2015
Eross Diyan bukannya tak punya uang untuk makan. Hanya saja hitungan jarinya menunjukkan ia harus makan hemat siang ini, atau ia harus bertahan di kota ini sampai dapat job baru.
"Padahal udah hampir semua warung gue mampir... hiks..." Mondar-mandir di depan warung burjo, Eross hanya bisa meratapi kenyataan bahwa uang saku di dompetnya bakal terpakai untuk tiket kereta dan naik angkot nantinya. Sisanya, kurang dari sepuluh ribu.
LAPAR!
Teriakan batin Eross memantapkan langkahnya masuk ke warung burjo. Melirik daftar menu tipikal semua warung burjo yang disponsori oleh produsen mie instan nasional, Eross lantas menghela nafas lega. Special thanks untuk semua orang Sunda di seluruh penjuru Indonesia, warung burjo memang kuil Dewa Pangan.
Baru saja ia memesan Nasi Goreng Magelangan pada Si Aa' Burjo, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Pak Irawan?"
Caller ID menunjukkan nama pemilik restoran yang pernah jadi kliennya beberapa waktu lalu.
Semoga kabar baik, begitu batin Eross sumringah lalu mengangkat panggilan telepon.
"Halooo, apa kabar? Nak Diyan lagi dimana?"
"Halo Pak Irawan. Hehehe kabar baik, Pak. Saya lagi di Solo, Pak. Biasa, jalan-jalan," sahut Eross dengan nada girang, walau dalam hati sedikit kesal dengan nama panggilan yang digunakan Pak Irawan untuk memanggilnya.
Diyan. Hanya membuatnya merasa seperti anak kecil si tua itu saja.
"Waah... Tak kira kamu masih di mBoyolali."
"Hehee... Enggak, Pak. Habis dari resto bapak, besok lusanya saya langsung ke Solo. Gimana, Pak? Ada perlu bantuan saya lagi?"
"Oh, enggak. Kamu udah banyak bantu saya kemarin. Ini saya mau nyampaikan makasih, gara-gara foto kamu kemarin, banyak yang datang ke Resto saya. Dari luar kota malah." Suara berat Pak Irawan di seberang terasa senang. Eross juga ikut senang. Mendadak hidungnya mencium bau uang, "Nah, saya mau minta ijin untuk pakai foto kamu di daftar menu dan pamflet promosi."
"Oh, sip, pak! Boleh banget! Itu kan karena Mas Koko yang masaknya jago banget."
"Hahahaa, iya, iya. Ya sudah, makasih kalau gitu. Saya udah kirim uangnya ke rekening kamu. Nanti di cek saja, ya. Kalau kurang, kabari saya."
"Hah?! Seriusan, Pak?!"
Rejekiii! Rejeki emang nggak kemana, lah! Begitu pikir Eross sambil melonjak girang.
"Hahahahaha, iyaaa... Saya tahu kamu pasti butuh itu. Masa saya ditolong banyak, tapi nggak kasih apa-apa, kan?"
"Iiihh bapak pengertian banget, Paaak! Makasih, Paaak! Saya emang lagi kere, nih!"
"Hahahahaha, iyaa. Nak Diyan habis ini mau kemana?"
Masih dengan senyumnya yang terlampau lebar, Eross membayangkan destinasi selanjutnya yang bakal lebih terfasilitasi. Mungkin kali ini ia bakalan piknik. Uang dari Pak Irawan tak pernah sedikit.
"Jogja, Pak. Yang deket aja. Siang ini saya meluncur ke Tugu naik kereta."
"Oke kalau begitu. Hati-hati di jalan ya, Nak. Jangan sungkan-sungkan hubungi saya kalau butuh bantuan."
"Iya, Pak. Makasih banget. Bapak juga, kalau sewaktu-waktu Mas Koko bikin menu baru, saya siap datang langsung ke Resto bapak buat motret. Oke kan, Pak?"
"Sip kalo gitu. Hahaha."
Sambungan telepon terputus, tapi cengiran Eross tak putus-putus. Makin lebar sampai matanya tenggelam begitu saja di balik pipinya yang chubby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through The Lenses
General FictionEross tak pernah berada di satu tempat. Bepergian kemana pun yang dia suka, tanpa uang, tanpa rencana, hanya ada dia dan kameranya. Dengan kemampuan fotografinya, ia bisa makan dan melakukan apa pun yang dia inginkan. Hingga di satu kota, di sebuah...