari kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lycan Prince
Werewolf"Aku tidak setuju dengan istilah 'memata-matai', aku hanya memuaskan rasa penasaranku. Faktanya, ada hal lain yang membuatku lebih penasaran sekarang.." Matanya turun sedikit, melihat bibirku. "kelihatan sangat lembut." Dia sedikit menurunkan wajahn...