Rhythm 7: Lunch Scene

174 9 2
                                    

"Siang, dengan Mara. Ada yang bisa dibantu?" sapaku ketika mengangkat telepon. Dahiku berkerut ketika Pak Agus --security yang bertugas di lantaiku-- menginformasikan kalau ada tamu yang mencariku. Seingatku tidak ada yang membuat janji temu denganku hari ini. Tapi, daripada membuat membuat Pak Agus bingung maka kuputuskan untuk menemui tamu tersebut. Siapa tahu salah satu klien penting.

Aku mengamati pria yang sedang memunggungiku agak lama. Aku masih tidak berhasil mengenalinya ketika akhirnya memutuskan menyapa lebih dulu, "Selamat siang, saya Mara. Ada yang bisa sa..."  Aku tidak berhasil menyelesaikan kalimatku ketika pria di depanku ini akhirnya berbalik.

"Denny?" ujarku ragu-ragu.

"Hai, Mara. Thank God lo masih ingat gue." katanya sambil tersenyum.

"Oh ya, tentu saja gue masih ingat," kataku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Dia menyambut uluran tanganku dan tidak melepasnya hingga beberapa saat, membuatku sedikit risih.

"Lo pasti kaget?" tebaknya.

Aku hanya menyipitkan mata sambil membalas, "Ya, siapa yang nggak. Kayaknya gue gak pernah bilang deh dulu, gue kerja dimana."

"Apa sih yang gue gak tahu tentang lo," jawabnya santai sambil menyeringai. Kalau boleh jujur, aku agak ngeri dengan tatapannya. Aku baru ingat kalau Denny ini anak pengusaha sesuatu. Hei, lupa boleh dong, toh selama ini aku memang tidak pernah tertarik padanya. Dan seperti umumnya anak-anak konglomerat, pasti mudah saja baginya untuk tahu informasi tentang aku yang bukan siapa-siapa ini.

Aku tersenyum tipis sambil mempersilakannya duduk di ruang tamu di kantorku. "So, ada yang bisa dibantu, Den, sampai lo muncul tiba-tiba disini?"

"Gak ada yang terlalu urgent sih. Gue cuma pengen ngajak lo makan siang aja. Kebetulan sekarang gue berkantor di gedung sebelah, jadi perlu guide yang asyik yang bisa kasih rekomendasi tempat makan siang di daerah sini." Jawabannya membuatku bertanya-tanya. Apa ya yang dia mau dariku? Kalau tadi dia bilang dia bisa tahu semuanya tentangku, masa untuk mencari tempat makan saja butuh bantuanku. Tidak masuk akal.

Tapi bukan Mara namanya kalau terlalu mudah diintimidasi dan tidak berani menantang. "Sorry Den, i don't need your bullshit right now. Kita ada di kantor gue sekarang, masih di jam kantor dan gak lagi mabuk," kataku tegas.

"Ah, yes, you're even prettier when you're not drunk, babe. Smart. Professional. Sexy. I like you!" katanya sambil mengedipkan mata.

Damn! Mimpi apa sih aku semalam sampai harus berurusan dengan playboy gila macam Denny. Dia pikir aku tidak tahu reputasinya yang suka bergonta-ganti pacar seperti minum obat tiga kali sehari? Masalahnya, biasanya semua korbannya dia itu artis atau model, bukan pekerja kantoran sepertiku. Tidak perlu dilihat dari Tugu Monas pun orang sudah tahu kok kalau aku jauh dari kriteria wanita yang bisa bikin pria tak berkedip hanya dengan sekali tatap.

Aku mendengus sebelum mulai mencecarnya lebih lanjut, "Den, gue lagi gak ada waktu main-main, please deh.."

"Mara, please deh..gue juga kan cuma ngajak lo makan siang," ujarnya tak mau kalah.

Aku masih berpikir ketika tak sengaja menatap mata memohonnya. Duh, semoga saja kemunculannya ini tulus cuma mau mengajak makan siang. Aku ragu tapi juga sekaligus paling susah menolak permintaan orang. Kebetulan aku memang sedang tidak ada janji apa pun. Jadi, demi alasan menghormati pertemanan, aku menyerah.

"Ok, fine. Gue temenin lo makan siang. Tunggu gue sebentar, gue ambil dompet dulu," kataku sambil berlalu.

***

"Jadi, sekarang lo pegang properti dan F&B?" Aku mengobrol ringan dengan Denny saat menyantap makan siang kami. Ternyata, orangnya lumayan asyik. Wawasannya cukup luas. Yah, mungkin aku saja yang terlalu berburuk sangka padanya tadi. Maafkan.

"Yup. Gue berencana membuka cabang baru untuk salah satu restoran yang gue pegang. Kalau lo tertarik buat jadi MarComm di tempat gue, silakan lho. Gue bakal kasih apa pun yang lo minta,"

Aku tersenyum mengejek, "Gue percaya di dunia ini gak ada yang gratis, Den. Jadi, kalau lo bilang, lo mau kasih apa pun yang gue minta, itu pasti bullshit."

"Well, ternyata benar kata orang-orang, lo memang susah ditaklukkan, Mar. Baik dalam hal pekerjaan, apalagi urusan hati." katanya tertawa sambil mengerling ke arahku.

"Apa itu maksudnya susah ditaklukkan urusan hati?" kejarku.

Bukannya menjawab Denny justru tertawa makin keras, membuat beberapa pengunjung lain melihat penasaran ke arah kami. "Nothing, Mar. Tapi kalau lo memang udah bosan sama pacar lo atau butuh selingan, please come to me. Belum pernah ada cewek yang gak terlena sama gue."

Yakin 100% otaknya Denny memang sudah mulai geser. Baru kali ini ada orang flirting terang-terangan padaku. Anehnya aku sama sekali tidak tertarik. Duh, aku jadi ingin segera mengakhiri sesi makan siangku.

Di saat aku masih bergerak-gerak gelisah, aku menangkap sosok seseorang dari sudut mataku. Aku menoleh untuk memastikan. Mataku bertatapan dengan Nikko. Lama. Seolah waktu terhenti di sekitar kami. Tapi, apa itu? Aku menangkap sorot sedih di matanya. Selama beberapa detik pandangan kami saling mengunci. Aku tersenyum padanya, tetapi dia justru mengalihkan pandangannya.

Dalam hati aku bertanya, kenapa Nikko bisa makan di daerah sini? Dan kenapa juga dia tidak mengabariku kalau mau ke daerah sini? Tahu begitu kan aku bisa makan bareng dengannya saja, daripada makan dengan Denny. Aku melirik lagi ke mejanya, sepertinya dia makan dengan beberapa rekan kerjanya, mungkin dia memang ada meeting di daerah sini. Baru 3 bulan dan aku sama sekali tidak tahu kabar Nikko. Menyedihkan.

Oh shit! Aku baru sadar ketika kembali ke posisi dudukku semula. Pasti Nikko mengira ada sesuatu antara aku dan Denny. Setahuku Nikko memang tidak kenal dengan Denny. Bahasa tubuh Denny yang jelas-jelas sedang menggombal di depanku pasti terbaca olehnya, walaupun aku tidak pernah menanggapi serius, tapi juga tidak menolak untuk sekedar digandeng. Duh, Tuhan, apalagi ini?

Aku masih terhanyut dengan pikiranku sendiri ketika Denny menepuk-nepuk punggung tanganku, mengajakku beranjak dari situ. Sekali lagi aku mengintip ke tempat duduk Nikko dan dia sudah tidak ada. Ah, dia bahkan tidak mau bersusah payah sekedar menyapaku atau mungkin mendampratku sekalian. Apakah cinta itu sudah hilang?

Sampai Denny mengantarkanku kembali ke kantor, aku masih mengawang. Mood-ku mendadak buruk. Mungkin aku harus minta izin pulang saja daripada membuat suasana kantor menjadi tidak enak.

=== 20150110 ===

MaKo RhythmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang