⚘ :: delapan, luka yang tak akan sembuh

306 42 0
                                    

Seseorang pernah berkata padanya.

"Manusia itu merupakan makhluk hidup paling rumit di dunia ini. Ia bisa bahagia, marah, bahkan menangis di saat yang bersamaan."

Pada awalnya itu hanyalah sebuah kalimat yang tidak terlalu digubris olehnya. Tiap kali didengar telinga, ia tak peduli. Memangnya apa yang bisa ia lakukan terkait dengan kalimat itu? Tidak ada, bukan?

Tetapi, dirinya bukanlah manusia. Immortal. Makhluk abadi yang tak akan mati. Sesusah apapun dirinya mencoba. Sekeras apapun usahanya itu, ia tetap terus hidup. Hidup di dalam dunia fana dan berenang di lautan penuh kebohongan.

Netra hazel itu secara perlahan mulai menampakkan wujudnya dari balik kelopak mata. Tatapannya tertuju pada sekelilingnya. Ia berada di sebuah ruangan yang tertata rapi. Aether bisa tahu bahwa semua furnitur di ruangan itu terbuat dari bahan-bahan yang cukup mahal. Bahkan Mora yang ia miliki saat ini tidak akan cukup.

Namun, di saat yang sama Aether pun menyadari sesuatu. Ia kembali teringat dengan kejadian sebelum dirinya tak sadarkan diri. Dengan perlahan, ia meraba keningnya. Permukaannya yang kasar menandakan bahwa terdapat perban yang melilit di sana. Rasa nyerinya pun sudah mulai menghilang. Atau memang sejak awal Aether-lah yang sudah terlalu kebal akan rasa sakit.

Di satu sisi, lelaki bersurai pirang itu juga teringat suatu hal. Ah, aku masih hidup rupanya, begitulah yang ia pikirkan. Sebenarnya, seberapa besar keinginan Aether untuk mati? Jika digambarkan, dunia Teyvat ini masih belum cukup untuk mendeskripsikannya. Luasnya samudra dan lautan serta butiran pasir putih juga masih tak cukup. Kata mustahillah yang paling tepat untuk menggambarkan keinginan Aether yang krusial itu.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Aether berdecak, merasa kesal karena kini dirinya kembali teringat dengan fakta bahwa ia tidak sendiri saat ini. Ada manusia-manusia lain bersamanya. Ah, kecuali satu orang. Seorang Adeptus yang berasal dari Liyue malah menampakkan diri di Inazuma. Kekonyolan apa lagi ini? Bukankah hidup Aether sendiri sudah cukup menjadi sebuah komedi?

"Oh, Aether! Kau sudah sadar rupanya. Baru saja kah?" Dari luar ruangan, Thoma menyapa Aether dengan nada riang. Yang hanya disambut oleh angin lalu. Mendung sedikit meliputi wajahnya, tetapi ia kembali ceria. Lantaran Aether baru saja siuman, jadi mungkin ia tak ingin ketenangannya diganggu. Itu yang ada di dalam pikiran Thoma.

"Apa kau ingin memakan sesuatu?" Tidak menyerah, Thoma kembali bertanya. Yang dibalas oleh helaan napas dan gelengan kepala Aether.

"Tidak," sahutnya singkat.

"Oh, baiklah. Panggil aku jika kau membutuhkan sesuatu, ya," pesan Thoma. Setelah berkata demikian, ia pun keluar dari ruangan. Meninggalkan Aether dengan pikirannya sendiri.

Keheningan kembali menyapa. Aether lantas merilekskan tubuhnya. Ia bersandar di sandaran tempat tidur. Juga memejamkan matanya barang sejenak.

Tetapi ketenangan itu tak berlangsung lama di kala pintu ruangan itu didobrak begitu saja. Tanpa ketukan sebelumnya. Yang justru malah membangkitkan amarah Aether seketika.

Di saat ia melihat wajah si pelaku, Aether pun semakin naik pitam. Orang yang paling tidak ingin ia temui malah menampakkan diri di hadapannya saat ini. Dengan tatapan datarnya itu, ia menatap Aether.

"Bagaimana kondisimu?" tanyanya.

"Tidak baik setelah melihatmu," jawab Aether dengan nada tak suka. Ia benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya itu pada si lawan bicara. Namun entah karena ketidakpekaan atau hal lain, Xiao tetap berdiri di sana.

"Lalu?"

"Apa lagi? Tidak ada. Pergilah dari sini."

Xiao menatap Aether sejenak. Ia membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. "Dua hari yang lalu, mengapa kau melompat dari tebing itu?" tanyanya.

Oh? Pertanyaan yang tidak terduga dari seorang Xiao, pikir Aether. Mengingat Adeptus itu sama sekali tidak paham dengan perasaan manusia. Yang pada akhirnya membingungkan dirinya sendiri akan emosi-emosi yang tidak ia kenal.

"Mengapa aku harus memberitahunya padamu? Aku tidak punya kewajiban untuk itu," balas Aether dengan nada ketus.

"Ya, aku tahu."

Aether mendelik tak suka. "Jika kau tahu, lantas mengapa masih saja bertanya?"

"Aku merasa ingin tahu apa alasannya. Itu hanya insting dari dalam diriku sendiri," jawab Xiao gamblang. Ia sendiri masih tidak paham mengenai apa keinginannya tersebut.

Dengusan dibuat oleh Aether. Sebelum ia membuat seringaian di wajahnya yang jauh dari kata menyeramkan itu.

"Kau tahu momen di mana kau ingin mencekik lehermu sendiri, mengeluarkan jantungmu dari tulang rusuk, juga berteriak sekencangnya di saat yang bersamaan? Seperti itulah keadaanku sekarang. Bukankah itu sudah cukup menjadi alasanku untuk lompat dari sana, dari tebing itu?" tutur Aether dengan tatapan yang... terluka.

Bagi Xiao, melihat lelaki pirang itu, rasanya sama seperti melihat dirinya sendiri. Dipenuhi luka, membutuhkan pertolongan, tetapi pada akhirnya tak ada yang menolongnya. Xiao masih ingat momen di mana ia pertama kali bertemu dengan Aether. Aether di kala itu sangat berbeda dengan Aether yang saat ini ada bersama dengannya. Seolah-olah si pirang yang pertama kali bertemu dirinya itu sudah menghilang entah ke mana. Yang kini digantikan oleh orang lain.

"Aku tahu. Aku memang tidak memahami perasaan dan emosi manusia, tetapi aku paham tentang apa yang kau rasakan itu, Aether. Kau ingin berteriak, namun di saat yang sama kerongkonganmu tercekik. Membuatmu kesulitan untuk bernapas. Seperti ingin mati," ujar Xiao seraya menatap ke luar, ke arah jendela. Tatapannya menerawang. Ia tengah membayangkan sesuatu di dalam kepalanya.

Luka fisik memang bisa disembuhkan. Sebab kerja trombosit dalam darah yang senantiasa berusaha untuk menutup luka yang masih berdarah. Juga menghilangkan bekasnya. Tetapi, beda cerita dengan luka batin. Sekeras apapun mencoba untuk menyembuhkannya, luka itu akan tetap ada. Bahkan di saat luka yang lama belum sembuh, goresan yang baru sudah menampakkan dirinya. Tidak membiarkan luka lama memulihkan diri. Apalagi menghilangkan bekasnya.

Sementara Aether, lelaki itu mengalami kedua luka tersebut. Luka fisiknya memang didapat di dalam tiap pertarungan yang ia lalui. Sedangkan luka batinnya itu berasal dari keputusasaan dan rasa ingin menyerah yang sudah berada di ujung tanduk. Ia lelah, penat, dan ingin beristirahat. Tetapi, kata "beristirahat" tak kunjung menyambut dirinya.

Xiao membiarkan Aether terjebak dalam pikirannya sendiri. Lelaki itu pikir jika ia bisa mencoba memahami tentang manusia melalui Aether. Atau mungkin dirinya salah? Sebab kemunculan dirinya, Aether kerap kali mendorong presensinya di manapun itu.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah tentang kalimat yang Aether ucapkan setelah keheningan yang panjang. Xiao sama sekali tidak menduganya. Ia bingung, heran, serta bimbang.

"Jika kau memang benar-benar memahaminya, maukah kau membunuhku? Dengan tombakmu yang selalu dilumuri oleh darah itu."

***

END ━━ # . 'Hanya Sementara ✧ Genshin Impact x Male ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang