🅣🅦🅞

70 4 1
                                    

🇾 🇴 🇺 

🇳 🇴 🇹 

🇭 🇺 🇲 🇦 🇳 

🪐

'kalian percaya adanya miracle?'

Semua orang percaya, tapi tidak dengan diriku. Sudah sangat lama saat aku mengharapkan hal itu terjadi, tapi rasanya salah, memang, membiarkan percaya adanya keajaiban. Karena saat itu juga aku kecewa.

Rasanya miracle membenciku.

Dia membiarkan aku tenggelam sendiri.

Hingga awan hitam, selalu membendungi. Hati rasanya telah mati, secercah tawa saja, hingga takut keluar dari mulut ini.

Sejak saat itu, aku putuskan untuk tak percaya miracle.

Sampai... aku ada di titik terdesak kembali.

Satu-satunya nyawa yang tak kuharapkan hilang. Segala cara aku lakukan, agar dia hidup. Sofia, salah satu alasan, aku bernafas hingga sekarang. Dan melindunginya, aku jadikan tanggung jawab saat pertama kali bertemu.

"Sofia, tolong jangan gini. Gue gak mau lo pergi" Aku berusaha menggenggamnya erat, berusaha menahan dia agar tak jatuh. Tapi, kali ini juga, apa yang aku harapkan tak terjadi, bukannya tertolong, dia dan aku malah jatuh bersama.

'jadi inilah akhir'

Tidak, untuk kali ini.

Hati ku yang menghitam mulai bersinar. Untuk kali ini saja, aku meminta, agar keajaiban berada di pihak ku.

Aku memejamkan mata, 'tolong jangan buat aku kembali kecewa' perlahan ku biarkan kembali terbuka, entah apa, aku merasa ada perasaan hangat. Dan benar saja, tubuh kami berdua, tidak, lebih tepatnya tubuh kami bertiga, terbang melayang.

Akhirnya miracle datang.

Entah darimana sosok lelaki itu. Aku sangat lega saat melihat bola matanya dalam-dalam, ku lihat secercah harapan darinya.

Kami bertiga terpental cukup keras, sakit memang, tapi tak apa. Aku lega, nyawa kami selamat.

"Thanks" Ucap terimakasih ku padanya.

Rintihan Sofia yang tersadar, mengalihkan pandanganku, aku pun bergegas mendekatinya, takut, jika dia kembali berniat bunuh diri. Dan saat aku fokus dengan Sofia, entah bagaimana, pria tadi sudah pergi. membuat mulut ku yang tadinya terkatup, sedikit terbuka, sedikit heran. Apa secepat itu dia pergi?

———

"It's a joke kan. Gak mungkin lah dia lihat gue" Ujar Dheno, dengan perasaan gelisah. Dheno sekarang menggeleng pelan, "Gak! Gak mungkin! Atau ... bisa aja manusia itu anak indigo" Sedikit merasa lega.

"Bodoh, elu kan malaikat dhen. Bukan setan. Jadi jelas dia gak indigo"

Dheno memukul pelan kepalanya, sebelum akhirnya ditarik oleh Shelva dari belakang. Dheno di bawa suatu tempat yang di dalamnya terasa sekali hawa panas. Rasa iri, dengki, amarah, semua seperti satu. Ada juga hasrat yang tak terpendam, tercium dari tempat ini.

"Lo gila!"

Jelas, hal tadi di katakan oleh Shelva.

"Aduh, apaan lagi sih. Dateng-dateng langsung giring gue kayak anak kucing gini. Lepasin gak, tangan lo" Pinta Dheno, mendapati rambutnya masih dalam keadaan di jambak oleh nenek sihir satu itu.

Shelva melepaskan tangannya, "Dhen lo telat kan?"

"G-gak kok. Gue kan anaknya tepat waktu. Yakali telat, apaan tuh telat, gak ada dalam sejarah gue" Ujar Dheno bohong.

"Bohong!" Bentak Adhvir. Dia berjalan mendekati Dheno. Sorot matanya tajam, liukan bahunya tajam, jas yang dipakainya tajam, intinya semua tentang dia tajam, tajam namun tak setajam silet.

Dheno sedikit berubah, "Situ cctv, ampe tau gue bohong"

"Jelas pergerakanmu, mengundang anak buah ku. Apa kau sedang memancing malaikat maut Dheno? Beraninya kau berbohong"

"Gue gak bohong. Lagipula dia selamat kan? Dan ... sorry ya, kayaknya malem ini lo gak jadi berpesta. klien gue masih hidup tuh" Dheno berganti menatap Adhvir lekat-lekat.

Shelva, memukul bagian bahu Dheno, sambil membisikkan sesuatu padanya,"Elo kalo mau ngilang gapapa, tapi gak usah ngajak gue juga. Minta maaf gak lo ke Adhvir. Lo gak liat tuh mukannya udah serem banget. Gue yang hatinya hello kitty kan jadi takut" Lanjut Shelva sambil bergidik ngeri.

"Lebay lo. Justru kita tuh harus nunjukkin va, bukan cuma dia aja yang berwibawa, bukan geng maut aja yang bisa tegas, tapi kita, kita geng pelindung juga bisa" Tutur Dheno

"Heh, kalo model kek elo itu jatohnya jadi tengil tau gak. bukan berwibawa lagi ini namanya"

Adhvir berjalan ke arah mereka berdua, "Udah selesai arisannya?"

"Eh, belom bu. Ini lagi ngocok" Sahut Dheno meladeni seraya memperagakan gerakan mengocok arisan khas ibu-ibu.

"Gue tempeleng ya pala lo dhen" Ujar Shelva.

Raut wajah Shelva berubah serius. Dia berharap malaikat maut mau memberi kelonggaran kepada mereka berdua, "Vir, gue mohon sama lo. tolong ya, kasih kita kesempatan. Jangan sampai lo laporin kelakuan gila anak buah gue ke Alyiers. Gue gak mau kehilangan anak buah gue vir"

Dheno membuang tatapannya, dia tak ingin melihat momen ini. Momen yang dianggapnya menjatohkan harkat dan martabat seorang malaikat. Lagipula untuk apa Shelva segitunya, toh manusia tadi selamat.

"Udahlah Shelva, ngapain si lo begitu?" tanya Dheno santai.

Shelva tak membalas justru, menekan kepala Dheno, untuk membungkuk, "Gue mohon maaf atas tingkah anak buah gue. Gue berharap lo kasih kesempatan ke kita berdua, agar menjadi lebih baik lagi, dan kita juga janji kok, kalau kalian ada problem, kita akan sukarela bantu lo"

Adhvir, membelai pelan rambut Shelva, "Sepertinya, saya gak butuh bantuan kamu"

Dheno menepis dengan cepat tangan Adhvir, dari Shelva, sebelum dia merasa kemarahannya memuncak, melihat kesombongan Adhvir, "Heh, jangan sok ya lo"

Adhvir menatap sinis, "Daripada membantu saya, lebih baik atur anak buah kamu!"

'KEPARAT SIALAN!!' Batin Dheno.

𝑡𝑏𝑐

You Not Human? || PCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang