Mendekati tempat tidur, matanya menangkap laptop yang masih menyala. Sebuah loading bar dimana warna putih berjalannya hampir mendekati angka 100.
"97, 98, 99, 100, selesai. Datamu berhasil terenkripsi dan secara otomatis akan terkirim 10 hari kemudian", baca Ash dalam hati.
"Baca ini keras-keras".
Screen laptop itu terus berprogram, layarnya membagi dua dimana yang satu menampilkan deretan kode-kode, angka, dan abjad-abjad yang tak keruan. Semuanya bergantian berjalan naik dan muncul sendiri tanpa diperintah ataupun digerakkan scroll tetikus. Apa laki-laki ini seorang progammer? Ash membatin.
Bahkan suara berat nan keras tadi tak menggubrisnya, Ash terlalu fokus menatap layar monitor itu tanpa beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Sampai secarik kertas putih semacam surat disodorkan ke hadapannya dan laki-laki itu mengulang perkataannya lagi.
"Bacakan ini dengan keras".
Ash meraih kertas itu dan membacanya. Tanpa suara maupun gumaman lirih dari mulutnya, Ash membaca dalam hati tanpa mengindahkan perintah lelaki di hadapannya.
"Dasar bocah kurang ajar", ungkap pikiran laki-laki itu tanpa diutarakan.
Belum sampai bait paragraf terakhir pernyataan surat tersebut, Ash sudah bisa menangkap paham kalau isinya adalah pernyataan resmi bahwa laki-laki ini benar-benar menyewan dan berhak atas kedai orang tuanya ini. Ah, tempat ini bukan kedai orang tuanya lagi. Ash mengoreksi tatanan bahasa di otaknya sendiri.
"Lalu?"
"Hah? Lalu? Apa aku tak salah dengar? Kau masih belum mengerti juga? Kembalikan padaku dan akan aku jelaskan sendiri"
Gerakan cepat hendak menarik kertas di tangan Ash gagal seketika, tangan Ash lebih lihai untuk menghindar secara tiba-tiba. Laki-laki itu menjadi keheranan.
"Apa yang kau lakukan?"
Sambil melangkah mundur, Ash merobek kertas itu menjadi dua bagian. Dua bagian tadi ditumpuk dan dipisahkan lagi menjadi dua bagian lagi, dan seterusnya hingga menjadi kepingan-kepingan yang hampir kecil. Laki-laki itu memelototkan matanya tak mempercayai apa yang barusan dilihatnya. Kepingan-kepingan kertas itu kemudian beterbangan dan saling bertaburan di lantai. Ash masih melangkah mundur dan kini ia tersenyum lebar hingga menampakkan gigi-gigi depannya.
Sekarang ia melangkah secepat kilat menuju kasur tipis di belakang laki-laki itu. Tubuhnya keras menabrak bahu kiri si laki-laki, tanpa permintaan maaf atau perasaan bersalah, Ash malah berbalik dan mengangkat bahunya dengan senyuman mengejek. Lantas, badannya ia robohkan di atas kasur dan kini ia terlentang dengan kedua tangan yang terbuka. Ada perasaan lega dan senang setelah sekian lama ia bisa tersenyum selebar itu.
"Haaaahhh", Ash menghela nafas panjang dan memejamkan matanya.
Sedangkan si laki-laki itu.
Isi kepalanya terus berputar-putar. Antara tak percaya atas apa yang terjadi, bingung, cemas, dan tak menutup kemungkinan sekarang ia merasa ketakutan. Dalam banyak imajinasinya, ia dilema jangan-jangan bocah kecil di hadapannya ini adalah seorang psikopat yang tak waras.
Ia meneliti tubuh Ash dalam diam. Badannya proporsional, tangan dan kakinya lincah seperti yang baru saja ditunjukkan, tapi yang jauh lebih penting adalah ia tak terlihat membawa senjata yang besar atau mengerikan.
"Kita lihat siapa yang akan mati. Setidaknya kau dulu yang harus kubunuh. Atau kau yang nantinya akan membayar hutang-hutangku", laki-laki itu berbicara dalam hati.
Dengan memberanikan diri, laki-laki itu mendekati Ash. Kedua tangannya sergap menarik baju atas sedekat leher untuk membuat Ash berdiri. Tersentak, Ash tak ada pilihan lain selain mengikuti arah tangan itu menariknya.
Kini wajah mereka hampir dekat berhadapan. Bahkan deru suara nafas laki-laki itu terdengar jelas di telinga keduanya. Mata tajamnya ditatap dingin oleh Ash. Ash hanya membisu dan menunggu apa yang akan laki-laki itu lakukan.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Mau membunuhku dasar psikopat gila? Huh? Atau, kau kaki tangan para cecunguk itu dan sekarang berencana mengambil organ tubuhku ini?"
Ash sendiri heran, kenapa dari sejak pertama kali laki-laki itu berbicara, selalu saja pertanyaan yang dilontarkan.
"Hyung", Ash kini menyuara.
Duaakkk. Satu hantaman keras mengenai pipi kirinya, Ash terhuyung ke belakang. Tangannya meraba-raba dan ternyata ujung bibirnya kini berdarah. Laki-laki di hadapannya benar-benar terlihat marah.
Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, tubuhnya ia tumpukan setegak mungkin bersiap-siap kalau lawannya ini membalas. Ia sudah tak bisa menahan diri lagi, bocah kecil itu mempermainkan dan membodohinya.
"Kenapa kau diam saja?"
Hanya tawa ringan Ash yang terdengar. Setelah sepersekian detik, akhirnya Ash berbicara.
"Wow, wah. Hyung, kesimpulannya adalah aku akan tinggal disini karena tempat ini adalah milikku. Lagi, keberadaan surat itu tak penting, bahkan bisa saja aku menjual tempat ini pada broker secara ilegal", Ash memperlihatkan senyum sinis menyebalkan.
"Pernyataan macam apa itu. Kau tidak bisa seenakmu sendiri tinggal atau bahkan menjual tempat ini, jelas-jelas ada aku yang berhak atas keseluruhan tanahnya. Aku bahkan tidak mengenalmu atau tau asal-usulmu secara rinci. Bahkan sangat memungkinkan selama ini kau hanya mengada-ngada tentang kebenaran yang memang tak ada. Sekarang berhentilah berulah, bermain saja dengan anak seusiamu itu dan pergi dari sini.
"Atau tunjukkan rupa aslimu sekarang juga. Tunjukkan bagaimana caranya para cecunguk itu tau tempatku dan mengirimmu kemari?".
"Ash, Ahn Seo Hyun. Panggil saja aku sesukamu", jawaban Ash sangat enteng.
"Dari awal jawabanmu selalu melenceng, kau tahu? Berhenti membuatku emosi".
"Dan dari awal, kau selalu bertanya. Sekarang berhenti bertanya".
Laki-laki itu mendengus keras. Terlalu kesal dan ingin permainan yang dimainkan Ash dihentikan. Sekarang ia tak tahu harus apa lagi menghadapi bocah kecil itu. Ia pusing dan hanya ingin tidur.
"Nama?"
Singkat, padat, dan to the point. Laki-laki itu langsung paham kalau Ash sedang menanyakan namanya. Ternyata bocah kecil itu juga berpura-pura tak tau namanya.
"Hwang Bo Min". Tak ada pilihan lain, sekarang ia lebih memilih mengikuti kemana arah permainan Ash.
Atau mungkin lebih baik, mati malam ini juga, di tangan psikopat tak waras, pembunuh berantai, kaki tangan cecunguk atau apalah bocah kecil ini. Pikirnya pasrah.
.
.
.Temen-temen, hai👋🏻
Terima kasih banget-banget ya, udah mau nge-klik dan baca story ini. Mohon maaf kurang memuaskan atau nggak bikin tergugah sama sekali karena ini ceritanya kubuat lambat banget. Bahkan udah di bagian ke-4 saja ini masih belum selesai dalam satu lingkup adegan.Sebenernya, tujuanku sendiri buat cerita slow-paced ini nggak lain hanya pengen enjoy nikmatnya menulis. Jadi aku ngerjainnya bener-bener santai nggak keburu-buru~
..
Boleh lah ya tinggalin jejak di story ini, tetep stay juga ya di cerita ini sebab kedepannya kisah Ash bakalan seru apalagi udah kenal sama si Bomin sekarang.
Jangan lupa juga, mampir dan follow akun instagram aku, kita temenan juga disana yak✌🏻
instagram.com/hxlphhon

KAMU SEDANG MEMBACA
Hunt the Light
Adventureslow-paced story Ash berkata, Mungkin saja aku tak pantas hidup di dunia ini, apa menurutmu juga begitu? Bisa jawab aku sekarang? .. Ash, seorang remaja 22 tahun yang menghabiskan lima tahun dalam jeruji besi akhirnya terbebas. Namun nihil, ia hamp...