Slice 1

16 1 0
                                    

Drrkkk, ddrrrkkkk, krrieettt.

Bunyi gerbang yang sudah berkarat itu sedikit mencemari pendengaran. Ash berjalan melaluinya, sneakers usang yang dipakainya kini menginjak rerumputan yang mulai meninggi seatas mata kaki. Terseret-seret seraya tak mampu berjalan dengan benar.

Ia menghela napas dalam-dalam. Merasakan tiap kesegaran udara di sekelilingnya. Hawa dingin, sentuhan angin lembut, bau besi berkarat, dan tanah yang basah.

"Aahhh, kemarin hujan ya?", dia bicara sendiri. Kata pertama yang baru keluar dari mulutnya setelah ia baru saja dinyatakan bebas dari jeruji besi.

Ia memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda kehidupan, sepi. Bahkan hewan kecil sekadar semut pun tak ia jumpai. Tepat sekali, batinnya. Tak akan ada yang menunggunya. Itulah kenapa ia memilih keluar dari pintu belakang lapas daripada harus bersama-sama mantan narapidana lain yang akan berlagak bahagia disambut keluarganya di halaman depan.

Tangannya merogoh saku jaketnya. Keduanya mencari-cari di setiap celah barangkali ada sisa uang yang bisa ia pakai. Ada beberapa lembar pecahan won yang tak banyak jumlahnya. Ash tersenyum kecut.

Tanpa diprediksi, matanya kini meneliti tulisan-tulisan aneh di sekujur tangan kirinya.

"Wow, Jun hyung kau hebat sekali. Tato buatanmu bahkan terlihat lebih nyata setelah berada di luar. Oh, bagaimana sekarang kabarnya? Apa lebih baik aku mengunjunginya sekarang?", lirihnya sambil menggerak-gerakkan lengan kirinya.

Terlalu banyak yang dipikirkannya. Lain dari itu, perasaannya hampa, sama sekali tak ada luapan tersirat. Setelah bisa bebas, entah ia kini merasakan senang, bahagia, atau lega. Sedih atau bahkan gelisah, ia hanya merasa linglung tak tau harus berbuat apa. Bahkan sedari 10 menit sejak lima langkahnya dari pintu gerbang tadi, ia masih tetap mematung dan bergeming sendiri.

Patut saja, ia sendiri. Tak ada tempat tujuan lagi baginya. Sekolah, dikeluarkan sebelum menilik kelulusan. Yatim sekaligus piatu. Bibi dari ibu yang menjadi walinya kabur tanpa memberi kabar lagi padanya sejak tiga tahun. Teman satupun tak ada yang diingatnya dan malah tak ada yang mengingatnya. Uang, pakaian, atau bahkan rumah? Pikirannya tidak bisa berhenti. Terlalu banyak keluh dan kelu yang mendadak menghantuinya.

Selama di lapas pun, ia tak pernah membayangkan dunia luar atau bagaimana rasanya merdeka tanpa ditahan. Ia berpikir, tak mengapa juga berakhir disana selamanya karena memang ia tak memiliki tujuan ataupun menjadi tujuan bagi seseorang. Payah.

Ash, mulai bergegas. Langkahnya yang lamban menuntunnya menyusuri jalanan. Rambut wolf cut-nya diterpa angin dan melambai-lambai, poni depannya yang berantakan sedikit menghalangi pandangan sama sekali tak mengganggunya

Ada sebuah swalayan kecil yang sedikit usang di seberang jalan yang tengah dilaluinya. Dengan langkah pasti Ash mendekatinya, ia lapar. Sejak pagi ia belum memasukkan makanan sesuap pun untuk mengisi perutnya. Apa mungkin karena sudah tidak lagi terikat tahanan, jadi tak perlu diberi sarapan? Pikir Ash.

Pembuluh-pembuluh darah di tangannya mencuat keluar menampakkan diri saat ia mendorong pintu swalayan. Begitu jelas --merah, biru kehijauan-- di kulitnya yang putih. Terlihat manly dan menawan baginya. Tak heran, selama di lapas ia tak pernah absen untuk berolahraga dan berlatih bela diri.

Ia mulai masuk, aroma harum nan menenangkan memenuhi hidungnya. Matanya menjelajahi sekeliling hingga menemukan sosok remaja perempuan yang ia pikir adalah pekerja paruh waktu disana. Mungkin dua atau tiga tahun lebih muda darinya, kelihatan seperti mahasiswa yang bekerja untuk menambah uang bulanan.

Perempuan itu sibuk menata sesuatu yang begitu banyak di sebuah rak ujung hingga tak menyadari kedatangan Ash. Tanpa permisi, sapa, atau gedoran pintu kaca, Ash langsung menuju lemari es dan mengambil soda. Ia menenggaknya di tempat. Seketika kerongkongannya yang kering menjadi segar dan terpuaskan. Habis, ia mengambil satu kaleng yang lain. Ia merasa akan kehausan lagi di tengah jalan nanti.

"Beri aku rokok yang itu", Ash menyuara datar.
Si perempuan yang tadinya sibuk kini menoleh ke arah sumber suara, meja kasir. Ia berangkat menghampiri. Sesampai di mejanya, bukannya mengecek price dari dua kaleng yang Ash sodorkan. Perempuan itu malah melihat ke arahnya dengan tatapan tak suka.
"Permisi, kau belum mandi? 3 hari?", sarkas perempuan itu menohok.

Ash mengernyitkan dahinya. Lancang sekali menilai orang yang bahkan tak dikenalnya, batin Ash.
"Disini bisa makan mie instan masak juga kan? Nanti saja aku bayarnya".

Dua kaleng soda yang awalnya bertengger di meja kini berada di tangannya kembali. Ia balik arah dan mencari-cari rak khusus mie instan. Ash bukannya menghindar dari pertanyaan si perempuan itu. Tetapi mendadak ia ingin makan mie instan, sudah lama ia tak pernah memakannya.

"Tiga hari katanya? Bodoh, aku juga tak sejorok itu".

Tangannya yang lihai membuka setiap bungkus bumbu mie instan dan menata kimbab yang 24 jam lagi kadaluarsa di meja setinggi pinggang. Sambil menunggu masak, matanya menemukan kaca full frame di sebuah dinding berhadapan dengan jalan antara dua rak. Ash mendekat. Ia menatap pantulan bayangan di hadapannya dengan kedua ujung alis yang hampir menyatu.

"Apa sejelek itu penampilanku?"

"Jelas bersih, aku rajin bercukur."

"Apa karena pakaian lusuh ini?"

:Bahkan aku baru memakainya lagi setelah 5 tahun."

"Ah, baunya! Belum kucuci sejak pertama kali datang."

Batinnya terus mengomel. Ya, mulai lagi. Ash yang selalu overthinking. Dia mulai mengintropeksi dirinya. Kaos hitam bertuliskan font putih abstrak yang lusuhnya kentara jelas. Jaket bomber hitam bergaris putih yang terlalu besar dari ukuran tubuhnya. Celana robek-robek yang warnanya memudar. Tato jangkar di tengah lehernya yang begitu nampak dan mencolok.

Ash semakin mendekat, mengamati lagi. Plester di tulang pipi kirinya sudah waktunya diganti. Memar akibat tonjokan di dagunya semacam warna ubi ungu. Bekas setitik darah di bibirnya membuatnya semakin terlihat merah. Mata sipitnya sayu seperti tak dipejamkan belakangan hari.

Tak terlalu buruk, pikirnya. Ia merasa bangga dan lebih suka style-nya yang seperti itu. Bahkan dalam waktu yang lama, ia tidak akan memotong wolf cut hair dan long bangs-nya yang berantakan.

Dari yang awalnya overthinking dan berakhir mengagumi dirinya sendiri dalam waktu yang tak terhitung jari. Ash melupakan sesuatu yang paling penting.

Mie-nya membengkak!

Hunt the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang