4. Bapak, Alby Pulang

1.3K 151 6
                                    

Jauh sebelum kabar gila ini sampai ke telinga, Alby rasa dunianya masih baik-baik saja. Meskipun dalam keadaan keluarga yang berantakan. Setidaknya, ia masih memiliki fisik dan mental yang kuat agar bisa terus melanjutkan hidup.

Prinsip Alby hanya satu, angan yang hebat harus dibarengi dengan kerja keras. Alby ingin memiliki banyak uang agar bisa kembali membawa Bapak menjadi kepala di keluarga kecilnya.

Namun, seketika bayangan semu itu menghilang begitu saja. Harapan demi harapan pupus tertampar realita. Tak ada lagi gambaran indah yang bisa membangkitkan semangatnya. Alby tersungkur oleh fakta yang begitu menyakitkan.

Bapak.

Satu-satunya manusia yang paling Alby idolakan, telah pergi diambil semesta. Membawa semua semangat yang berusaha Alby pupuk di tengah pedihnya kenyataan hidup.

"Mas, lama lagi, ya, sampeknya?"

Mendengar suara kecil itu, Alby tak kuasa menahan tangis. Tangannya terulur menarik tubuh Rizki untuk masuk dalam dekapan. Menikmati sensasi pilu di tengah guncangan bus yang berjalan. Air matanya berjatuhan membasahi jaket abu yang Rizki kenakan.

Di seberang kursi, Tantri menatap dengan wajah tak kalah menyedihkan. Jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya. Ada rasa cinta dan rindu terlukis di sana. Itu semua membuat hati Alby semakin berdenyut tak karuan.

Ya Tuhan, mengapa harus begini?

"Mas kok sedih, sih? Kan Mas bilang kita mau ketemu bapak."

Anak kecil itu mengurai pelukan, menghapus air mata sang kakak dengan jemari kecilnya. "Mas nggak malu? Udah gede kok masih nangis. Jangan nangis, Mas Alby ...."

Alby sedikit menarik bibir kemudian mengelap sisa air matanya menggunakan tangan kaos oblong yang ia pakai. "Oh, iya. Kita kan mau ketemu bapak," ujarnya kemudian dengan nada bergetar.

'Dalam keadaan nggak bernyawa, Ki.'

"Oh, iya, Mas. Nanti bantu Iki cari tempat buat sembunyiin sepatu, ya. Takut diinjek-injek, kan sayang baru dibeli tadi siang."

Keduanya sontak menatap ke bawah. Alby baru sadar kalau Rizki memakai sepatu yang baru mereka beli. Setelahnya, cowok jangkung itu pun terkekeh.

"Kok dipake sih, Le?"

"Mau pamer ke Bapak," jawabnya sambil tersenyum lebar.

Untuk menutupi sesak, Alby menyuruh Rizki tidur. Kondisi hatinya sedang tidak baik. Banyak kata sepele yang terasa menyakitkan ketika didengar.

Setelah menempuh empat jam perjalanan, akhirnya ketiganya pun sampai di kediaman keluarga Bapak di Blitar. Begitu sampai, Alby disuguhi oleh suasana duka yang begitu menyiksa hati. Ada bendera kuning, tertancap di bagian depan rumah.

Alby mencoba tegar untuk tetap berdiri dengan kuat ditengah banyaknya pelayat. Mata mereka tertuju pada Alby dengan berbagai ekspresi. Entah apa yang tengah mereka pikirkan, Alby tak peduli.

Dengan kaki bergetar, Alby melangkah masuk membelah kerumunan. Diikuti Tantri dengan Rizki di gandengan. Jantung Alby tak pernah berhenti berdebar saat pijakannya semakin memangkas jarak. Ada keranda yang sudah tertutup kain hijau menyapanya. Alby mulai tak bisa mengendalikan diri.

"B-bapak ...," bisiknya lirih.

"Allahuakbar."

Tepat di depan pintu, Alby memutuskan berhenti. Menatap dengan hati luar biasa kacau.

Ia melihat Bapak.

Berada sekitar lima langkah dari tempatnya berpijak, terbaring kaku berbalut kain putih. Sedang disholatkan oleh beberapa orang.

Alby, Jangan NangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang