⚘ :: tiga, singgasana yang kosong

505 74 2
                                    

"Kau ingin pergi ke mana?"

Meskipun pertanyaan itu telah dilontarkan pada Aether, nyatanya ia tetap berjalan tanpa menggubris pertanyaan tersebut sedikit pun. Ia juga tak menoleh. Tatapannya hanya mengarah ke jalan di depannya.

Setelah diabaikan oleh si pirang, (M/n) lebih memilih untuk diam. Ia membiarkan Aether berjalan menjauh darinya. Tanpa ada niat untuk mengejar lelaki itu. Menurutnya, ia akan terus memantau gerak-gerik Aether hingga nanti. Hingga suatu saat yang tak ditentukan.

Cukup lama Aether pergi dari sana. Padahal seharusnya mereka meneruskan perjalanan di Inazuma. Mengingat bahwa saat ini mereka masuk ke negara itu dengan cara yang berbeda.

Seketika (M/n) memandang ke arah sebuah Vision yang ada di tangannya. Vision itu baru saja ia ambil dari sisi kanan pakaiannya. Warnanya terang dan mencolok. Membuat siapapun tahu jika benda itu merupakan Vision.

Kini, (M/n) pun bertanya-tanya dalam benaknya. Agar seseorang bisa memiliki Vision, maka orang tersebut harus mempunyai ambisi dan sebuah keinginan yang mutlak. Yang harus dicapai tak peduli apapun itu konsekuensinya. Namun, apa yang membuat seorang (M/n) Kistley bisa memiliki Vision? Mengingat bahwa dirinya hanyalah sebatas seorang manusia biasa. Ia bukan Archon ataupun Dewa. Untuk bisa menjalani kesehariannya saja, (M/n) tak memiliki niat untuk hidup.

Ya, bahkan pertanyaan itu tak dapat dijawab oleh (M/n) sendiri.

"Ah! Kau yang selama ini selalu bersama dengan Aether!"

Seruan itu cukup keras di dalam hutan yang sunyi ini. (M/n) pun menoleh ke sumber suara. Ia sudah merasa cukup terganggu dengan keberadaan suara itu saja. Di kala ia telah menengok ke belakang, sebuah makhluk yang terbang pun menghampirinya. Membuat (M/n) memasang sikap waspada.

"Siapa kau?" tanyanya dingin.

"Aku Paimon, pemandunya Aether! Apa kau tahu di mana Aether sekarang?" Paimon balik bertanya pada (M/n). Ia bahkan tak berbasa-basi dan langsung mengungkapkan tujuannya.

Perlahan, (M/n) menurunkan kewaspadaannya. Ia merasa makhluk di hadapannya itu tidak berbahaya. Hanya saja... cukup mengganggunya.

"Pemandu? Pemandu macam apa yang meninggalkan turisnya?" ujar (M/n) tanpa menggunakan nada yang menyeleh. Wajahnya pun masih sama; tampak datar. Ia bahkan tak berniat untuk menyinggung siapapun di sini.

Namun, nyatanya (M/n) salah. Lawan bicaranya itu merasa tersinggung. Membuat nyalinya dan kepercayaan dirinya untuk menemui Aether kembali seketika menurun ke dasar. Katakan saja bahwa perkataan (M/n) itu cukup kejam. Tetapi, kebenarannya tak dapat dipungkiri begitu saja.

"Kau benar. Sayangnya, belakangan ini aku tidak bisa bersama dengan Aether. Ia mengusirku dan membuatku hanya bisa mengawasinya dari kejauhan. Aether yang dulu tidak pernah seperti ini. Aku tidak tahu apa yang telah membuat dirinya berubah," ujar Paimon pelan. Tatapannya terlihat sendu. Dari air mukanya, menyiratkan perasaan sedih.

"Semua orang memang bisa berubah, Paimon."

Mendengar suara yang sudah tak lama tidak ia dengar itu, seketika Paimon merasa rindu. Matanya berkaca-kaca kala ia melihat surai pirang yang dikepang dengan rapi itu terpampang di wajahnya. Paimon ingin menghambur memeluk Aether. Namun, melihat wajah lelaki itu, seketika Paimon pun urung melakukannya.

Lingkaran hitam di bagian bawah matanya tampak semakin kentara. Kulitnya pun terlihat lebih pucat daripada yang terakhir kalinya Paimon melihat Aether. Intinya, ia sedang tidak baik-baik saja. Mengapa Paimon bisa telat menyadarinya?

"Mengapa kau kembali ke sini, Paimon? Bukankah aku sudah mengusirmu saat itu? Apakah kah masih memiliki muka untuk kembali datang ke hadapanku?" ujar Aether dengan nada yang dingin, sedingin es dan salju. Tatapannya sama sekali tidak menyiratkan kehangatan. Apalagi sebuah senyuman. Tak akan ada di sana.

"Tidakkah perkataanmu itu terlalu kejam, Aether?"

Bukan (M/n) yang berkata demikian. Melainkan seseorang yang baru saja datang. Thoma menghampiri mereka bertiga dengan langkahnya yang pelan. Sejenak ia sempat merasa urung untuk mendekati Aether saat ini. Ia merasa bahwa lelaki bersurai pirang itu akan memberikan ucapan yang sama pada dirinya juga.

"Itu bukan urusanmu," balas Aether ketus.

Setelah berkata demikian, ia memilih untuk menjauh dari semua orang. Aether berjalan ke arah api unggun yang menyala paling terang di antara suramnya suasana saat ini. Ia berdiri di sana bukan untuk menghangatkan dirinya. Melainkan memikirkan bagaimana caranya agar api itu bisa melahap habis tubuhnya sekarang.

"Kau tidak akan mati jika hanya dengan cara membakar dirimu hidup-hidup saja."

Mendengar suara (M/n) yang terdengar menyebalkan saat ini, Aether mendengus kesal. Ia sedang tak ingin diganggu, namun lelaki itu kerap tak pernah membiarkannya seorang diri.

"Aku tidak membutuhkan saran darimu." Aether mengedarkan pandangannya ke sekitar. Namun, ia tak menemukan Paimon dan Thoma di sana. Hanya ada dirinya dan manusia menyebalkan di sisinya itu.

"Jika kau mencari Paimon dan Thoma, mereka telah pergi kusuruh untuk mencari kayu bakar," jelas (M/n) tanpa diminta. Ia merasa bahwa Aether juga merasa penasaran ke mana kedua orang itu pergi.

Dialihkan tatapannya ke arah lain. "Aku tidak meminta penjelasan darimu, (M/n)," ujar si pirang ketus.

"Lantas, apa yang kau minta?"

Sejenak Aether terdiam. Ia memilih untuk memandang ke arah angkasa yang tak berbintang itu. Tatapannya tidak berubah. Tetap tampak datar dan tak memiliki cahaya di pancarannya. Kemudian, bibirnya pun mengucapkan beberapa patah kata. Jawaban yang terdengar indah, sekaligus memilukan.

"Aku hanya menginginkan kematian yang damai."

***

END ━━ # . 'Hanya Sementara ✧ Genshin Impact x Male ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang