Day 2: Witnesses

68 10 45
                                    

"Nico-san, Nico-san."

Seharian, Silvana menempel di sisi Nico ke mana pun si surai pirang pergi. Bahkan Silvana menunggunya di depan toilet ketika ia mendapat panggilan alam. Semua itu dilakukan hanya untuk mengetahui cerita lebih lanjut dari apa yang terjadi semalam.

Nico sudah bercerita tentang Mafu, Soraru, dan bagaimana si hantu memintanya mengumpulkan ingatannya namun malah mengusir Nico terakhirnya. Namun, ia masih ragu untuk bercerita soal sepertiga terakhir malam tadi. Lebih tepatnya tentang bagaimana Soraru agak... miring, dan menyimpan mayat Mafu yang sudah diawetkan.

Intinya, Silvana hanya tahu sebagian kecil dari kebenaran yang disembunyikan Nico.

"Bagaimana Mafu-san mati?"

"Aku tidak tahu, Silvana. Aku hanya melihat memorinya berulangtahun. Hanya itu."

Meski, Nico dapat menebak bagaimana Mafu mati. Tentu saja karena penyakitnya. Semua orang yang mengetahui bahkan hanya secercah cerita ini pasti sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi.

Tapi, Nico sendiri tidak dapat menyingkirkan perasaan bahwa ada yang lebih dari sekadar 'sakit, lalu mati'.

Misalnya, sosok berambut cokelat itu. Nico merasa dia memiliki jawaban untuk semua ini. Dan jika hari ini sama dengan hari-hari sebelumnya, maka....

"Silvana, jangan males-malesan! Bantuin kami di serambi depan!"

Lagi, suara speaker dengan isi yang terlalu familiar bagi keduanya. Silvana menghela napas, "Hadeuh... kebiasaan."

Nico ganti mengikuti Silvana. "Emangnya, orang itu kenapa, sih?"

Silvana mengangkat bahu. "Aku cuma denger dikit-dikit, tapi katanya dia pengen nayangin berita temennya yang hilang."

Titik demi titik mulai terhubung di benak Nico. "Lalu, kenapa selalu ditolak?"

"Yah, gimana ya... nyari orang yang udah hilang sepuluh tahunan yang lalu dan seluruh bukti-buktinya mungkin juga udah nggak ada, bukannya itu sia-sia?"

Seperti mendapat pencerahan, Nico berhenti berjalan dan memangku dagu. Sepuluh tahunan yang lalu... bukankah itu suatu kebetulan nan mencurigakan?

Di tengah gerombolan orang yang mencoba mengusir si orang asing pergi, Nico membelah lautan manusia dan menghadap pada sosok berambut cokelat itu. Ia meminta rekan-rekannya pergi, "Biar aku yang tangani kali ini." Meski beberapa sempat ragu, akhirnya sisa Nico dan orang tersebut di serambi depan. Sang reporter memandangnya dari atas sampai bawah, memerhatikan mimik muka takut-takutnya, lalu memutuskan bahwa kantor ini bukan tempat yang cocok untuk mereka bercakap.

"Kita bicarakan ini di kafe seberang, bagaimana?"

***

Aroma kopi dan roti memenuhi indra penciuman. Nico meminum kopinya perlahan, sementara orang di hadapannya dengan gugup memakan puding cokelat pesanannya. Bagaimana ia sesekali melirik ke arah kantor penyiaran, lalu pada Nico, lalu kembali menyuapkan sedikit puding ke mulutnya. Bibirnya yang bergetar dan mata cokelatnya yang dipenuhi kegugupan bisa-bisa membuat si reporter lupa bahwa ia bahkan lebih tua dari Nico sendiri.

"Mafu-kun adalah teman masa kecilku. Rumahnya agak jauh, tapi kita masih sekomplek," mulai Amatsuki, yang menghabiskan sepuluh menit hanya untuk mempersiapkan pengakuan ini. "Dia dari dulu adalah anak yang baik. Semua orang menyukainya. Aku nggak kenal orang yang membencinya, meski hanya sedikit pun."

Nico mengangguk-angguk. Ia mengeluarkan buku catatan beserta pensil, menulis hal-hal yang menurutnya penting. "Kira-kira, sudah berapa lama ia menghilang?"

087 InvestigationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang