Kulihat jam dinding yang menggantung di kamarku ini menunjukkan pukul 08.17 pagi. Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan segera mandi-bersiap akan pergi ke kampus.
Setelah semua selesai, aku keluar kamar dan menemui orang tuaku. Meja makan dengan empat kursi itu sudah terduduki masing-masing. Hanya tersisa satu-itu kursi makanku.
Aku segera berjalan dan menghampiri mereka semua. Kulihat, Ayah tengah menyantap sarapan nasi goreng buatan Ibu dengan lahap. Begitu juga dengan adik laki-laki ku.
"Cepetan sarapan, Kak. Nanti telat berangkatnya," kata Ibu memperhatikanku yang masih berdiri.
Aku yang tersadar, segera duduk dan mengambil seporsi nasi goreng yang masih terasa panas di permukaan piringku. Aku menoleh kearah adikku yang mengenakan seragam putih biru itu, sambil menatap kearah piringnya.
Eh, ralat. Tapi, memandang kearah sekitar piringnya.
"Makannya berantakan banget, sih. Udah kayak ayam!"
Ia balik menatapku dengan tatapan tajam. Namanya adalah Dede. Tapi aku selalu menyebutnya dengan kata Bocil-bocah kecil. Karena memang dia masih kecil tapi gayanya sok-sok an seperti orang dewasa.
Dan pria yang kusebut Ayah tadi, itu adalah bapakku. Salah satu orang tua yang membuat diriku tercipta hingga lahir ke muka bumi ini lewat rahim ibuku. Beliau bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi karyawan di sana.
Sedangkan wanita yang membuatkanku nasi goreng tadi, itu adalah emakku. Sudah tentu jelas, dia yang melahirkanku. Kedua orang tuaku utuh dan harmonis-mencerminkan sangat keluarga cemara. Ibuku hanya seorang chef-maksudku ahli memasak dirumah.
Setelah sarapan selesai, aku pun berangkat bersama ayah dan Dede dengan menaiki motor. Ya, kami berboncengan tiga. Adikku duduk di depan, dan aku dibelakang. Dede diantarkan lebih dulu, baru setelahnya aku.
"Ayah enggak bisa jemput. Kamu pulang naik ojek aja, ya?" suara Ayah membuatku menoleh. Lantas mengangguk.
"Iya, Yah. Gampang," sahutku, lalu kembali melangkah masuk ke halaman kampus.
Kulirik sekilas, motor butut kepunyaan ayah sudah melesat meninggalkan halaman depan kampus. Aku pun kembali melangkah masuk tanpa memedulikan sekitarku yang melihatku aneh.
Apa? Tidak ada yang aneh saat diantarkan ayah sendiri ke kampus. Meskipun menggunakan motor bututnya yang jelek, itu sudah lebih cukup daripada aku harus menaiki ojek online. Belum lagi saat pulangnya. Bisa-bisa aku tidak beli kebab.
Sesampainya di kelas, semua orang nampak sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sibuk bergosip ria, dan mengerjakan sesuatu di laptop nya. Bahkan tanpa sengaja terlirik, segerombolan cowok-cowok tengah menonton video dewasa dipojokan kelas dengan santainya-tanpa mempedulikan situasi hari yang masih pagi.
Namaku Bunga Anggraini. Mahasiswa Fakultas Hukum semester dua di salah satu universitas di Bandung. Keluargaku bukanlah dari keluarga kelas atas. Beruntungnya aku dapat lolos lewat jalur beasiswa. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu pintar. Sedang-sedang saja. Mungkin memang karena hoki aku dapat lolos.
Dan dikelas ini hanya diriku yang sulit bergaul dengan mahasiswa lainnya. Bukan dikucilkan. Melainkan aku malas berteman dengan seseorang yang hanya mengganggu konsentrasiku.
Aku mulai memasang earphone ke telingaku tanpa memedulikan urusan mereka masing-masing. Begitu dan seterusnya akan seperti itu.
Begitu terpasang, ku putar lagu-lagu Evanged Sevenfold yang menjadi favoritku sejak duduk dibangku Sekolah Dasar. Meski genre Rock, namun aku sangat menyukainya. Sedang asyik-asyiknya mendengarkan salah satu lagunya, sebuah teriakan menggema satu ruangan hingga telingaku berdengung.
Dengan berekspresi kesal aku menoleh kearah sumber suara-yaitu pojok kelas. Baru akan mengumpat, seseorang lebih dulu menereakinya dengan nada kesal.
"WOY, YANG NONTON B*KEP! JANGAN TERIAK-TERIAK DONG!" bentak salah seorang gadis berparas cantik.
Aku yang mendengar itu kembali duduk. Seperti pada posisi awal. Akhirnya umpatanku bisa terwakilkan tanpa perlu mencemari namaku sendiri. Dengan fokus kudengarkan lagu yang sempat terpotong tadi seraya menaikan volume lebih kencang. Tak peduli akan seperti orang budeg nantinya.
Sembari mendengarkan musik Rock, aku membuka aplikasi playstore-mencari games baru. Aku seorang gadis, tapi sangat suka bermain game. Scroll, scroll, scroll-mataku terhenti pada salah satu game MOBA yang sedang booming. Aku pun mendownloadnya sampai usai. Dan mulai melakukan login serta menyelesaikan tutorial yang ditawarkan didalamnya.
***
Sesampainya di rumah, aku berinisiatif untuk mencari teman mabar-main bareng. Kupikir akan lebih seru bermain game yang dilakukan beramai-ramai. Akupun kembali membuka ponselku dan mencari aplikasi Telegram. Kurasa dari kalian pasti sudah sangat tahu aplikasi ini.
Ku search sebuah grub dengan judul sama seperti game yang baru kumainkan. Selesainya, aku berusaha untuk mengirim pesan di grub tersebut. Berharap akan ada yang mau mabar denganku. Dan ...
Tidak ada! Bahkan sialnya tidak ada yang merespon pesanku.
Aku mendengus kesal. Namun tak lama kemudian, ada sebuah chat masuk dari nama seseorang yang tak kukenali.
(Mau mabar, Kak?)
Aku tersenyum. Ah, akhirnya ada juga yang mau mabar. Dengan cepat aku mengirim balasan kepadanya.
(Iya, tapi aku masih baru main. Apa enggak masalah kalau sekalian minta ajarin?)
Diam. Hanya centang dua tanpa balasan.
Masih sama.
Tunggu dulu.
Masih diam. Tanpa adanya kata 'mengetik'.
Tunggu lagi.
Ah, sial! Pasti dia kes-
Ting.
(Ok, enggak apa-apa, Kak. Nanti gue yang ngajarin. Boleh minta nomor whatsApp nya, enggak?)
Aku tersenyum begitu membacanya. Tanpa menunggu basa-basi ataupun curiga, aku dengan cepat memberikan nomor ponselku.
Dan ...
Sesi chatan itupun akhirnya berpindah tempat ke whatsApp. Di sanalah awal pertemuanku dengannya. Awal di mana kita saling bertukar sapa lalu ... Ah, kalian pasti mengerti.
Saat itu aku mengenalkan namaku. Dan ia menyebut kita berdua sebagai embel-embel 'couple B'.
(Aku Bima. Btw, kita ternyata satu kampus. Gue jurusan Arsi dan udah masuk semester lima.)
(Hm, enggak nyangka.)
Typing...
(Em, apa lo enggak keberatan kalau gue ngajarin lo di waktu kita ketemu aja?)
Setelah saling mengirim pesan itu, aku dan dia membuat perjanjian-untuk bertemu dikampus. Baru setelahnya, sebuah kedekatan terus tercipta diantara kami berdua.
Hingga suatu ketika. Sebuah pertemuan entah untuk keberapa kalinya, ia mengatakan sesuatu padaku. Sebuah kalimat yang membuatku bercampur rasa senang juga bingung.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Bersambung~
Janlupa VOTE & KOMEN!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dan Sepotong Hati Yang Terluka
أدب المراهقينCinta itu butuh pengorbanan, dan pengertian. Jika tidak ingin berakhir menyakitkan. -Bima Cinta memang butuh pengorbanan dan juga pengertian. Tapi, jika cinta yang kita pertahankan sudah menyakitkan, mengakhiri adalah pilihan yang tepat. -Bunga "Cin...