⚘ :: tujuh, panggil namaku

362 58 0
                                    

Gaya gravitasi menarik dirinya. Tidak ada sama sekali niat baginya untuk membuka wind glider yang masih ia kenakan. Matanya tetap terpejam. Sudah siap menerima takdirnya. Ia yakin, bahwa pintu kematian sudah menunggu untuk dibuka olehnya.

Kesiapan dirinya itu buyar karena suatu hal. Ketika kehangatan menjalar di pinggangnya, Aether sontak membuka matanya yang terpejam. Detik selanjutnya, ia terkejut bukan main.

Seseorang yang sama sekali tidak Aether duga justru menyelamatkannya. Memeluk dirinya erat, kemudian mendarat ke atas tanah. Surai teal-nya itu menghalangi pandangan Aether untuk melihat wajah di baliknya.

"Apa yang kau lakukan, Aether?"

Suaranya yang serak dan terdengar dingin itu menyapa telinga si pirang. Namun, Aether tidak lantas menjawab. Ia sontak bangkit dari dekapan lelaki yang baru saja bertanya padanya itu. Lalu, berdiri dan menatapnya.

"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan di sini, Xiao?" Aether menatapnya marah. Sungguh, ia benar-benar marah. Rencananya hampir saja berhasil. Namun, kembali digagalkan oleh kemunculan seseorang. Siapa lagi yang akan muncul di hadapannya nanti?

Xiao pun ikut bangkit berdiri. Kini pandangannya sejajar dengan Aether. "Kau memanggil namaku. Karena itulah aku datang," tuturnya.

Aether mengernyit heran. Ia tidak pernah memanggil nama Xiao sejak pertemuan terakhir mereka di Liyue kala itu. Meskipun Xiao sendiri yang berpesan untuk menyebut namanya jika Aether membutuhkan bantuan, nyatanya ia tak melakukannya sekalipun.

"Aku tidak pernah memanggilmu."

Hanya helaan napas yang keluar dari bibir Xiao. Ia benar-benar mendengar kalau namanya dipanggil oleh Aether saat itu. Namun, mengapa Aether malah menyangkalnya?

"Mungkin kau melakukannya tanpa sadar," ujar Xiao kemudian. Hal itu juga patut dipertanyakan. Mengenai apakah Aether memanggilnya secara sadar atau tidak.

Tanpa sadar? pikir Aether. Ah, betapa bodoh dirinya. Ia sempat menyebut nama Xiao di kala pikirannya teringat akan lelaki itu. Tentu saja secara tidak sadar. Aether sama sekali tidak berniat untuk melakukannya. Sama sekali tidak.

"Kalau begitu, jika lain kali aku memanggil namamu, abaikan saja. Karena kemungkinan besar aku melakukannya secara tak sengaja dan membuatmu membuang-buang waktumu yang berharga itu 'kan?" ujar Aether final. Sebagai bentuk antisipasi jika ia akan mengulangi hal yang sama, maka ia pun berkata demikian.

Lelaki bersurai teal itu mengernyit heran. Tampak tidak terima atas keputusan yang Aether berikan. "Tidak. Aku tidak akan melakukannya, Aether. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, aku tetap akan datang jika kau memanggil namaku."

Aether mungkin lupa jika Adeptus di sebelahnya itu juga sama-sama keras kepala sepertinya. Decakan lidah terdengar. Aether masih marah akibat Kazuha, kini ditambah pula dengan Xiao. Mengapa mereka selalu datang untuk menyelamatkan dirinya?

Kehangatan yang tiba-tiba terasa di dahinya membuat Aether merasa heran. Ia pun menyentuhnya. Adalah darah hal yang ia lihat saat ini. Jumlahnya tidak sedikit. Yang kemudian menciptakan berbagai pertanyaan di dalam benaknya. Belum sempat Aether memikirkan apa jawabannya, pandangannya sudah berubah menjadi gelap terlebih dahulu.

***

"Ia masih belum sadar."

Sudah satu hari berlalu sejak kemarin. Namun, Aether tak kunjung membuka matanya. Ia masih berbaring di kediaman Kamisato. Ayaka yang memberikan izin. Tentu saja, mengingat Aether telah membantunya. Gadis itu bahkan memanggil dokter terbaik di Inazuma.

Helaan napas kecewa terdengar di udara. Waktu berjalan terasa lambat. Sang dokter sudah meninggalkan ruangan setelah pamit undur diri seusai menjelaskan kondisi Aether.

Pendarahan di kepalanya itu rupanya disebabkan oleh benturan yang cukup keras. Sementara, stress yang dialami oleh Aether sudah cukup membuatnya tak sadarkan diri sejak kemarin sore. Bahkan hingga dua puluh empat jam telah berlalu.

"Mengapa Aether bisa terluka?"

Pertanyaan Kazuha membuat (M/n) dan Xiao menatapnya. Sebelumnya Thoma juga berada di ruangan itu. Tetapi ia keluar untuk berbicara dengan sang dokter mengenai obat untuk Aether. Kini tersisa (M/n), Kazuha, dan Xiao.

Xiao bahkan memilih untuk tinggal di sana lebih lama. Memikirkan Aether pun tidak akan membantunya dalam menjalankan misinya di Liyue. Karenanya ia memutuskan tetap berada di Inazuma.

"Ketika aku datang, Aether sudah terjun bebas dari ketinggian. Aku sontak menyelamatkannya. Namun, aku tidak tahu jika Aether terluka," jelas Xiao. Ia tidak tahu siapa yang bertanya. Ia hanya memberikan jawaban yang diketahui olehnya.

"Terjun bebas?" ulang Kazuha. Ia sedikit tidak mempercayai pendengarannya. Atau mungkin Xiao yang salah memilih diksi. Entahlah.

Xiao mengangguk. Mengiyakan perkataan Kazuha. "Aku tidak tahu mengapa Aether melakukan hal itu. Tetapi, ia benar-benar sedang menjatuhkan dirinya. Ia bahkan tidak membuka wind glider miliknya," tutur Xiao. Hanya berbicara tentang Aether yang bisa membuatnya berucap banyak. Sisanya, Xiao hanya sedikit menaruh perhatian.

Kazuha menoleh ke arah (M/n). Seolah paham, (M/n) sendiri sudah menatap Kazuha sejak tadi. Semenjak Xiao menjelaskan apa yang ia alami sebagai jawaban dari pertanyaan Kazuha. Untuk sesaat, keadaan berubah menjadi hening nan sunyi.

Xiao yang masih khawatir dengan Aether, Kazuha yang terlampau terkejut untuk berkata-kata, dan (M/n) yang memilih untuk tetap diam.

***

"Bagaimana jika Aether benar-benar mati?"

Hal itu tidak mungkin tidak akan terjadi. Mungkin saja. Tetapi, tidak tahu kapan.

"Maka, di saat itulah kita harus merelakan kepergiannya," jawab (M/n). "Apa lagi yang bisa kita lakukan?"

Kazuha memilih untuk bungkam. Perkataan (M/n) memang ada benarnya. Kini ia baru saja dikejutkan oleh fakta bahwa Aether benar-benar ingin mati. Kazuha terkejut, tentu saja. Ia pikir ucapan (M/n) merupakan kebenaran yang menentang kenyataan. Tetapi, kenyataan harus tunduk pada kebenaran.

"Jika Aether tiada, apa yang akan kau lakukan, (M/n)?" Kini Kazuha bertanya pada (M/n). Oh, merupakan pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan kepada dirinya sebelumnya.

Tatapan (M/n) menunjukkan kelabu di dalamnya. Lalu, ia kembali memandang Kazuha. "Aku akan berpikir bahwa ia sudah bahagia di sana. Begitu pula dengan orang-orang yang ia tinggalkan."

Sederhana, tetapi rancu.

***

END ━━ # . 'Hanya Sementara ✧ Genshin Impact x Male ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang