⚘ :: enam, senja yang menemani

352 58 0
                                    

"Apa yang kau lakukan, hah?!"

Amarah sedang berada di puncak. Naik pitam adalah istilahnya. Daun maple yang jatuh ke atas tanah bergerak terasa lambat. Mengiringi emosi yang tengah memenuhi ubun-ubun di kepala.

"Aku hanya tidak ingin melihat hal yang sama terjadi dua kali di depan mataku."

Jawaban itu terdengar tidak memuaskan, juga memuakan. Si pirang mendengus. Cemooh terlihat jelas di pandangan matanya. Cibiran sudah siap keluar dari bibirnya itu.

"Aku tidak pernah meminta kau melakukan itu, Kazuha. Tidak pernah sama sekali," ujarnya dingin. Tatapannya menunjukkan bahwa ia memang serius atas ucapannya itu.

Kazuha sedikit terenyak. Tertegunlah dirinya sebab ucapan Aether. Detik berikutnya, ia hanya menghela napas. Tidak menyangka jika teman baru pirangnya itu akan berkata demikian. Padahal, ia sudah mempertaruhkan nyawanya. Memang tak ada yang meminta. Bahkan Aether sendiri. Namun, tubuhnya bak bergerak seorang diri. Menahan serangan dahsyat yang diberikan oleh sang Archon.

"Maaf."

Hanya satu kata itu saja yang bisa ia katakan. Percayalah, Kazuha hanya tidak ingin Aether meninggalkannya juga. Seperti teman lamanya itu. Rasa sakit itu sungguh sulit untuk ia lupakan. Butuh waktu yang lama agar Kazuha sendiri bisa berpaling dari sana. Bahkan di perjalanannya yang panjang, sering kali membuatnya teringat akan teman lamanya itu.

Kazuha memang tidak tahu; tentang seberapa besar keinginan Aether meninggalkan dunia ini. Jika lelaki itu tahu pun, pastinya ia tidak akan membiarkan Aether melakukannya. Tetapi, sayangnya Kazuha tak tahu sama sekali. Ia pikir Aether tampak baik-baik saja. Dengan senyuman palsu di wajahnya yang kerap kali ditunjukkan.

"Pergilah. Aku ingin seorang diri," kata Aether. Lebih tepatnya merupakan titah bagi Kazuha.

Dengan berat hati, Kazuha pun meninggalkan tempat itu. Ia masih ingin berbicara, namun bibirnya tertutup rapat.

***

"Kau pasti habis dimarahi olehnya."

Tebakan itu tepat sasaran, terlalu tepat bahkan. Kazuha melirik seorang lelaki di dekatnya itu. Yang tengah bersandar di salah satu penyangga kayu bangunan Komore Teahouse.

Dari penampilannya, Kazuha ingat ia pernah bertemu dengannya beberapa kali. Namun, namanya pun ia tidak tahu. Lucu sekali.

Mendengar ucapannya, ia hanya tertawa miris. "Ya, kau benar," balasnya singkat. Masih teringat jelas di dalam kepalanya tentang perkataan Aether beberapa saat yang lalu. Cukup melukai perasaannya.

"Jangan terlalu dipikirkan. Kau pasti punya alasan mengapa kau bertindak seperti itu. Maka, hiduplah dengan alasan tersebut."

Kazuha tertawa melalui hidungnya. Memang ada alasan di baliknya. Bahkan Aether pun telah mengetahui apa alasan itu. Namun, tetap saja Aether keras kepala dan membantahnya. Ia kembali menghela napas.

"Oh ya, siapa namamu? Kurasa kita belum berkenalan dengan baik dan benar." Kazuha berkata seraya ikut bersandar di sana.

"(M/n) Kistley, namaku."

"Kaedehara Kazuha," balasnya, "panggil aku dengan Kazuha pun boleh."

(M/n) mengangguk paham. "Salam kenal, Kazuha."

"Salam kenal juga, (M/n)."

Mereka saling berjabat tangan. Merupakan salah satu tindakan di pertemuan bagi orang yang baru pertama kali bertemu. Sederhana.

"Omong-omong, apa hubunganmu dengan Aether? Sepertinya kalian cukup dekat," komentar Kazuha. Memulai topik percakapan baru.

"Kami berteman, kurasa. Aku hanya mengikuti perjalanannya," jawab (M/n) singkat.

Kazuha menatap ke arah langit senja. Jingga terlihat mendominasi angkasa sana. "Mengikuti perjalanannya, ya? Sudah berapa lama kau melakukannya, (M/n)?" tanyanya lagi.

Jarinya dibuka untuk menghitung. Namun, akhirnya ia menyerah. "Entahlah. Mungkin sudah beberapa bulan," sahut (M/n) sedikit acuh. Ia tidak terlalu memperhatikan waktu yang telah berlalu. Semua itu hanya akan dilewati olehnya tanpa sadar.

"Cukup lama, ya."

Tatapan (M/n) menunduk. Tertuju ke arah sepatu yang ia kenakan. "Ya, sudah cukup lama untuk mengenalnya. Karena itu, aku tahu ada satu hal pasti yang sudah Aether tekadkan sejak lama," tuturnya.

"Apa itu?"

(M/n) kembali menatap Kazuha. Tepat di matanya itu. "Aether hanya ingin mati. Itu saja."

***

Sejak kepergian Kazuha, seketika suasana di sekitarnya terasa lebih sunyi. Hening menyapa dirinya yang tengah larut di dalam pikirannya sendiri. Aether pikir, lebih baik ia tidak bertemu dengan siapapun. Baik itu (M/n), maupun yang lainnya. Karena dengan demikian, akan ada semakin banyak orang yang mengenalnya.

Aether tidak menyukai hal itu.

Namun, inilah perjalanannya. Perjalanan membosankan yang ingin ia akhiri secepatnya. Jika saja saat itu Aether mengiyakan ajakan Lumine untuk bergabung dengan Abyss, mungkin semuanya akan berbeda. Mungkin ia akan bersyukur karena dirinya bisa kembali bersama dengan adik kembarnya itu. Mungkin hari ini akan terasa lebih baik daripada sekarang.

Sayangnya, saat itu Aether masih naif. Ia terlalu bodoh hanya untuk sekedar menyadari kekejaman di dunia ini. Semua orang mengenakan topeng mereka masing-masing. Termasuk dirinya. Tidak ada yang asli di wajah mereka. Bahkan senyuman manis yang ditunjukkan pun bisa berubah menjadi taring milik sang iblis.

Aether menatap ke bawah sana. Pemandangan yang ia lihat saat ini merupakan momen yang sama di mana ia pertama kali hendak melompat. Di kala itulah, (M/n) memunculkan batang hidungnya. Namun, untuk saat ini, tidak akan ada siapapun yang akan mencegahnya atau bahkan menolongnya.

Apakah Aether merasa takut? Entahlah, ia tidak dapat mendeskripsikan perasaannya saat ini. Yang ia inginkan hanyalah sosok dirinya yang menghilang, tak bersisa.

Maka, di sinilah ia sekarang. Dinaungi oleh sang jingga, kedua kakinya pun melompat. Kedua netra hazel itu tertutup rapat. Pikirannya mulai dipenuhi oleh berbagai macam hal. Ketika Aether baru saja tiba di Teyvat, bertemu Paimon, dan menolong kota Mondstadt.

Perjalanan selanjutnya adalah di Liyue. Aether masih ingat pertemuan pertamanya dengan sang Adeptus. Seorang Vigilant Yaksha terakhir yang melindungi Liyue. Merupakan seorang penyuka almond tofu yang tidak dapat mengekspresikan perasaannya sendiri.

"Xiao..."

Tidak sadar, bibirnya menyebut nama sang Yaksha. Ketika ia melakukannya, Aether masih menutup matanya. Menunggu saat di mana dirinya akan bertemu dengan permukaan tanah. Detik berikutnya, hal yang benar-benar tidak ia perkirakan terjadi begitu saja.

***

END ━━ # . 'Hanya Sementara ✧ Genshin Impact x Male ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang