[eleven] It's Always Three

78 10 10
                                    






❞𝑫𝒆𝒓 𝒆𝒓𝒔𝒕𝒆𝒏 𝑳𝒊𝒆𝒃𝒆 𝒈𝒐𝒍𝒅𝒏𝒆 𝒁𝒆𝒊𝒕❞
-𝑭𝒓𝒊𝒆𝒅𝒓𝒊𝒄𝒉 𝒗𝒐𝒏 𝑺𝒄𝒉𝒊𝒍𝒍𝒆𝒓






























Purnama dibalik jendela ruang kamar usang ini begitu bulat sempurna, membuat Joseph merasa kembali ke masa lalu saat ia bersama sang Ibu membuat gulaschuppe di akhir tahun. Mungkin lebih tepatnya, hanya mengacaukan Ibu memasak.

"Ah, aku harus fokus."

Joseph menghela napas panjang, kembali mencoretkan tinta pada kertas surat yang telah ia renungi sejak pukul dua belas malam. Satu jam berlalu dan Joseph belum menyelesaikan tulisannya. Goresan kalam ia lakukan sepelan mungkin, khawatir membangunkan rekan satu kamarnya, Walter dan Michael. 

Tapi sayang seribu sayang, usahanya untuk tak membangunkan rekan sia-sia, karena Walter terbangun. Ia menarik kursi di samping Joseph dan duduk bersama. Dengan wajah khas bangun  tidurnya, Walter hanya duduk diam memperhatikan kegiatan Joseph yang sedang menulis. Pun Joseph tak membuka suara dan tetap fokus menulis. Sedikit Joseph curi pandang ke samping melihat raut Walter yang ternyata sudah beralih melamun menatap ke luar jendela.

"Apa aku membangunkanmu?" Tanya Joseph akhirnya.

Walter menggeleng. "Aku hanya bermimpi."

Joseph menyimpan kalamnya dan mengubah posisi duduk menghadap Walter, "Mimpi buruk?"

Walter menggeleng lagi. "Mimpi indah. Mimpi dengan keluargaku."

Joseph tersenyum simpul dan mengacak ujung kepala Walter yang kini menumpu wajahnya pada lengan di atas meja. "Kita semua di sini merindukan keluarga." Ujar Joseph sambil mengangguk seperti memaklumi.

"Hm." Jawab Walter bergumam. "Aku iri denganmu, Joseph. Kau di sini bersama adikmu, juga Yohannes sahabatmu." Lanjutnya dengan suara yang serak, seolah keirian itu benar adanya.

Benar juga. Joseph jadi mengawang-awang, bagaimana nasib para anggota yang kini sedang berdiam di markas baru, di Macklenburg-Vorpommern, yang jauh dari keluarga dan sanak saudara. Dengan hidup antara mati, yang setiap harinya dikejar para pejabat juga budak korporat, mereka bertahan dan masih dengan keinginan kuatnya terus berjuang mencapai tujuan. Terlebih umur Walter sama dengan Johann, ia seharusnya masih dalam perlindungan keluarga. Walaupun sudah legal, tapi tetap saja menurut Joseph, Walter masih terlalu muda untuk berada di bawah naungan Hans tanpa ada keluarga yang mengiringi.

Joseph tersenyum miris atas ucapan Walter. Remaja setengah dewasa itu, Joseph yakin sedang dalam masa krisis pendewasaan. Bagaimana bisa ia direkrut oleh Hans? Tentu, Joseph tahu karena Walter punya kehebatannya sendiri. Namun maksud Joseph, tak bisakah mencari orang lain?

"Jangan begitu. Kau juga adikku."

Yang membuat Walter mengalihkan pandanganya seketika pada Joseph dengan binar. Bola matanya merefleksikan cahaya bulan di balik jendela, seolah ia berharap akan ucapan Joseph barusan adalah bukan candaan. "Apa boleh?" Tanya Walter hati-hati.

Joseph terkekeh pelan dan kembali mengusak ujung kepala Walter. "Tentu saja." Joseph sendiri terkejut melihat sisi lain dari Walter. Yang setiap saat terlihat gesit dan disiplin tanpa celah, kini ia duduk disamping Joseph dengan memandang harap hanya karena dianggap sebagai adik. Cukup membuat hati Joseph terenyuh. Tak dapat dipungkiri, Joseph yang notabene seorang kakak tak dapat menahan rasa kasihnya untuk melindungi yang lebih muda.

from london to berlin [ateez]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang