Si Manis [Manusia Bengis]

8 1 0
                                    

“Joo Hae Bin…cepat jalannya!” sahut Ciara pada anak satu-satunya. Hae Bin kesulitan membawa tas plastik besar berisi buku-buku cerita untuk para oma dan opa yang ditampung secara gratis di The Dusk Sparks. Rumah panti jompo ini juga dikenal dengan nama BINAR SENJA. Menurut pengakuan Ciara pada para wartawan nama Binar Senja diambil dari nama putri tunggalnya, Binar Carista, dan senja yang berarti waktu di saat tua.
Hae Bin hanya diam saja sambil terus jalan sampai akhirnya ia berada di doorstep panjang. Hae Bin meletakkan plastik besar berkilau dengan merk panti jomponya itu di atas sana. Ia celingak-celinguk mencari pesuruh yang biasa menyambutnya.
“Heh…lama banget sih. Panas tau di sini…” sahut Hae Bin memarahi si pesuruh yang usianya hanya beda lima tahun darinya. Si pesuruh perempuan ini menunduk-nunduk menyesal. Ciara melihat itu. Ia langsung mendatangi si pesuruh.
“Aduh maaf ya Hae Bin sudah kasar sama kamu…” ucapnya seraya menepuk-nepuk bahu pesuruh yang tampak miring itu.
“I…iya..nggak apa-apa, nyonya.”
“Hmm…panggil saja saya Madam Ciara. Hae Bin cepat minta maaf sama dia.” suruh Ciara ke Hae Bin yang sudah melengos pergi menapaki doorstep.
“Males…” Hae Bin hanya meninggalkan mamanya dan sang pesuruh penuh kemenangan. Ciara segera mengejar Hae Bin setelah memohon undur diri pada si pesuruh dengan nada sopannya yang terdengar tulus dan lembut. Setelah sampai tepat di belakang Binar, Ciara menjambak rambut anak semata wayangnya hingga tubuh kurus Binar terjungkal ke belekang. Ciara langsung membekap mulut Binar.
“Kamu bisa nggak bersikap seperti anak manis, sopan, dan dari keluarga berpendidikan? Hah?!” teriakan lirih Ciara nyaris hanya bisa didengar oleh telinga Binar. Sang pesuruh berusia 23 tahun itu melihat kejadian itu dari jarak yang lumayan jauh namun ia sampai membekap mulutnya sendiri karena terkejut.
“Anak dari keluarga berpendidikan? Aku maksud mama? Keluarga bengis iya!” suara Binar tercekat karena Ciara mencekik lehernya.
“Awas kalau kamu berani-beraninya bersikap kayak tadi sama pesuruh…kamu akan tau akibatnya. Papa akan tau semuanya dan nenek nggak akan tinggal diam. Sekarang lakukan aja tugas kamu baru kamu nanti bisa pergi kemanapun kamu mau…”
Binar terpaksa diam. Ia hanya merapikan pakaian dan rambut panjang kecokelatannya usai Ciara melepaskan cengkeramannya. Saat Binar menoleh ke belakang, si pesuruh melepaskan diri dari balik pintu. Binar tersenyum.
***
Kegiatan membosankan dari keluarga Binar yang wajib ia ikuti adalah membacakan dongeng setidaknya seminggu sekali di panti jompo yang diasuh oleh ibunya. Ini hari Jumat sore dan ia terpaksa mengambil hari ini karena ia ingin bebas di weekend besok. Binar punya rencana main ke suatu hidden gem di Jakarta Selatan. Seperti biasa hanya ia seorang diri.
Usapan lembut di punggung tangan Binar mengaburkan lamunannya. “Kenapa, neeeek?” tanya Binar hampir sewot.
“Kenapa berhenti dongengnya? Apa kamu nggak ngerti lanjutan kata-katanya karena kamu orang Korea??”
Binar berhenti karena bosan. Bukan karena dia tak mengerti bahasa dari buku dongeng berbahasa Indonesia itu. Nenek yang jadi pasiennya hari ini seorang purnawirawan yang kabur dari rumahnya sendiri karena anak-anaknya hendak menguasai rumah dan semua aset yang ia punya. Ciara menampungnya di Binar Senja. Binar tak mengerti jalan pikiran mamanya yang tampak bak malaikat namun sesungguhnya ia devil yang bersiap menerkam siapapun di depannya. Jika ia merasa terganggu. Bahkan hanya untuk helaan nafas pendek di dekatnya.
“Aku Binar Carista. Joo Hae Bin itu memang nama Koreaku, nek. Ya cuma karena papaku orang Korea. Biar keren aja punya nama Korea juga kayak papa sama nenek.”
“Nenek kamu Nawalasari, kan?”
“Nenek kenal sama nenek saya?”
Nenek itu hanya menyunggingkan senyum. Lalu, sekelebatan peristiwa ganjil datang lagi ke ingatannya.
Suatu sore mendung dengan langit tampak hitam di area selatan. Nenek Sandra berjalan seorang diri di depan sebuah coffee shop. Ia memeluk dirinya yang berbalut gaun tidur panjang dengan knitted outer abu-abu panjang. Kulitnya sama pucatnya dengan outer-nya. Sandra sedang hilang ingatan sebentar. Ia tadi hendak menuju ke rumahnya yang mewah di sebuah perumahan elit di Kemang. Lalu, saat berada di dalam taksi, Sandra tiba-tiba minta berhenti. Ia turun dan mulai berjalan menyusuri area pertokoan hingga kafe-kafe mahal di sekitarnya.
Dewi Nawalasari memperhatikan Sandra yang berjalan seorang diri dan tampak lemah. Namun, tas yang dijinjing Sandra terhitung mahal. Tas limited edition buatan Paris seharga 400 juta rupiah itu menarik perhatian Dewi. Dewi pun izin sejenak dari meja koleganya untuk menyapa Sandra.
“Sendiri saja, sis? Nggak sama anak atau cucunya?”
Sandra menoleh pelan mengikuti suara Dewi. Tampak wajah Dewi yang ramah dengan senyum memikat. Sandra terpana hingga akhirnya ia menuruti kemauan Dewi untuk datang ke The Dusk Sparks. Dewi terlebih dulu melucuti semua barang branded yang menempel pada tubuh Sandra. Sandra dengan pakaian sederhana dan tas tangan murahan lalu diantar taksi menuju panti jompo milik anak Dewi. Ciara menerima Sandra setelah melihat sepucuk surat dalam tas tangan Sandra. Ciara sangat senang menyambut Sandra. Sandra dirawat seperti layaknya orangtuanya sendiri. Setelah berselang tiga bulan, Ciara akhirnya mengunjungi rumah Sandra. Dan memang ini sesuai penglihatannya. Sandra bukan orang sembarangan. Ciara sama sekali tidak tahu jika Dewi yang telah mengirim Sandra ke tempatnya. Dewi hanya mengambil sebagian kecil dari harta Sandra saat ia menghilang dari rumah. Dewi merencanakan banyak hal untuk Ciara semakin kaya.
***
“Ini memang tandatangan mama saya. Mama kita. Tapi kok bisa mama ada di panti jompo Anda?”
Anak kedua Sandra yang seorang pelukis itu sama sekali buta soal hukum. Ia juga tak tahu mengapa bisa seorang pemilik panti jompo mau repot datang ke rumahnya untuk mengabarkan jika ibu mereka ingin tinggal di panti jompo itu. Semua kakaknya sedang dinas ke luar negeri dan menyerahkan perawatan mama mereka ke adik bungsunya. Entah bagaimana anak bungsu Sandra itu menandatangai surat perjanjian pengalihan 40 persen aset atas nama Sandra untuk didonasikan ke The Dusk Sparks.
Ada tangan Dewi Nawalasi yang bekerja. Ia mengaburkan pandangan keluarga besar Sandra. Setelah masa berlaku sihir ini habis, Dewi akan mengatur lagi jalan agar Ciara bisa mendapatkan sisa aset Sandra.
“Nek…Nek Sandra?” seruan Binar membuyarkan ingatan Sandra. Sandra ingat segalanya yang terjadi dalam hidupnya. Sihir Dewi hampir berakhir. Lambat laun ingatan Sandra kembali.  
“Maaf saya melamun tadi…”
“Ah, nggak apa-apa, nek. Gara-gara nenek ngelamun, tugas bacain dongeng saya dah selesai deh. Ini udah jam lima. Waktunya saya pulang.” ujar Binar sumringah.
Binar memasukkan barang-barangnya ke dalam tas sambil bergumam. “Yang penting dokumentasi hari ini cakep. Jadi saya bisa bebas nanti malam mau main.”
“Main? Kamu ke club-kah?” tanya Sandra penasaran. Ia berharap bisa meminta bantuan Binar. Barangkali ia pergi ke klub yang sama dengan anak keduanya.
“Nggak kok, nek. Saya ngga suka tempat bising begitu. Saya mau makan ramen di warung deket kampus. Udah janjian sama owner-nya. Lumayan saya bisa nge-vlog di sana buat masarin tuh warung.”
Sandra tak menyangka di balik penampilan misterius Hae Bin tersimpan hati yang tulus. Beda sekali anak ini dengan mama dan neneknya. Sebelum Binar sampai di pintu, Sandra menanyakan sesuatu pada Binar.
“Kamu tahu Ohmpara? Perkumpulan atau organisasi seperti ilmu sesat itu?”
Joo Hae Bin terpaku di tempat. Ia pernah mendengar perkumpulan itu. Tapi ia tak menduga mendengarnya dari Nenek Sandra yang tak pernah pergi kemanapun.
***

Bersambung… 

Joo Hae Bin Putri Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang