I will, Aksa

25 4 2
                                    

"Cia, will u be mine?"

Aku terdiam untuk beberapa saat. Seketika aku teringat ucapan yang baru saja ia lontarkan kemarin.

"Aksa terakhir pacaran 2 tahun yang lalu, karena Aksa udah cape gonta ganti pasangan. Pengen yang serius, jadi untuk pacaran masih ragu."

Lalu kenapa sekarang ia tiba-tiba mau jadi pacarku?

"Cia? kok diem?"

Ribuan pertanyaan memenuhi isi kepalaku. Seorang Aksa Reviano? pendekatan 2 hari sangat singkat sekali. Mana mungkin seseorang yang trauma dengan masa lalu bisa memutuskan untuk menjalin hubungan sama cewek yang baru dikenalnya secepat ini tanpa pikir panjang?

Namun, lagi-lagi aku tak bisa membohongi diri sendiri bahwa aku kesepian. Perasaanku pada Dika pun sudah pudar dimakan waktu. Apa salahnya jika aku memulai lembaran baru? Meskipun dibilang terlalu cepat, kupikir jalani saja dulu.

"I will, Aksa."

Terdengar helaan nafas lega dari balik telfon. Meski jadi sedikit canggung, kami tetap melanjutkan perbincangan. Membahas hal-hal random yang nggak jelas, dan kurasa kami satu frekuensi dalam hal ini.

Setiap pagi ketika aku bersiap untuk pergi ke sekolah, Aksa rutin mengirimkan 2 bubble chat berisi ucapan selamat pagi atau sekedar berpamitan. Bulan itu ia ditugaskan untuk Praktek Kerja Lapangan. Jadi waktu kami untuk berkomunikasi benar-benar terbatas.

Di sekolah, seperti biasa aku dan Revan Video Call sambil menunggu Joe datang ke kelasku. Revan terkejut dan spontan menepuk keningnya ketika mendengarku telah menjalin hubungan dengan Aksa.

"Ya ampun Cia...."

"Hehehe. Maaf ya, gue nggak minta saran dari lo dulu. Tapi gue yakin kok sama Aksa."

"Bukan masalah yakin atau nggak nya, lu udah tau apa aja tentang dia dalam waktu 2 hari? Gimana kalo dia ada niat jahat sama lu?" Ucap Revan ketus.

"Tenang aja Van, hubungan yang sebelumnya juga kayak gini kan? Bahkan ada yang nggak pdkt dulu alurnya baik-baik aja."

"Cia, gua sebenernya sedikit kesel ya sama lu. Tapi gua gaada hak ngelarang lu sama dia. Gua bakal selalu support kok apapun yang jadi keputusan lu. Tapi jujur aja, kali ini feeling gua ga enak."

Aku hanya membalas dengan senyuman. Aku tau Revan sedikit khawatir, bahkan sejujurnya aku pun ragu akan kelanjutan hubunganku dengan Aksa. Tetapi sejauh ini kami baik-baik saja.

"Kalo ada apa-apa gue pasti kabarin lo Van. Gue matiin dulu call nya ya? Si Joe udah deket tuh. Keliatan lagi jalan di koridor. Ntar ngobrol lagi."

"Okay Cia."

Joe melambaikan tangan dari kejauhan. Aku pun membalasnya dan menghampiri Joe. Pulang bareng lagi, seperti biasa. Joe memasang ekspresi yang tidak bisa kutebak.

"Lo kenapa anjirr."

"Gua kesel ama lu Ciaa. Hari hari mendengar ketololan lu. Tapi selow gua sebagai bapak lu akan selalu menjadi pendengar yang baik. Pasti hari ini mau cerita tentang si om. Siapa namanya? Aksa ye?"

Aku mengangguk. Seperti biasa diperjalanan kami berbincang. Mula mula Joe bercerita terlebih dahulu tentang dirinya yang habis ditolak cewek. Lalu setelah selesai, tiba saatnya giliranku bercerita.

"So, apa yang bikin lu nerima si Aksa itu?"

"Bentar bentar ini lo gapapa gitu dengerin curhatan gue? Gue malah kasian sama lu abis ditolak." Ujarku sambil tertawa.

"Kan lu mah emang beban di idup gua, tapi gapapa lah cuy lu kek ama siapa aja. Yok cerita, penasaran gua si om orangnya gimana."

"Sejauh ini sih gaada yang aneh. Maksud gue, Aksa baik kok. Tiap malem juga telfonan, atau kalo ada waktu pasti ngabarin. Gaada yang perlu gue curigain lah intinya dari dia."

Bukannya menanggapi, Joe hanya memandangku dengan tatapan 'apa iyaaa?' dan yang bisa kulakukan hanya meringis. Memang sedikit menyebalkan, tapi itu lah Joe. Aku sudah terbiasa dengan sikap nya yang sedikit membuat naik darah.

Aku pun membuka handphone. Ternyata tidak ada notifikasi dari Aksa sejak terakhir kali ia mengucapkan selamat pagi. Biasanya, ia selalu mengabariku ketika makan siang. Mungkin dia sibuk, pikirku.

"Btw, ini cowok lu gapapa gua balik bareng sama lu? Dia udah tau belom lu temenan ama gua?" Tanya Joe.

"Sebelum jadian, gue bilang dulu ke dia kalo gue temenan sama lo dan Revan. Ya intinya gue punya temen cowok lah. Dan dia bilang dia nggak keberatan sih gue temenan ama siapa aja."

"Tapi nih ya Cia, menurut pengalaman gua, itu tuh awal-awal pasti dibolehin dalam tanda kutip lu dibebasin lah. Pas hubungannya udah lama, beuh, posesif nya keluar cuy. Percaya deh ama gua. Kalo dia mulai nggak enak sama pertemanan kita, lu bilang ama gua. Atau lu mau langsung jaga jarak dari gua gapapa, gua paham." Ucap Joe panjang lebar, dan aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Aku mengucapkan terima kasih kepada Joe dan berjanji untuk mentraktirnya esok hari di kantin karena telah mengantarku sampai rumah. Biasanya ia hanya mengantarku sampai persimpangan atau berakhir di kedai mie ayam.

Malam hari tiba. Aku meraih sepiring nasi, sayur dan lauk pauk yang telah tersedia di meja makan. Aku melahapnya perlahan sambil sesekali mengecek handphone, menunggu kabar dari Aksa yang sedari pagi belum memberi kabar.

"Aksa kemana ya? Emang se-sibuk itu sampe lupa ngabarin? Baru jadian udah feeling lonely aja." Batinku.

Tak lama, Revan menelfonku. Aku mengangkatnya dan mengalihkan telfon ke Video Call walaupun sebenarnya aku sedang tidak mood untuk bercerita.

"Lu kenapa Cia? Kayaknya lemah letih lesu gitu. Gara-gara Aksa? Lu udah janji ya kalo ada apa-apa bilang."

Aku hanya diam, aku yakin Revan tahu jawabannya. Ia menghela napas pelan. Terlihat dari raut wajah dan tatapannya bahwa ia menungguku berbicara.

"Van, Aksa nggak ada kabar dari pagi. Nggak ada satupun bubble chat yang muncul. Gue khawatir banget, serius."

"Gua udah bilang feeling gua ga enak dari awal Cia. Dia bener-bener nggak ada waktu buat ngabarin lu? Keterlaluan sih. Maksud gua, se-sibuk sibuknya orang nggak mungkin sampe lupa ngasih kabar. Cuma 1 kolom chat nggak akan ngabisin waktu 1 menit."

Aku menelan ludah. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Ucapan Revan tak salah, ia hanya ingin aku terhindar dari rasa sakit. Tapi kupikir ini pilihanku. Oke, mungkin Aksa emang benar-benar sibuk. Aku terus berusaha positive thinking.

Jam menunjukkan tepat pukul 10 malam. Mataku sudah mulai mengantuk, dan mulai kupejamkan. Ketika hampir terlelap, handphone-ku berdering tiba-tiba.

"Aksa!"

Aku segera mencuci wajahku agar tidak mengantuk. Segera kuraih handphone-ku dan membalas sapaannya. Tak lama kemudian, ia menelfonku.

"Halo Cia. Maaf seharian Aksa nggak ngabarin, banyak kerjaan tadi. Terus Aksa sempet nongkrong juga, tapi handphone Aksa lowbat."

Sebenarnya sedikit kesal ketika Aksa mengatakan bahwa ia nongkrong tanpa mengabariku. Padahal ia bisa saja meminjam handphone temannya. Tapi yang penting sekarang Aksa sudah pulang ke rumah dan nggak ada alasan buat marah.

"Iyaa, Aksa. Lain kali, kabarin aku kalo mau kemana-mana ya?"

"Okee. Nah, Cia kan libur nihhh, Aksa juga. Besok siang ketemu yuk? Aksa jemput, nggak ada alesan buat nggak ketemu yaa. First date loh."

Aku tersenyum, senang sekali. Aku merasakan kembali rasanya dicintai seseorang setelah dibuang begitu saja.

Aksa bisa meluangkan waktu nya bersamaku sesekali. Berbeda dengan Dika yang benar-benar tak pernah mengajakku nge-date selama pacaran. Aku tak ada niat membandingkan Aksa dengan Dika, tapi kurasa aku sudah yakin Aksa lebih baik daripada masa laluku.

Aku pun terlelap, begitupun Aksa dibalik telfon yang masih menyala, menunggu esok hari tiba untuk bertemu dengan Aksa pertama kalinya!

Can't wait!

AKSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang