[???] 3: Justice and Vengeance

104 13 43
                                    

Nico memandangi sosok Mafu yang menangis di atas kasur. Si surai putih meringkuk, memeluk lutut dengan kedua tangannya. Luka goresan dengan darah segar masih mengalir berada di perut bagian bawahnya. Tertulis "Soraru's" dengan kaligrafi indah, meski sang empunya tak dapat menahan perih.

Soraru telah pergi dari tadi. "Kuharap ini membuatmu jera," ucapnya, sebelum menutup pintu kamar dan menguncinya. Mafu hanya mengangguk lemah, meratapi jarinya yang penuh cairan merah kental kala ia mencoba mengelus perut sendiri.

Nico duduk di samping Mafu. Tangan ingin ia gunakan untuk membelai Mafu, untuk menenangkannya, namun sia-sia. Ia hanya menembus sosok Mafu yang terisak.

Tak terhitung berapa lamanya hingga Mafu akhirnya memantapkan hati untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan luka dengan antiseptik. Ia mencoba menempelkan kapas basah ke kulitnya yang kemerahan, namun lantas menjatuhkan benda itu kala rasa sakit terlalu kuat sampai-sampai ia merintih lirih. Jatuh terduduk, Mafu malah terisak kembali.

"Ama-chan... aku takut...."

Mafu mengulang-ulangi kalimat tersebut. Ia memanggil sahabatnya dengan suara parau, bak keajaiban akan terjadi dan sahabatnya akan menyelamatkannya dari neraka hidup ini.

"Sou da ne. Aku tidak boleh mati. Aku masih mau ketemu Ama-chan lagi."

Mengambil napas panjang, Mafu kembali membuka kotak P3K. Ia meneteskan cairan antiseptik ke kapas, lalu setelah mempersiapkan diri, ia  membalurkannya ke luka. Matanya terpejam menahan sakit, bibir digigit untuk menahan erangan keluar. Pasti panas sekali, pikir Nico, memerhatikan di depan Mafu.

Ia ingin Soraru merasakan apa yang dirasakan oleh Mafu.

Dengan perban, Mafu menutupi lukanya. Ia menghembuskan napas lega. Untung saja, hari ini pula, Tuhan masih menyayanginya dan memberikannya kesempatan untuk hidup. Ia menyeret kakinya menuju kasur, lalu merebahkan diri di atasnya.

BRAK!

Pintu yang didobrak kasar hingga berbenturan dengan dinding membuat Mafu terperanjat dari tidurnya. Soraru, dengan pisau di tangannya, menatap tajam manik merah Mafu. Ia kemudian melirik ke perban di perutnya. Seketika, ekspresi Soraru berubah drastis.

Dalam satu kedipan mata, Soraru sudah menindih Mafu dengan tangan dan kakinya. Nico hanya dapat menonton bagaimana Mafu menjerit karena perbannya dilepaskan paksa. Hanya dapat menonton bagaimana Soraru, dengan kepala miringnya itu, menekan daerah luka Mafu untuk membuat darah segar mengalir kembali.

"Sakit...." Mafu menutupi wajah dengan kedua tangannya, namun Nico menyadari setitik air mata yang lolos. Ketika Soraru berhenti menekan lukanya, Mafu lantas menyingkirkan tangan dari depan wajah, lalu membelalakkan mata. "Jangan... Soraru-san, onegai, jangan—!"

Darah yang entah kenapa dapat menempel pada sosoknya membuat Nico membeku. Ia mengangkat tangan ke pipi, memastikan bahwa cairan merah yang terciprat itu betul-betul adalah hal yang dipikirkannya. Bergetar tangannya, kala ia merasakan tekstur kental nan terlalu familiar tersebut.

"Yatto... yatto...."

Dirinya mengalihkan atensi ke arah figur Soraru di atas kasur. Si surai biru tersenyum, sangat kontras dengan apa yang baru saja diperbuatnya. Hal itu membuat kebencian yang mengganjal di hati Nico semakin membesar.

"Akhirnya, kamu sekarang tidak bisa lari ke mana pun lagi. Tidak bisa berbicara pada siapa pun lagi... nee, Mafu? Katakan, katakan kau tidak butuh siapa pun selain aku."

Mayat di hadapannya tentu saja tidak dapat menjawab. Tancapan pisau di jantung membuatnya bisu untuk selama-lamanya. Namun sepertinya hal itu tidak menghentikan Soraru dari berbicara dengan 'Mafu'.

087 InvestigationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang