Slice 2

9 1 0
                                    

Mie-nya menbengkak!

Ash memutar otak, kembali mengingat apa yang tengah dilakukannya. Ia meraih cup mie instan dan segera mengaduknya cepat.

"Sial, mie-nya jadi bengkak", ia duduk.

Matanya menulusur, tangannya mengambil kimbab dan langsung mencomot besar-besar. Beralih pada mie-nya yang masih panas. Satu seruput, dua seruput. Ia menumpahkan sisa kimbab pada mie-nya.

"Waaahhh", seraya terus mengunyah.
"Ini baru rasa surga setelah keluar hidup-hidup dari neraka".

Ia ingin mengambil sosis sebagai makanan pendampingnya, sudah lama juga ia tak memakan sosis. Tapi kemudian ia ingat, ia harus berhemat untuk membeli rokok dan membayar transport untuk ke suatu tempat.

..

Ash keluar dari swalayan. Tangan kanannya memegang kaleng soda yang sudah terbuka. Plester di wajahnya sudah diganti baru lagi. Ia merogoh saku, tinggal beberapa lembar tersisa. Kata si perempuan penjaga toko, ia hanya harus berjalan lurus dan memilih belokan kedua untuk bisa sampai jalan raya.

Kini Ash sudah ada niatan, ia akan pergi ke tempatnya berasal. Sebuah permukiman sempit di daerah timur kota Seoul Tengah, Jangan-dong. Menaiki kereta bawah tanah yang murah, tanpa harus turun atau naik lagi, kemudian berlanjut berjalan kaki berkilometer. Dia sekarang bisa membayangkan. Mungkin sebab karena perutnya sudah kenyang.

"Eh sial, entah untuk apa aku melakukan semua itu?", sambil meremas kaleng soda itu sebelum melemparnya ke tong sampah tak jauh darinya.

"Kau belum pergi?", sapa perempuan pekerja paruh waktu tadi keluar membawa plastik sampah hitam besar.

Ash sedikit menyingkir agar ia bisa lewat. Tak berniat membantu atau menjawab. Ash mengeluarkan satu batang rokok dari wadah dan memantiknya. Si perempuan lantas memandanginya.

"Mungkin dari awal aku sudah kurang ajar, tapi aku mengatakan itu untuk membuatmu sadar".

Perempuan itu sama sekali tak kepayahan mengangkat plastik besar itu ke tong sampah. Sambil mengusap-usap kedua tangannya, ia menghampiri Ash lagi.

"Kalau tidak ada yang merawatmu, kau harus bisa merawat dirimu sendiri. Karena aku juga melakukan itu".

Ash hanya mengernyitkan dahinya sambil matanya mengekori perempuan itu masuk kembali. Perkataan perempuan itu sama sekali tak menyentak hatinya. Pintu kaca, tong sampah merah, tiang listrik dan brosur yang bertebaran di jalan pun pasti sudah bersumpah tau kalau dirinya memang sendiri. Ash tak berharap lebih, dia juga tak menginginkan ada yang merawatnya. Mungkin saja, perempuan itu membicarakan dirinya sendiri bukan berarti peduli, batinnya menerka.

Ash tak mau ambil pusing, sambil menghembuskan asap rokok tebal-tebal ke udara ia mulai melangkah menyeberang jalan. Banyak orang berlalu-lalang. Mobil-mobil juga berkeliaran membawa penumpang-penumpang. Ada yang terburu-buru, ada yang santai saja, dan bahkan sesekali ada yang memaki pada telepon yang digenggamnya. Pertama kali mendengarnya Ash tersentak kaget mengira jikalau dirinya yang dimarahi.

Sudah hampir 30 menit Ash berjalan lamanya. Kini ia tiba di tempat pintu masuk stasiun kereta bawah tanah. Di papan informasi, ia meneliti arah perjalanan yang harus dilaluinya. Dari Jegi-dong melampaui Dongdaemun-go, kemudian ia harus turun untuk menuju Jangan-dong. Tak begitu jauh, pikirnya. Ash merasa yakin ia bisa sampai sebelum matahari terbenam. Hanya saja, ia harus bisa menahan diri untuk tidak kelaparan atau kehausan.

Satu tiket terbeli, uangnya benar-benar hampir habis tak bersisa. Ada kemauan dalam hati, sesampai di kampung halamannya nanti ia akan mencari pekerjaan. Tapi kalau dipikir-pikir, mana ada orang yang mau menerima atau mempekerjakan seorang mantan narapidana seperti dirinya.

Selama perjalanan berlalu, Ash hanya bergelud dengan pikiran yang memenuhi isi kepalanya. Pemandangan luar atau aktivitas di sekitarnya sama sekali bukan apa-apa baginya selain suara-suara dari dalam dirinya sendiri. Ia tak peduli bahkan sesekali dari mereka ada yang memandang heran dirinya.

Pikirannya melayang tak terkendali. Hari terakhir makan bersama mendiang ibunya. Pertama kali ia menapakkan kaki menjadi seorang tahanan remaja. Derita dan kekejaman yang dialaminya selama di lapas. Bahkan, kata terakhir yang diucapkan bibinya sebelum menghilang. Semua berurutan tanpa sadar.

"Haaahhhhhh", desahnya panjang.

Ash menangkupkan kepalanya dengan penutup jaket hingga wajahnya hampir tertutupi. Ia memejamkan mata. Ash hanya ingin tidur dan tidak memikirkan apa-apa lagi untuk saat ini.

..

Ash turun dari stasiun menuju Jangan-dong. Ia memiih untuk berjalan demi menghemat sisa uangnya agar tak habis begitu saja. Berjalan berkilo-kilometer bukanlah apa-apa baginya. Di lapas dahulu ia sudah pernah ikut lomba lari menaiki bukit dan berhasil di lima besar. Yang ia khawatirkan hanyalah perutnya, atau mungkin saja nanti ia menjadi kehausan di tengah perjalanan. Tinggal beberapa batang rokok lagi yang tersisa untuk sekedar memberi rasa di lidahnya.

"Bahkan sekarang aku hanya mengonsumsi asap", senyumnya sinis dan mulai menyedot rokok yang baru disulutnya.

Selama perjalanan ia tak banyak melihat sekitar, baginya perubahan kota ini tak begitu spesifik daripada bangunan dan gedung-gedung pencakar langit di Seoul. Selain modernisasi, manusia-manusianya semakin gila kerja. Ash heran, seberapa jauhkah ia tertinggal selama lima tahun terakhir ini?

Melewati bangunan-bangunan apartemen yang saling bersinggungan. Toko-toko hampir sepi karena sepanjang hari beroperasi. Gang-gang sempit yang dilalui banyak orang. Hingga jalan-jalan yang dikelilingi dedaunan musim gugur yang jatuh berserakan. Hari hampir gelap, tak sesuai perkiraannya. Ash hampir sampai di tempat tujuan.

Kini di hadapannya, berdiri sebuah bangunan kumuh, tua, berantakan, dan tak terawat. Benda-benda rongsokan tak berguna bertumpuk-tumpuk di sekitarnya. Atap dan plafonnya terlihat masih baik-baik saja. Jendelanya lengkap tanpa ada satu kaca pun yang pecah. Rumput liar dan sarang laba-laba saling memenuhi setiap dinding dan sudut. Daripada bangunan atau rumah lain di sekitarnya, ini memang yang paling jauh dari nyaman dan tak layak ditempati, redup tanpa daya tarik sama sekali. Tetapi bangunan itu masih kokoh tanpa ada kerusakan selain papan namanya yang miring dan hampir lepas. Mungkin orang sekitar sini sedikit memerhatikan kondisi bangunan tersebut, terka Ash.

"Kedai tuan Ahn", Ash menggumam menyebut papan nama itu. Ia menggosok debu dengan tangannya dan membenarkan posisi papan nama itu kembali. Sekarang, tangannya meraih pegangan pintu dan berniat masuk ke dalam.

Kkrrriieeettt.

Satu kakinya melangkah, namun belum saja kepalanya disodorkan ke depan, ia sudah merasa aneh.

"Tunggu dulu, apa orang-orang sudah sering masuk kesini?", pikir Ash sebelum ia menghentikan tindakannya.

Hunt the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang