[3]-Dia Yang Tidak Berwajah

13 5 0
                                    

Trigger Warning : Near-death experience
–––

"Apa kau baik-baik saja? Kau mengigau."

"A-ah, t-tidak masalah. Aku hanya ... bermimpi buruk."

–––

Malam itu, tidurku berhasil di kacaukan oleh semarak bunyi keramaian dari luar rumah. Benar-benar bising yang sangat mengganggu, aku mendengar banyak suara orang yang sedang berbincang dan sesekali terdengar ketukan pada pintu rumah kami.

Jam berapa sekarang? Dengan enggan aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah ke luar kamar. Jam dinding menunjuk angka 12 lebih beberapa menit. Sial, orang gila mana yang mau bertamu di tengah malam seperti ini? Aku mengintip dari tirai jendela ruang tamu dan terkejut melihat banyak orang ternyata telah berkerumun di depan rumah, memenuhi teras hingga sepanjang halaman rumah. Apa-apaan ini? Satu desa tiba-tiba datang mengerumuni rumah kami.

Aku melihat mereka, tapi enggan membuka pintu. Jika saja mereka adalah kerumunan orang marah yang hendak mengancam keluargaku, ada baiknya pintu rumahku tetap kubiarkan terkunci.

Aku membuka jendela sedikit dan melongok ke sekumpulan orang itu.

"Maaf Ibu, Bapak. Ada apa ya?"

"Ah, Pak. Kami hanya ingin masuk sebentar dan berbicara dengan anda, hanya sebentar."

Aku agak kebingungan mendengarnya. Aku tidak segera mengiyakan tapi tidak juga mengusir kehadiran orang-orang itu. Seingatku, aku tidak punya hal yang perlu di diskusikan dengan mereka. Atau mungkin istriku? Yah, mungkin saja, pekerjaannya sebagai dokter di desa ini pasti membuat dia sering bertemu dengan penduduk desa, mereka mungkin ingin membicarakan beberapa hal dengannya.

Aku pun beranjak ke kamar, hendak membangunkan istriku dan memintanya untuk menemui orang-orang yang sudah menunggu di luar rumah kami. Sambil menunggu istriku bersiap, aku kembali berjalan keluar, ingin melayani para tamu yang sejak awal belum aku persilahkan untuk masuk. Di kuar dugaan, aku sangat terkejut saat mendapati orang-orang itu ternyata sudah masuk ke dalam rumah kami, padahal aku yakin betul pintunya masih terkunci. Dengan cepat aku beranjak ke ruang tamu dan memeriksa, ternyata kunci pintu sudah dibobol paksa oleh mereka melalui jendela yang tadi dibiarkan terbuka.

Jujur saja aku agak tersinggung, rasanya ingin memaki tapi sejak tadi orang-orang ini hanya berdiri dengan tenang menatapku, tidak ada tanda-tanda ingin melakukan kekerasan. Jadi aku memutuskan untuk mengalah dan membiarkan mereka, biarlah Istriku yang berbicara langsung dengan mereka nanti. Aku pun menyeret kakiku ke dalam kamar mandi, hendak membasuh wajah dan menghilangkan kantuk yang rasanya masih menyelimuti separuh kesadaranku.

Aku tidak memiliki pemikiran buruk apapun saat masuk ke dalam kamar mandi, aku membasuh wajah seperti biasa. Cahaya bulan yang terang menyeruak masuk dari ventilasi kamar mandi, memantulkan bayangan hitamku di atas air yang beriak tak tenang. Aku menatap pantulan wajahku sendiri yang terlihat seperti bayangan hitam, agak menyeramkan. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, bayangan itu pun melakukan hal yang sama, tentu saja. Aku pun memiringkan kepalaku ke kanan dan ke kiri.

Bayangan itu tidak bergerak.

Aku terkesiap, tersadar jika bukan bayanganku saja yang terpantul di atas air itu. Aku mendongak dan mataku bertabrakan dengan mata putih-kemerahan dari makhluk hitam menyeramkan yang duduk di langit-langit kamar mandi. Wujudnya seperti bayangan hitam pria dengan mata putih dan tanpa mulut. Ia tidak berbicara, ia hanya duduk diam dengan kepala menengadah, menatapku lurus seolah sudah menunggu lama untukku menyadari kehadirannya. Kedua sudut matanya melengkung tipis membentuk bulan sabit, dan aku melihat itu sebagai seringaian yang bengis.

Aku ingin lari, namun tubuhku seolah membatu. Tak sedikitpun aku bisa bergerak, pun teriakanku seolah tersangkut di tenggorokan. Aku hanya bisa diam ketakutan ketika makhluk itu mulai melompat turun di hadapanku. Ia menatapku sejenak, memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri. Ia mulai mendekat, tangannya yang dingin dan runcing mencari detak jantungku dan bergerak perlahan merambat menuju leherku. Matanya kembali membentuk bulan sabit seiring cengkramannya di leherku yang semakin mengerat.

Ngilu teramat sangat aku rasakan saat ini. Aku terbatuk, udara yang aku hembuskan terasa panas dan semakin menipis.

Semakin erat.

Aku mencoba memberontak, tapi tubuhku terasa lemas. Seperti ikan kehabisan napas, aku melihat ke sana kemari dengan mulut terbuka, mencoba mengaup udara sebanyak yang aku bisa, tapi nihil. Aku tidak bisa bernapas, tulang leherku terasa bersinggungan dengan tenggorokan, perih. Cengkraman makhluk itu telah menyumbat jalur pernapasanku sepenuhnya.

Semakin erat.

Paru-paruku mulai terasa sakit.

Pandanganku perlahan mengabur, diikuti suara bising di telingaku yang perlahan kusadari adalah suara teriakan, tawa dari anak-anak yang sedang bermain dan suara ramah dari perempuan cantik yang sedang berkutat dengan dokumen pekerjaannya. Wajah mereka terputar di kepalaku, silih berganti, suara mereka terasa bergema memanggil namaku. Aku ingat mereka, wajah mereka terasa sangat familiar bagiku, tapi ... siapa mereka?

Tubuhku terasa lemas dan mulai kebas, di tengah kesadaran yang telah mencapai batas leher, aku mulai tersadar jika makhluk itu berniat untuk membunuhku. Aku bisa melihat samar wajah makhluk hitam itu yang melihat ke arahku, matanya masih berbentuk bulan sabit, menyeringai menghantarkan kematianku.

La ilaha illa Allah, dalam keputusasaan hanya satu kalimat itu kudengungkan dari lubuk hati kepada Dia yang memiliki bumi ini. Tak ada lagi tempat untuk meminta pertolongan dalam ketakutanku, hanya Dia satu-satunya yang mampu mendengar, dan aku harap dia mendengarkanku, mendengarkan cicit ketakutan yang tidak sanggup lagi aku lisankan, mendengarkan perlawanan yang tidak sanggup lagi aku lakukan.

Mendengarkan penolakanku untuk mati di atas tangan makhluk ini.

Pandanganku mulai menggelap, untuk sesaat tubuhku terasa ringan dan nyaman. Tapi itu tidak berlangsung lama karena cengkraman di leherku tiba-tiba mengendur perlahan, antara takut dan bingung aku mulai membuka mata, apa aku sudah mati?

Aku menatap diriku sendiri, dua tangan dan kaki masih menapak dengan baik di keramik kamar mandi yang dingin. Aku memeluk diriku sendiri, terasa hangat seperti biasanya dan masih bernapas dengan baik. Aku meraba diriku berulang kali sebelum akhirnya benar-benar yakin jika aku masih hidup dan sehat.

Aku mendongak, makhluk hitam itu kini telah berdiri di depan pintu kamar mandi, menatap lurus ke arahku tanpa ekspresi. Makhluk itu kemudian berbalik, berjalan pergi dan akhirnya menghilang dari hadapanku dalam wujud kepulan asap hitam.

Puk!

Seseorang menepuk bahuku, aku terkejut. Kesadaranku kembali tercecer, seolah ditarik paksa dari satu tempat, aku terbangun dengan napas terengah-engah, tenggorokanku terasa kering. Aku meraba leherku sendiri, merasakan jejak dingin dari tangan makhluk itu yang mulai menghilang diikuti oleh nadiku yang masih berdetak pelan.

"Apa kau baik-baik saja? Kau mengigau."

Aku berbalik, melihat wajah perempuan yang sedang menatapku khawatir, kini berhasil mengenali dirinya. Dia adalah istriku, orang yang selalu mendukung dan mendampingi di setiap langkahku. Aku berbalik dan melihat dua anak kecil yang sedang tertidur dengan pulas, aku mengenali mereka juga, kedua anak-anakku, permata paling berharga yang selalu aku jaga dengan penuh cinta. Aku menarik napas lega, sudut mataku terasa berair saat kepalaku akhirnya berhasil mengembalikan ingatanku tentang mereka, keluargaku yang teramat berharga. Kejadian hari ini memberikan aku persepsi baru akan kehidupan serta betapa dekatnya diriku dengan kematian.

"A-ah, t-tidak masalah. Aku hanya ... bermimpi buruk."

–––

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

–––

11.11 (05/09/2022)
Nighty-night🌟
Ren

–––

Book Of DreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang