⚘ :: satu, pethak yang tampak kelabu

969 108 4
                                    

Peluh menetes dari keningnya, lalu turun hingga ke dagu. Ia menengadah, menatap ke arah cakrawala. Langit terlihat begitu cerah. Kumpulan gegana bernuansa putih memenuhi angkasa di atas sana. Tampak indah, pun memamerkan estetikanya pada sang dunia.

Sangat berbanding terbalik dengan suasana dirinya sekarang. Bukan hanya hari ini, namun setiap harinya. Ia tidak bisa menunjukkan perasaan itu kepada semua orang. Yang dapat ia lakukan hanyalah menutupi semuanya.

Namun, itu dulu.

Mulai saat ini, ia sudah tidak seperti itu. Apa yang ia rasakan selama ini telah menumpuk begitu tinggi. Perasaannya dipendam terlalu lama. Menciptakan luka batin yang begitu mendalam. Sebuah luka yang sulit untuk disembuhkan. Sebanyak apapun dirinya mencoba.

"Aether, kau melamun lagi! Sebenarnya ada apa denganmu?"

Suara yang berisik itu membuat si pirang menoleh ke kanannya. Di mana Paimon sedang melayang di udara. Tatapannya tertuju pada Aether. Memancarkan kekhawatiran yang terlihat begitu kentara.

"Bukan urusanmu, Paimon."

Jawaban yang diberikan oleh Aether sempat membuat Paimon tertegun. Dahulu, Aether tidak pernah berkata dengan nada ketus dan dingin seperti itu. Namun, Aether yang kini berada di hadapannya tidak terlihat sama layaknya yang dulu.

"A-Aether, ada apa? Jika ada yang Paimon bisa bantu, maka Paimon akan membantumu." Meskipun sempat terkejut akan perkataan Aether padanya, nyatanya Paimon tetap menawarkan pertolongan. Tentu saja, ia tak akan meninggalkan Aether larut seorang diri di dalam masalahnya.

Namun, Aether hanya mendengus. Ia tertawa setelahnya. "Membantu? Apa yang bisa kau bantu, Paimon? Kau selalu meminta ini dan itu padaku. Sekarang kau malah menawarkan bantuan. Apakah itu masuk akal?" ujar lelaki itu masih dengan nada yang sama. Dingin, namun mengandung kesedihan yang mendalam.

Seusai berkata demikian, tanpa menunggu sahutan apapun dari Paimon, Aether melanjutkan langkahnya. Sebelum Paimon mengikutinya, lelaki itu menambahkan, "Jangan mengikutiku. Aku ingin sendiri."

Dan, Paimon hanya bisa menurut. Ia tak memiliki pilihan lain.

***

Langkah kakinya berjalan tak tentu arah. Ke manapun kedua tungkai kakinya membawa dirinya, Aether hanya mengikutinya saja. Ia sudah tak memiliki tujuan hidup. Yang ia inginkan hanyalah kedamaian. Kedamaian secara batin.

Di sinilah dirinya berada sekarang. Di atas sebuah tempat bernama Cuijue Slope. Sebuah bukit yang begitu tinggi, tempat di mana Aether pernah menemukan sekotak harta dulu. Pemandangan di atas sana terlihat begitu menawan. Memanjakan mata siapapun yang melihatnya.

Namun, kali ini Aether tidak pergi ke tempat itu untuk menemukan harta lainnya atau menikmati keindahan dari pemandangannya. Perlahan, ia mulai menanggalkan wind glider miliknya ke atas tanah. Tangannya ikut bergerak melepaskan sepatu yang selama ini selalu melekat di kedua kakinya.

Untuk kali ini, Aether berniat untuk menutup bukunya sendiri.

Tidak ada niat baginya untuk hidup lebih lama lagi. Sudah cukup. Ia telah muak dengan segala ucapan manis dari setiap orang. Yang selalu mengatakan bahwa mereka akan menolongnya mencari saudara kembarnya, Lumine. Namun, kenyataannya apa? Nol besar. Tidak ada tindakan yang mereka lakukan selain berkata bahwa semoga saja Aether bisa menemukan saudaranya. Bahkan termasuk para Archon.

Merupakan perkataan busuk yang sudah terasa basi di telinga Aether. Perkataan yang hanya sekedar omong kosong belaka. Tidak ada bukti. Dan, Aether sudah tak ingin mendengar semua hal sialan itu. Ia hanya ingin mati dengan tenang. Barangkali dirinya bisa bertemu dengan Lumine di akhirat nantinya.

Dengan tatapan datarnya, Aether menatap ke bawah sana. Kabut menghalangi pandangannya sehingga ia tak bisa melihat dengan jelas. Namun, hal yang lelaki pirang itu sangat ketahui ialah bahwa dari ketinggian ini, ia bisa mati dengan singkat. Sama mudahnya seperti menarik napas.

Aether melangkah lebih dekat. Kini ia benar-benar berada di sisi tebing. Hanya memerlukan satu langkah lagi dan semuanya akan usai. Semudah dan sesederhana itu.

Ketika dirinya hendak melangkah, Aether merasakan eksistensi lain di belakangnya. Ia pun memutar kepalanya ke arah tersebut. Lalu, langsung bersitatap dengan sepasang netra itu.

"Lakukanlah. Aku ingin melihat seberapa besar tekadmu itu."

Tentu saja, Aether sempat merasa terkejut. Ia pikir, lelaki di hadapannya itu akan menghentikan perbuatannya saat ini. Tetapi, apa yang terjadi sekarang adalah yang sebaliknya. Ia mendukung tindakannya itu. Tindakan menyimpang yang akan Aether lakukan.

"Mengapa? Tidak jadi?"

Air muka dan nada suaranya sama-sama datar ketika orang itu berkata demikian. Membuat Aether, entah mengapa, merasa kesal dan membuang muka ke samping. Keinginannya untuk mengakhiri hidupnya mendadak lenyap begitu saja. Seperti angin musim gugur ketika musim dingin telah tiba.

"Kau menggangguku. Aku tidak senang diganggu," ujar Aether ketus. Ia kembali mengambil wind glider dan sepatunya yang telah ia tanggalkan tadi.

"Oh? Maaf, kalau begitu," sahutnya. Tak tahu jika keberadaannya di sana bisa mengganggu si lelaki pirang itu.

Untuk sesaat, keheningan kembali menyelimuti. Aether diam dan sibuk memakai sepatunya kembali. Sementara, orang baru yang mengganggu itu hanya menatap ke arah sebuah pohon yang tidak begitu lebat.

"Mengapa kau tidak menghentikanku?"

Alih-alih menjawab, ia justru balik bertanya, "Apakah aku harus menghentikannya?"

Aether membuang napas kesal. "Jawab pertanyaanku. Jangan malah memberikan pertanyaan lain," ujarnya jengkel.

"Aku hanya tidak ingin mematahkan tekadmu. Kau sudah berniat untuk melakukannya, maka untuk apa aku menghentikan hal itu?" Ia diam sejenak. Netra hitamnya menelusuri angkasa. "Aku tahu, karena menghentikan juga tidak ada gunanya," lanjutnya.

Sesaat, Aether terpaku akan perkataan lelaki itu. Memang bukan merupakan perkataan yang bijak, namun sempat membuatnya tertegun. Juga membangkitkan perasaan lain di dalam dirinya saat ini.

"Siapa namamu?" tanya Aether setelah diam beberapa saat. Ia sudah selesai memakai sepatu dan wind glider-nya lagi. Kini hanya perlu menyelesaikan urusannya dengan orang di hadapannya itu.

"Kupikir kau tidak akan menanyakannya."

Aether melemparkan tatapan tidak suka. "Jawab saja pertanyaanku."

"(M/n) Kistley. Kau sendiri?" tanyanya balik.

"Aether."

***

END ━━ # . 'Hanya Sementara ✧ Genshin Impact x Male ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang