Rhythm 6: The Concert

196 11 4
                                    

Sepuluh menit lalu aku tiba di lobby Plaza Semanggi a.k.a pintu masuk utama Balai Sarbini. Sengaja aku berdiri agak di pojok, menunggu si nona Vari dan pacarnya yang sekarang semakin sulit dipisahkan. Ugh, mengingat Vari dan Iben membuat hatiku nyeri. Kemesraan mereka selalu mengingatkanku pada Nikko. Seandainya aku dan Nikko tidak sedang break, pasti dia yang menemaniku sekarang. 

"Nikko, kamu kangen aku gak sih?" tanyaku dalam hati. Lama-lama aku bikin turus juga nih setiap kali kangen Nikko, persis seperti Ferre dan Rana dalam tokoh Supernova. Bukti bahwa walaupun aku masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa setiap hari, tapi semuanya dilakukan tanpa rasa, mirip robot.

Sudah berapa lama aku putus komunikasi dengan Nikko ya? Hampir 3 bulan? Dibandingkan dengan kebersamaan kami selama 6 tahun, walaupun di dalamnya juga diwarnai putus-sambung alias bertengkar-marah-berpisah-kangen-balikan, seharusnya beberapa bulan bukanlah apa-apa. Tetapi, entah kenapa break yang ini terasa paling menyakitkan. Apakah mungkin karena usia? Atau karena sebenarnya ikatan kami semakin kuat dan mengarah pada hubungan yang lebih serius? Aku dan Nikko memang sempat berbicara beberapa kali mengenai pernikahan. Kami memang berencana melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Kini, rencana mungkin hanya tinggal rencana. Miris.

"Hei, ngelamunin apa sih? Muka lo kusut ajah?" sebuah tepukan di bahu menyadarkanku.

"Melamun sampai bosan nungguin lo yang gak datang-datang. Ini bentar lagi udah mau mulai nih." sungutku pada Vari yang tiba-tiba saja sudah di sebelahku. Hebat juga dia bisa menemukan lokasiku, padahal seingatku aku tadi tidak memberitahunya kalau aku menunggu di sisi ini. Jangan-jangan dia sebenarnya sudah menanamkan tracking devices di smartphone-ku? What?! Kurasa aku sudah mulai melantur sambil menggelengkan kepala pelan.

"Hai Iben, apa kabar? Sorry ya jadi ngerepotin elo," aku menyapa Iben dan mengacuhkan Vari.

"It's okay. Gue happy aja kok nemenin kalian. Lo udah dinner, Mar?" Wow, Iben so sweet banget. Beruntung banget si neng Vari bisa punya pacar kayak dia. Lha, Nikko-ku kemana disaat aku butuh dia? Ada sedih yang tiba-tiba menyelinap.

Aku tersenyum tipis sambil menjawab, "Belum. Tapi gak makan sekali kan gak akan bikin mati. Kita langsung masuk aja yuk, kayaknya udah mau mulai nih."

"Elo yakin gak mau makan apa dulu gitu? Kuat emangnya nonton konser gak pake makan? Lo kan pasti bakal ikut goyang-goyang gak jelas," Vari mulai protes.

"Enak aja lo goyang-goyang gak jelas. Gue kalo sampe goyang ya udah pasti seksi lah yauw!" kataku sambil menjitak kepalanya.

Vari meringis, "Pokoknya kalo lo lemes, apalagi sampe pingsan, kita tinggalin aja ya, Yang.." lanjutnya lagi sambil bicara pada Iben. Aku mendengus tidak sabar. Tahu sekali kalau itu hanya gertakan sambal belaka. Dia tidak akan berani meninggalkanku kalau aku benar pingsan, yang ada pasti dia ikut panik sih. Mau tidak mau aku tersenyum sendiri membayangkan bagaimana Vari kalau sedang panik.

"Iya, kalau gue pingsan lo tinggalin aja. Tapi, jangan lupa telponin Nikko, biar dia yang urus gue," kataku kemudian. Deg! Apa tadi kubilang? Reaksi spontanku ternyata masih saja tidak bisa melepaskan Nikko dari ingatan. Kulihat Vari menatapku dengan wajah sedih. Aku tahu arti tatapan itu. Tatapan kasihan. Aku tidak suka, makanya segera kupalingkan wajahku dan bergerak memasuki tempat konser. Vari dan Iben tidak berkata-kata lagi, hanya mengikutiku dari belakang.

===

Konser sudah berlangsung hampir dua jam. Aku tidak bisa berhenti ikut bernyanyi pada hampir semua lagu yang dibawakan. Kata Vari aku salah angkatan karena bisa hafal hampir semua lagu di era 70-an dan 80-an. Terserahlah apa katanya, aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa menghafalnya. Mayoritas penonton disini memang sudah seusia ayah dan ibuku, aku jadi rindu mereka.

MaKo RhythmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang