Bab 3 Kayaknya Kita Jodoh

107 25 5
                                    

"Ada gila-gilanya kan pikiran Gama? Apa ... dia lagi riset untuk film dia yang berikutnya?" Aileen mendengkus kesal, masih tidak habis pikir dengan ucapan Gama malam sebelumnya.

Kemala—sahabat Aileen sejak SMA yang juga mengenal Gama—tergelak mendengar cerita Aileen. Masih terlalu absurd banginya mendapati Gama melamar Aileen dengan cara seperti itu. Tapi ... apa kejadian itu bisa disebut 'melamar'?

"Mungkin dia emang udah ada rasa sama kamu dari dulu. Kamu aja yang selama ini nganggep dia kayak musuh."

"Ada rasa dari mana?" Aileen menepis ucapan Kemala sambil menggelengkan kepala dengan raut wajah geli.

"Tapi sebenernya sweet banget sih, Leen. Ngelamar dengan cara yang ... beda gitu."

Aileen mendelik kesal. Lamaran apa? Itu hanya trik Gama untuk mencuri ciuman darinya. Lagi-lagi Aileen ingin mengumpat jika mengingatnya. Kenapa juga dia bisa mematung saat Gama melakukannya?

"Selain ngelamar, apa lagi yang dilakuin Gama semalem? Kalo ngelihat gimana impulsifnya dia ... kayaknya nggak cuma itu deh."

"Nggak ada," jawab Aileen singkat. Tidak akan ia biarkan siapa pun tahu tentang kebodohannya dalam menghadapi Gama, sekalipun itu sahabatnya sendiri.

Kemala yang sudah mengenal Aileen satu dekade belakangan, tentu tahu kapan Aileen berdusta dan berusaha menutupi sesuatu. Namun ia membiarkannya kali ini, pasti sesuatu yang sangat privasi kalau sampai Aileen merahasiakannya. "Tapi jujur deh, Leen. Gama memang nggak seburuk itu kan? Panteslah buat dibawa sebagai calon suami. Tampang oke, pekerjaan oke, apa yang kurang—"

"Manja. Kamu nggak inget dia itu si anak mami yang manja."

"Ya wajarlah, Leen. Kamu tau apa yang udah dia lewatin sampai jadi begitu. Tapi kan bukan berarti dia nggak bisa imam—" Kemala menahan ledakan tawanya saat melihat Aileen menunjuknya dengan jari telunjuk, memerintahnya untuk berhenti bicara. "Whatever-lah. Imam, pemimpin, atau apa pun bahasanya. Yang jelas dia seorang produser yang sukses. Itu aja udah bisa buktiin kalau dia bisa memimpin. Mimpin kru puluhan orang aja bisa, apalagi berkeluarga."

"Ya beda dong, Mal. Mana bisa produksi film disamain sama pernikahan. Denger ya, produksi film itu cuma temporer. Kalau filmnya meledak di pasaran ya syukur. Tapi kalau ternyata filmnya gagal, ya ... cuma kehilangan duit. Nama baik bisa dipulihkan dengan banyak alasan. Tapi pernikahan? Itu untuk seumur hidup. Kalau gagal—"

"Kalau berhasil? Ya jangan dipikirin gagalnya dong, Leen."

"Aku cuma mau cerita gimana kelakuan absurd Gama, bukannya mau minta pendapat—aku harus jawab apa ke Gama." Aileen menyesap ice americano yang sudah tidak terlalu dingin lagi. Es batu di dalam gelas sudah mencair semua. Ternyata selama itu mereka berdua bicara. "Kayaknya aku salah deh ke sini, curhat sama kamu."

"Iya, kayaknya kamu salah deh ke sini sekarang," ujar Kemala sambil menatap layar ponselnya yang baru saja menunjukkan pop up notification chat dari atasannya. "Gama sama timnya mau ke sini, aku diminta bos buat nyambut mereka di lobby."

"Hah?" Untuk sedetik, Aileen lupa kalau ia sedang mengunjungi Kemala di kantornya yang merupakan sebuah kantor model agency and artist management.

Produser dan kantor model agency and artist management, sekarang Aileen bisa menghubungkan keduanya. "Kenapa nggak bilang dari tadi sih kalo Gama mau ke sini?"

"Aku juga nggak tau, mungkin ada rencana bisnis dadakan, si bos barusan bilang."

"Aku cabut dulu deh."

"Takut ketemu?" ledek Kemala yang masih merasa ingin tertawa membayangkan adegan Gama melamar Aileen.

"Males. Bedain ya antara males ketemu sama takut ketemu."

Relokasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang