Bab 8 Hanya Perlu Saling Bergantung

258 34 6
                                    

"Aileen, diminum dulu," tegur Gama saat memperhatikan Aileen-yang sejak mereka menginjakkan kaki ke dalam cafe-hanya melamun sambil menatap ke luar café.
"Hah?"
"Diminum dulu, Sayang."
Aileen dengan refleks menggerakkan kaki untuk menendang tulang kering Gama ketika mendengar laki-laki itu memanggilnya 'Sayang'.
Gama hanya mengernyitkan kening sambil menahan geraman kesakitannya. "Jangan kasar sama calon suami, Leen."
Memutar kedua bola matanya dengan malas, Aileen mendengkus pelan. "Ada cara nggak untuk ngebatalin semuanya? Maksudku ... aku kemaren cuma berniat untuk lepas dari Bara. Aku nggak mau Bara cerita tentang hubunganku dulu sama dia ke orang tuaku. Aku nggak tau kalau semuanya malah semakin runyam."
"Kenapa harus dibatalin?" Kali ini Gama benar-benar serius menatap Aileen. Ia tidak ingin Aileen menganggapnya hanya bercanda meskipun Aileen belum bisa mempercayainya.
"Kenapa harus diterusin kalau kita berdua sebenernya nggak ada perasaan apa-apa?"
"Loh! Aku kan tadi udah ngaku di depan orang tuamu kalau aku cinta sama kamu."
Aileen-yang panik karena suara Gama tidak bisa dibilang pelan-langsung mengedarkan pandangan ke arah beberapa remaja yang terkikik geli karena ucapan Gama. "Shut up, Gam! Bedain antara ngaku atau ngaku-ngaku!"
"Apa kamu pikir aku berani 'ngaku-ngaku' di depan papamu yang tatapannya aja bikin orang gemeteran?"
Sempat terkesiap dan terdiam sesaat karena ucapan Gama, sampai akhirnya akal sehat Aileen memerintahkannya untuk sadar. Nonsense kalau Gama menyukainya apalagi mencintainya.
"Dengerin aku, Leen. Seperti alasan yang kamu bilang di depan orang tuamu kalau aku yang ada saat kamu butuh seseorang, itu juga yang terus akan aku lakukan. Kita cuma perlu saling bergantung dalam menjalani pernikahan ini nantinya."
"Nggak ada pernikahan yang dimulai hanya dengan saling bergantung, Gam."
"Then we try it! Coba deh kamu pikir! Saling bergantung bisa bikin ikatan lebih kuat dari sekadar cinta. Baru setelah itu kita coba buat pelan-pelan saling mencintai. Kamu. Maksudku kamu bisa belajar cinta sama aku. Aku kan ... dari dulu selalu nganggep kamu menarik, jadi nggak susah buatku jatuh cinta ke kamu."
Aileen menggeleng pelan. "Jangan bikin aku bingung, Gam!"
"Bingung di mananya?"
"Au ah."
"Apa kamu mau kita tanda tangan kontrak kayak cerita di filmku yang terakhir? Kamu nonton film buatanku kan?" selidik Gama.
"Ngapain aku nonton filmmu?" Aileen berpura-pura. Tentu saja. Ia menonton film terakhir yang digarap Gama demi menemani Yara-adik bungsunya yang saat itu baru putus cinta. "Lagian pernikahan itu hal yang suci ya, apa-apaan pake kontrak-kontrak segala."
"Setuju. Tanpa kontrak. Next time, temenin aku ke premier film buatanku ya." Gama menahan dengkusannya. Harusnya ia tidak perlu kecewa, toh ia sadar kalau tidak semua orang Indonesia mau merelakan uangnya dan meluangkan waktu untuk menonton produksi film dalam negeri, dan ia agak yakin kalau Aileen adalah salah satu di antaranya.
"Ya ... tergantung. Aku tertarik sama ceritanya apa nggak."
Gama mengangguk-angguk. Mungkin Aileen belum tahu kalau ia sudah berkali-kali memenangkan penghargaan di berbagai festival film, yang berarti film garapannya tidak sepicisan anggapan Aileen.
Daripada sakit hati, Gama memilih mengalihkan pembicaraan. "Btw, Leen, si mantan kamu itu ... jabatannya di perusahaan kamu apa? Kayaknya papa kamu deket banget sama dia."
"Vice presdir."
"Loh? Bukan kamu vice presdirnya?"
"Aku perempuan. Dan meskipun papaku sama sekali nggak mandang gender, tapi nggak semua anggota RUPS begitu. Keluargaku memang punya saham mayoritas di perusahaan, tapi demi menghindari kisruh, aku ngalah. Waktu itu aku juga mikirnya dia bakal jadi suamiku, so nggak masalah kalau dia yang menduduki kursi vice presdir."
"Jadi, apa rencanamu?" Meskipun hubungan mereka tidak bisa dibilang dekat karena lebih sering bertengkarnya dibanding damai, Gama tahu bukanlah karakter Aileen untuk diam dan membiarkan orang yang menyakitinya tidak mendapat balasan.
"Aku nggak perlu cerita. Itu rencanaku. Aku nggak mau banyak orang yang tau."
"Manfaatkan aku. Kalau-kalau kamu perlu. Aku sama sekali nggak keberatan."
Aileen menatap Gama untuk beberapa saat. Kenapa sejak tadi Gama seperti sedang meyakinkannya untuk meneruskan rencana pernikahan mereka? Apa yang membuat Gama tidak terlihat ragu sama sekali?
"Kak Alfa baru markirin mobil, bentar lagi masuk."
Punggung Aileen menegang seketika. Ia beberapa kali melihat kakak sulung Gama dari balkon rumahnya, tapi ia sama sekali belum pernah berinteraksi dengannya.
"Aku belum bisa ngajak kamu ketemu Kak Beta sebelum ngelewatin Kak Alpha. Karena keputusan ada di Kak Alpha. Kalau dia ok, Kak Beta pasti ok."
Aileen juga tahu siapa sosok Beta-anak tengah di keluarga Gama. Sikap dingin dan galaknya sudah terkenal di seantero komplek rumah mereka. Bahkan, ia dan Beta kerap kali dibandingkan karena sikap mereka yang sebelas-dua belas.
Dua kakak Gama itu memang tidak tinggal dengan Gama dan ibunya. Sejak perceraian orang tua Gama, kedua kakaknya tinggal dengan sang ayah. Sementara Gama diasuh sang ibu. Alfa dan Beta baru akan datang ke rumah ibunya sebulan sekali atau pada momen tertentu saja.
Aileen mendongak saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Detik itu Aileen sadar, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Gama sudah meminta izin kepada orang tuanya dan sekarang ia akan bertemu dengan kakak Gama. Maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali meneruskan pernikahan absurd-nya dengan Gama.
Rasanya, Aileen tidak pernah kesulitan belajar apa pun dalam hidupnya. Apa ia juga tidak akan kesulitan belajar mencintai Gama?
"Sorry, sorry, tadi kelasnya molor." Alfa menepuk pelan pundak adiknya sebelum melirik ke arah perempuan yang ia tidak asing lagi. "Aileen kan? Anak tetangga Ibu?
Aileen mengangguk kaku. "Hai, Kak. Baru kelar ngajar?"
Alfa balas mengangguk. "Iya, tadi mahasiswanya banyak yang nanya materi, jadi molor kelar kelasnya. Duduk, Leen. Santai aja."
"Pesen dulu gih, Kak. Aku mau ngomong hal yang penting," ucap Gama.
Gama lantas menyesap orang juice di hadapannya sebelum ia memulai pembicaraan seriusnya. Kakaknya itu adalah orang yang sangat tegas untuk bicara hal semacam pernikahan. Perceraian orang tua mereka adalah pembelajaran besar baik untuk Alfa, Beta, maupun Gama sendiri.
"Jadi, apa? Kamu mau ngomong apa?" tanya Alfa yang sudah mengembalikan fokusnya kepada Gama dan Aileen.
"Ini aku belum bilang ke Ibu ya, Kak. Kakak yang pertama tau di keluarga kita."
"Apaan sih, Gam. Jangan bikin deg-degan." Alfa melirik ke arah Aileen. "Apa ada masalah sama perusahaan keluarganya Aileen? Kamu buat ulah?"
Aileen mengulum senyum mendengar pertanyaan Alfa. Mungkin memang seselengean itu seorang Gama, hingga kakaknya langsung melemparkan tuduhan.
"Nggak, Kak! Siapa yang berani buat ulah sama keluarganya Aileen?" Dalam hati Gama merutuki dirinya sendiri. Ia sadar saat ini pun sedang membuat ulah karena mengajak putri sulung di keluarga itu untuk menikah.
"Ya terus?"
Gama menunggu sebentar sampai seorang pramusaji selesai menyuguhkan ice americano yang dipesan kakaknya.
"Aku mau nikah sama Aileen, Kak."
"Uhuk! Uhuk!" Alfa terbatuk dengan heboh karena kopi yang disesapnya bahkan baru menyentuh tenggorokan. "Anjir lo bisa ngomongnya nunggu gue kelar minum dulu nggak sih? Sakit tau keselek kopi!" umpat Alfa.
Gama hanya cengengesan meskipun mendapatkan umpatan dari kakaknya. "Kakak nggak keberatan kan kalo aku ngelangkahin Kakak kayak Kak Beta ngelangkahin Kakak?"
Aileen sontak menoleh ke arah Gama. Ia sama sekali tidak tahu kehidupan keluarga Gama, apalagi sampai kehidupan pribadi kakak-kakaknya. Dan sekarang ia baru tahu kalau Alfa belum menikah.
Alfa mengacak rambutnya dengan frustasi. Dilangkahi adik perempuan adalah hal yang biasa. Namun, dilangkahi adik laki-laki?

----

Author's note:

Lanjutan kisah ini bisa dibaca di Karyakarsa ^_^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Relokasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang