Rhythm 3: Ruined Date

178 13 1
                                    

Flashback.

Aku udah di lobby. Kamu bisa turun sekarang?

Akhirnya kabar yang kutunggu itu datang juga tepat pukul 20.00 WIB. Sebenarnya aku sudah bisa pulang sejak satu jam yang lalu. Tapi, apa daya ternyata si pacar masih terjebak macet. Sambil merapikan meja, aku mengetik jawaban singkat via WhatsApp.

Yup. Give me 5 minutes.

Aku terpana selama lima menit melihat tampak belakang si pacar tercinta. Posturnya yang tinggi dan tegap selalu membuat dadaku berdesir. Baik dulu maupun sekarang setelah 6 tahun menjalin hubungan putus-sambung dia masih selalu membuatku terpesona. He never failed me. Or anyone who sees him.

Hanya dari fisik saja, dia tidak bisa tidak membuat mata para kaum hawa melirik. Apalagi kalau mereka tahu bahwa pacarku yang luar biasa ganteng ini ternyata juga jenius luar biasa. Apa namanya kalau bukan jenius, bisa lulus cumlaude dari jurusan Teknik Industri dari salah satu universitas negeri berlambang Ganesha, padahal di saat yang sama dia juga drummer andal dari grup band lokal dari Bandung yang sedang naik daun saat itu. Jadi, selain kuliah, dia juga sibuk manggung. Entah kapan dia masih punya waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas. Oh, atau dia memang tidak perlu lagi belajar karena seseorang yang memiliki extraordinary memory katanya sih bisa mengingat gambar, suara dan obyek secara akurat hanya dalam waktu singkat.

"Mara?" Suara yang alpa kudengar selama 3 bulan terakhir ini sontak membuyarkan lamunan. Beruntungnya aku tidak lupa memberikan senyum paling manis hanya untuk dia.

"Hai, Nik! Kita langsung jalan naik mobil aku kan? Aku parkir di 3A. Yuk!" Dia hanya mengangguk kecil sambil memberi kode menyuruhku jalan lebih dulu. Khas Nikko, pelit kata-kata.

Sejam kemudian aku dan Nikko sudah duduk berhadapan di Tokyo Skipjack; salah satu warung steak di daerah Bulungan, Jakarta Selatan. Kami sengaja memilih meja agak di pojok supaya bisa mengobrol lebih leluasa tanpa harus terbatuk-batuk karena asap rokok pengunjung lainnya.

"Mara! Mara!!" suara pria yang tidak asing di telinga memanggilku dengan nada ceria. Mendadak aku gugup. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak hingga membuatku gelisah.

"Mar, tumben banget nih kita ketemu disini. Gue pikir kita bakal ketemu di bar kayak minggu lalu. Kalau sekarang, kayaknya lo masih segar nih! Gak teler kayak kemarin," kata temanku bernama Victor ini sambil cengar-cengir. Victor kalau ngomong memang tidak pernah disaring dan tidak peduli situasi. Duh, sial sekali nasib diriku ini yang bertemu manusia ini disini. Pakai bongkar-bongkar aib kalau aku sempat teler lagi. Aku tidak berani melirik Nikko, tapi aku tahu dia menatapku tajam dengan pandangan bertanya-tanya. Garis mukanya mengeras.

Aku tidak menanggapi pertanyaan Victor dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan, "Lo kesini sama siapa, Vic? Sering kesini juga?"

"Tuh, teman-teman gue disana. Habis ini mau lanjut kumpul-kumpul di penthouse-nya Rizal. Lo gak tertarik ikutan? By the way, Denny tanya-tanya tentang lo terus ke gue. Lo gak ada apa-apa kan sama dia waktu kemarin dia nganterin lo pulang?" Saat itu juga rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi. Nikko langsung mengubah posisi duduknya dari membolak-balik buku menu menjadi bersandar di bangku dan melipat tangan di depan dada. Kenapa Victor harus mengungkit soal Denny?

"Eh, Vic, sudah kenal belum? Kenalkan ini Nikko. Nikko, ini Victor, teman kuliah aku, dulu kita sama-sama jadi penyiar di radio kampus." Lagi, aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Nikko dan Victor akhirnya saling tatap dan berjabat tangan ala kadarnya. Mungkin saat itu Victor baru sadar kalau aku sedang tidak sendiri.

            Kencan malam ini akhirnya gagal total. Nikko cuma diam seribu bahasa dan tidak bereaksi. Dia tidak bertanya kenapa aku bisa teler dan pulang bareng Denny, yang tentu saja dia tidak kenal. Nikko hanya menunjukkan datar yang kuyakin dia sedang berusaha mengendalikan emosi. Setelah Victor meninggalkan meja, dia langsung membayar bill, tidak jadi menambah pesanan untuk kami. Nikko memang mengantarku sampai apartemen, tetapi tidak mampir untuk sekedar melepas lelah seperti biasanya. Di tengah perjalanan dia sengaja sudah menelepon taksi, jadi begitu sampai gedung apartemen dia langsung pulang naik taksi yang dipesannya.

            Tinggallah aku yang bingung harus bersikap bagaimana. Kenapa justru disaat Nikko sudah kembali ke Jakarta, situasinya jadi runyam begini. Ini memang bukan pertama kalinya aku berselisih dengan Nikko. Tapi, kalau diingat-ingat ini adalah pertama kalinya kami berselisih selama setahun terakhir. Feeling-ku mengatakan masalah ini akan berbuntut panjang.

=====

Part ini pernah saya publish di blog sebagai flash fiction. Sekarang saya upload disini dengan minor edit supaya ceritanya align dengan sebelumnya ^^v

-motskee-

MaKo RhythmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang