Rhythm 11: Love Celebration

280 15 6
                                    

Aku bersyukur acara presentasi kemarin berjalan lancar. Sambutan dari para peserta sangat baik. Aku yakin, aku memang membawakan materi dengan gaya yang lugas. Tapi, itu saja tidak akan ada artinya tanpa materi yang berbobot. Dan harus kuakui, materi yang disiapkan Ryo memang luar biasa sempurna. Tidak salah kalau dia berhasil menyandang titel lulusan terbaik dari universitas bisnis terkemuka di Amerika.

Pagi ini aku memutuskan untuk menikmati sarapan pagi di kopitiam yang ada di dekat hotel yang kutempati. Jangan samakan kopitiam di Singapura dengan nama restoran yang juga banyak menjamur di mal-mal di Jakarta. Kopitiam di Singapura berarti kedai kopi dan sarapan tradisional dengan menu sarapan yang cukup beragam seperti kopi, teh, telur rebus, roti bakar. Aku sengaja memilih kopitiam yang lokasinya di ujung perempatan besar, supaya aku bisa menikmati roti bakar selai srikaya dan teh tarik sembari mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Entah kenapa mengamati beragam ekspresi itu menyenangkan untuk dinikmati.

Kursi kosong di depanku bergerak ketika kudengar sapaan dari seseorang yang suaranya seperti kukenal, "Morning dear...". Kepalaku mendongak, menatap tak percaya. Sepersekian detik aku hanya mengerjap-ngerjapkan mata dan terlena, 'is it him?', pikirku.

"Is it really him?" kali ini aku tidak hanya bertanya dalam hati tetapi menyuarakannya dengan lirih.

"Iya, Mar, ini aku. Happy valentine sayang." Lalu entah kapan dia meletakkan kotak coklat itu, tanpa terduga sekotak coklat bermerek terkenal sudah tersedia diatas meja.

Aku masih diam sampai tangannya meraih jemariku dalam genggamannya.

"Ke-na-pa ka-mu bi-sa a-da di-si-ni?" kataku terbata.

"Karena kamu," katanya tegas. Itu jawaban tetapi bukan jawaban. Tidak menjelaskan bagaimana bisa seseorang yang seingatku pamit pergi ke Hongkong, tiba-tiba ada disini, di Singapura.

Aku mendengus. Diam. Bingung. Kaget. Kalau ada kontes wajah terbengong nasional, mungkin ekspresiku saat itu berhasil mengirimku jadi finalis.

Aku memilih menatap piring makanku yang tampak luar biasa lezat. Coba beri aku saran kalau kamu yang ada di posisiku saat ini? Bertemu mantan pacar yang masih dicinta setengah mati, tetapi sudah beberapa bulan tidak bertemu, dan terakhir kali yang kuingat dia yang memutuskanku. Apa aku harus diam saja demi menjaga harga diriku sementara lenganku seperti ingin terulur memeluknya? Atau aku harus beramah-tamah kepadanya seolah tidak pernah ada 'sakit' diantara kami? Hei, aku masih kesal karena sifat keras kepalanya yang bertahan tidak mau menjalani long distance relationship.

"Mar, kok kamu diam saja? Seperti bukan kamu. Biasanya kamu pasti sudah mengoceh panjang lebar," Nikko menyadarkanku dari lamunan.

"Menurut kamu, aku masih bisa mengoceh dengan kondisi sekarang?" balasku sengit.

Nikko menghela napas, "Sorry, Mar. Aku tahu, aku salah. Kupikir aku gak akan sanggup menjalani LDR. Kenyataannya, aku bahkan jadi lebih gila karena tidak bisa menghubungimu."

"Tidak bisa menghubungiku? Oh, jadi nomor ponselku kamu hapus begitu?"

"Bukan!" Nikko menyahut cepat dan jadi salah tingkah, "Nomormu masih kusimpan, sayang. Kalau hilang pun, aku hafal diluar kepala nomormu. Beberapa bulan terakhir aku bahkan jadi stalker semua akun media sosialmu, mulai dari Twitter, Path, blog, hanya demi tahu kabarmu."

Aku masih diam, berusaha menerkakemana arah pembicaraannya.

"Tapi aku gengsi kalau harus menghubungimu lebih dulu, karena aku yang terakhir kemarin menolakmu," katanya lirih.

Aku langsung menepuk-nepuk dada yang terasa nyeri. Sungguh rasanya seperti diremas-remas. Aku gemas. Tidak habis pikir. Memangnya berapa lama sih Nikko kenal aku? Masih bisa ya dia memikirkan gengsi untuk hal semacam ini? Duh, kalau tidak cinta, pasti sudah kutinggal dari dulu.

MaKo RhythmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang