Marcello

5.8K 590 24
                                    

(Reno PoV)


"Jadi, kamu nggak mengacau, kan, selama aku di Solo?"

Marcello tidak langsung menjawab. Setelah membayar parkir di gate keluar Stasiun Tugu, dia tidak segera menutup jendela. Malah merogoh sebatang rokok dari saku polo shirt-nya dan menyelipkannya di bibir.

"Kecuali bikin mobilku bau rokok, ya," sindirku.

Tapi tetap saja. Marcello bukan orang yang mau menanggapi sindiran orang. Atau peringatanku tentang jangan merokok, atau setidaknya jangan di mobilku.

"Gue lagi mikir," sahutnya sambil menyalakan rokok, "kekacauan apa yang nggak gue lakuin selama lo nggak ada."

"Dasar."

"Enggaklah, gue jadi anak baik kok. Mobil lo gue bawa ke bengkel kemaren."

"Serius?" aku takjub, tumben banget Marcello baik.

"Soalnya gue kemaren nyrempet pager rumah lo. Bempernya baret."

"Kurangajar!" 

Tidak jadi takjub, deh! Tega-teganya dia bikin mobilku lecet

"Mobil tabungan seumur idupku ...," ratapku.

"Alah, mobil bekas aja pake mewek."

"Maaf aja, ya! Walau bekas, beli pake duit sendiri!"

"Iya deh, sorry. Tuh, gue beliin kado penyambutan kepulangan lo." Kali ini Marcello menghembuskan asap rokoknya sambil memberi kode agar aku melihat bangku belakang.

Ada bungkusan plastik. Isinya minyak pelumas.

"Hah? Apaan, nih?"

"Buat minyakin pager. Pager lo bengkok gara-gara gue serempet. Bengkok, nggak bisa nutup. Udah gue ketok mejik sendiri kemaren tapi masih macet."

"Marcellooooooo! Kamu emang nggak bisa ditinggal ya! Aku cuma pergi seminggu loh!"

"Don't leave me then..." sahutnya lagi. Nada masa bodoh, tentu saja.

Huuufhh....

Aku cuma bisa mendesah panjang. Marcello, sejak lahir memang biang masalah. Aku sampai tidak bisa menyalahkan ayah ibunya nya yang temperamen kalau menghadapinya. Hidupnya semaunya sendiri, nalarnya susah dimengerti. Dan sejak dia datang ke Indonesia, hidupku tidak pernah sama lagi.

Marcello itu anak dari sahabat Mom and Dad yang tinggal di Jerman. Karena orangtuanya yang sibuk, dia sering dikirim main ke rumah dengan harapan bisa punya teman main yang sebaya. Padahal kupikir memangnya dia tidak punya teman seumuran di Jerman sana? Tapi ternyata memang disana tidak ada yang mau berteman sama dia karena ya itu, ngeselin.

Tak tahu lah, entah karena kurang perhatian atau terlalu apatis akan perhatian, dia suka ngilang sendiri. Keluarganya sempat kacau beberapa bulan setelah dia masuk kuliah. Bilangnya kuliah, tapi ternyata setelah di cek di Universitasnya, dia tidak tercatat sekalipun pernah masuk kesana. Lacak sana-sini, akhirnya dia ketemu.

Lagi di Itali! Sekolah masak! Nekat betul. Manisnya, dia sewa apartemen studio persis di blok sebelah rumah Dad. Katanya, "Aku merasa aman tinggal dekat ayahmu, daripada dekat-dekat ayahku. Kayaknya dia makan orang. Galak banget."

Mendengar itu, orang tuanya pasrah saja. Sudahlah, terserah mau Marcello saja. Sampai lulus sekolah dan memutuskan pindah ke Jakarta menyusulku pun orang tuanya rela-rela saja.

Atau masa bodoh mungkin?

Yah, mungkin mereka lelah.

Sepertiku. Hah...

Through The LensesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang