Lagu The Beatles bergema di mobil hitam bermerk Avanza. Bersama dengan itu, diiringi juga suara decitan porseneling yang dikendalikan Shaheer. Siang yang melelahkan. Sebagai kepala ekstrakulikuler, Shaheer dibuat lelah dengan mengatur drama Ramayana di kampusnya. Suasana semakin menghancurkan perasaan Shaheer, ditambah suara cekikan Pooja yang sedang terpesona dengan karisma Vin—pria yang diidolakan Pooja karena ketampanannya. Vin mendapat kesempatan memerankan Rama di drama itu. Foto Vin terus dipandangi Pooja, Shaheer semakin tak terima. Ia mematikan alunan musik, lalu menyahut ponsel Pooja dengan kasar.
“Berhenti menatapnya atau kita berhenti siang ini?” ancam Shaheer. Pooja menunduk takut. Ia mengambil ponselnya lagi.
“Dia tampan sekali pagi tadi. Apakah aku salah terpesona padanya?” Pooja mengeluarkan statemant-nya dengan percaya diri.
“Oho, jadi kau mau putus?”
“Tidak, aku tidak mau kehilanganmu, sebab kau yang paling kucintai Shaheer.”
Pooja berbohong. Ia lebih takut menjadi santapan tangan besi Shaheer. Putus dengan pria aroma sipir penjara adalah impiannya. Setiap kali kata putus terluap dari bibir Pooja, maka ada satu tamparan hangat mendarat di pipinya. Nasib Pooja yang malang. Terjebak dalam hubungan toxic selama setahun setengah. Ia mengira, memiliki hubungan spesial dengan ketua ekstrakulikuler adalah suatu hal yang indah dan mimpi bagi siapa saja. Namun, bukannya menjadi ratu, ia malah menjadi budak yang hendak dipotong kepala demi kemakmuran ‘sebuah kerajaan’.
Shaheer juga menjadi sangat indah di awal mereka bertemu. Ada sejuta rayuan yang terlempar kemudian menerbangkan Pooja. Tapi awal itu adalah awal air mata Pooja. Ketika jawaban ‘iya’ keluar dari bibir Pooja, hancur lebur topeng Shaheer. Sikap beringas, ingin menang sendiri, kasar, pemukul, dan tukang bentak merasuki Shaheer. Iya, menjadi kekasih Shaheer adalah mimpi buruk bagi gadis seperiang Pooja.
Rumah Pooja akhirnya tercapai juga. Hampir lima belas menit Pooja menahan napas—takut jika ada pukulan spesial dari Shaheer lagi. Pooja segera masuk rumah. Merebahkan tubuh ke ranjangnya lalu tertidur.
Pooja terbangun dengan perasaan bahagia. Ia menonton web series yang diunduh di kampus tadi pagi. Pooja amat menikmati film sampai dia tidak menyalakan data selulernya. Ketika selama dua jam menonton web series favoritnya, ia baru membuka data seluler dan begitu terkejut saat menyadari ada dua puluh permintaan telepon dari Shaheer.
Pooja langsung panik dan gemetar. Ia segera menelepon balik Shaheer.
"Bodoh!" teriak Shaheer di sambungan telepon. Tanpa kata sapaan, ataupun sebutan kesayangan.
Pooja kaget, "Shaheer, maaf. Aku sedang--"
"Kau sedang teleponan dengan Vin, 'kan?!" tuduh Shaheer. Pooja meremas sprai ranjangnya. Lalu setetes air mata mengalir dari ujung netranya.
"Tidak, aku sedang asik menonton web series kesukaanku. Ada apa, Shaheer?" tanya Pooja berusaha menenangkan Shaheer dan dirinya sendiri.
"Ayo keluar!" ajak Shaheer.
"Se-karang? Ini sudah pukul delapan--kita akan pulang jam--"
"Cepat, Bodoh! Suruh siapa kau daritadi tidak segera mengangkat telepon?! Kenakan baju pesta, aku akan menjemputmu."
"Iya, tidak usah teriak-teriak 'kan bisa!" rengek Pooja sambil mencari baju yang cocok untuk dirinya malam ini.
"Ah, dasar cengeng!" Shaheer mematikan sambung telepon.
Pooja menangis sambil berdandan. Ia bahkan sangat tidak bisa menahan sakitnya dibentak terus-menerus oleh Shaheer. Ia ingin segera berpisah dengan Shaheer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crossing Theater
Fiksi PenggemarTeater penyebrangan? "Apa-apaan? Kita 'kan hanya bermain lakon di panggung? Mana mungkin Pooja melupakan segalanya tentangku?" protes Rohit sambil mendengus emosi karena sifat Pooja mendadak berubah padanya. Berawal dari sebuah teater panggung yan...