⚘ :: lima, jika aku mati

430 60 2
                                    

Usia seseorang memang bertambah di tiap tahunnya. Itu sudah menjadi hal yang mutlak. Seperti hukum Fisika dan sejenisnya. Semua orang pasti merasakannya, tanpa perlu diragukan lagi.

Waktu yang terus berjalan tidak menjamin semuanya juga akan bergerak sesuai dengannya. Ada yang tetap mengikutinya. Bahkan ada juga yang berusaha untuk menghentikan waktu. Hal itu memang mustahil dilakukan. Semua orang pun tahu akan hal itu.

Di saat ia mengetahui bahwa hal tersebut adalah sebuah kemustahilan, selanjutnya ia akan diam. Bukan berarti tak melakukan apapun. Ia tetap berbuat suatu tindakan, ialah menyerah.

Orang itu tidak pernah memikirkan hal terlalu rumit. Lebih tepatnya ia tidak ingin. Untuk apa? Toh tidak ada gunanya. Setiap detik yang ia habiskan di dunia berjenama Teyvat ini hanya terasa seperti mimpi belaka. Sebuah mimpi buruk yang tak akan pernah berakhir secepat yang ia kira.

Mati memang lebih baik.

"Oi, (M/n)."

Yang dipanggil seketika menoleh. Namun, bibirnya tak berucap apapun. Termasuk sebuah gumaman sekalipun.

Tetapi, ketika (M/n) sudah menatap si lawan bicara, ia justru berkata, "Tidak jadi." Lalu, Aether kembali memandang ke arah lain secara acak.

Ah, beberapa detik yang terbuang sia-sia.

"Katakan saja. Aku akan mendengarkannya," ujar (M/n) kemudian. Jujur saja, di dalam lubuk hatinya ia sedikit membenci tindakan Aether barusan. Si pirang itu memanggilnya dan langsung berkata bahwa ia tidak jadi mengatakan suatu hal apapun itu. Sungguh menjengkelkan, pikirnya.

Kini Aether yang menghela napas. Detik selanjutnya, ia kembali menatap (M/n). Baru kali ini ia memperhatikan netra milik lelaki itu dengan saksama. Warna (e/c) tersebut tengah menatapnya balik. Memang menunggu dirinya untuk berucap sesuatu.

"Jika aku mati, apa yang akan kau lakukan?"

Ah, pertanyaan yang tak terduga. (M/n) diam sejenak. Ia memilih untuk menatap raut wajah sendu milik si lelaki bersurai pirang itu.

Mendapati (M/n) yang tak mengeluarkan suara atau jawaban apapun, Aether bergeming dan kembali mengabaikan lelaki itu. Anggap saja ucapannya tadi hanya sekedar angin lalu. Tidak perlu digubris.

"Mungkin, aku akan ikut denganmu, Aether."

Jawaban (M/n) sama sekali tidak pernah Aether sangka. Apalagi ketika ia menyadari bahwa (M/n) tidak benar-benar peduli padanya. Ia hanya ingin menyaksikan keyakinan dan tekad Aether dalam menghadapi kematian. Bukan malah ikut bersamanya. Lantas, apa penyebabnya ia melakukan hal itu?

"Mengapa?" tanyanya dengan nada yang terdengar dingin.

(M/n) tidak langsung menjawab. Ia memandang ke arah langit yang didominasi oleh warna kelabu. Pertanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun. Mungkin, dengan lebat.

"Aku juga memiliki sebuah alasan," jawabnya lalu (M/n) menoleh pada Aether, "yang, mungkin, akan membuatmu tercengang."

Pada akhirnya, Aether pun hanya diam.

***

Peluh membanjiri wajahnya. Napasnya memburu. Detak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari yang biasanya. Aether tahu bahwa ia bisa mati saat ini. Ia tahu, sangat tahu. Tetapi, mengapa takdir justru berkata lain?

Seseorang yang baru ia kenal beberapa saat belakangan ini justru memilih untuk menolongnya. Menodongkan katana-nya ke arah Musou no Hitotachi milik sang Archon. Sebagai sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka.

Langit telah menjadi gelap. Guntur saling bersahutan. Hingga pada akhirnya, tubuhnya dipaksa untuk berlari menjauh dari tempat kejadian itu.

(M/n)-lah pelakunya. Ia yang pertama kali sadar kalau di sana sudah tak lagi aman. Dengan kesadarannya itu, (M/n) menarik tangan Aether menjauh dari kerumunan.

"Hei!" seru Aether terkejut.

Namun, (M/n) tidak menggubrisnya. Mungkin ia akan diceramahi oleh Aether sehabis ini. Tetapi, bukankah lari memang merupakan solusi yang paling tepat untuk sekarang? Apakah ia tidak melihat jika kemarahan sang Archon bisa lebih parah dari yang telah terjadi tadi?

Pada akhirnya, Aether pun tetap diam dan terus berlari. Hingga tiba saatnya deru napas mereka menjadi sesak. Bersamaan dengan hal itu, mereka pun telah menjauh dari pusat kota Inazuma. Ini merupakan hal tak terduga yang bisa saja terjadi.

"Apa yang kau lakukan tadi?!"

Seruan itu sempat membuat (M/n) terkejut. Namun, ia mengendalikan perasaan terkejutnya itu kembali ke sedia kala. Tatapannya berubah datar, helaan napas dikeluarkan mulutnya.

"Kau ingin mati, 'kan?"

Ucapan (M/n) itu membuat tubuh Aether bergeming. Benarkah perkataannya tadi? Bahwa yang dirinya inginkan ialah kematian abadi. Namun, rasa gugup juga membuat dirinya takut untuk mati. Ah, serba salah jadinya.

Wajah dipalingkan, tatapan dialihkan, bibir tetap terkatup rapat. Namun, pikiran masih bergumam dengan segala kegelisahannya. Si pirang hanya diam kali ini. Biasanya, seribu satu kata umpatan sudah keluar dari bibirnya. Tetapi, saat ini sepatah kata pun tak ia ucapkan.

Kini, Aether hanya berandai-andai. Berandai jika dirinya telah mati.

***

END ━━ # . 'Hanya Sementara ✧ Genshin Impact x Male ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang