Kkrrriieeettt.
Satu kakinya melangkah, namun belum saja mencondongkan badannya ke depan, ia sudah merasa aneh.
"Tunggu dulu, apa orang-orang sudah sering masuk kesini?", pikir Ash sebelum ia menghentikan tindakannya.
Dari celah pintu yang belum sepenuhnya terbuka itu Ash sudah bisa melihat bagaimana keadaan ruangan di dalamnya. Ada cahaya remang-remang berwarna merah yang sedikit kekuning-kuningan. Tak sepenuhnya terang, tapi Ash sudah bisa menebak itu adalah sebuah lilin yang menyala. Ash melangkah kembali, sedikit melongokkan kepalanya untuk melihat situasi. Kosong. Ruangan selebar 3 x 5 meter itu hampa tak berbenda apapun. Lantainya hampir tak ada spot free tanpa debu, sangat kotor. Meski sudah terbiasa tinggal di lapas, tetapi hidungnya tidak bisa menolerir bau pengap maupun debu yang membaur udara. Kamar tahanan yang ditinggalinya dulu selalu dalam keadaan bersih dan terawat. Jelas, setiap penghuninya harus disiplin masalah kebersihan agar tidak dihukum penjaga yang berpatroli.
Di sebelah kiri hadapannya adalah sebuah ruangan temaram, tempat orang tuanya dulu menyiapkan makanan. Di tempatnya berdiri, adalah tempat mereka menyajikan makanan. Sedang sebuah ruangan di samping kanannya, adalah tempat yang disediakan khusus untuk keperluan tamu tertentu, tempat yang sekarang mencercahkan sinar cahaya.
Ash mulai mendekati sumber cahaya itu. Dengan hati-hati, tangannya memutar knop pintu tanpa menimbulkan bunyi. Pintu terbuka dan menampilkan seluruh ruangan yang penuh dengan gambar-gambar yang menempel pada dinding. Ash maju untuk melihat lebih jelas. Mulutnya sedikit menganga.
Ruangan itu penuh dengan gambar-gambar aneh, kertas berserakan, dan kode-kode janggal yang tak pernah Ash temui. Setiap sudut, tak berbeda gambar yang ada adalah yang berbau dark vibes, dari skeleton, darah kental, smokey, dan segala tetek bengek persamaannya. Bahkan, di salah satunya, terpaku sebuah topeng ghostface yang rahang mulutnya terbuka lebar. Bukannya bergidik ngeri ataupun ketakutan, Ash malah terpana dan ingin mengambil salah satu.
"Woi, siapa kau?", bunyi berat sebuah suara.
Ash menoleh dan mendapati seorang laki-laki sekitar 30 tahunan tengah memakai headset bluetooth dan memangku sebuah laptop di kakinya. Rambutnya cepak memperlihatkan bentuk kepalanya yang tak sepenuhnya bulat, poninya datar menutupi sedikit dahi. Kacamata silver yang dipakainya membuatnya terlihat lucu. Kaos putih tanpa lengan memperlihatkan otot-otot lengannya yang tidak hanya besar. Celana selutut yang dikenakan sama sekali tak menyebabkan ia kedinginan di kasur spons tipis yang digunakan. Putung-putung rokok, kaleng bir, dan kabel-kabel berserakan di sekitarnya. Yang paling penting dari itu, tatapan tajamnya pada Ash tak berpaling walau hanya sekejap.
Ash tak boleh terlihat lemah, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menaikkan dagunya agar tampak sedikit menantang.
"Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu. Apa yang kau lakukan di kedai milik orang tuaku ini?", sergah Ash berani.
Laki-laki itu melepas headsetnya dan menyampirkannya di leher.
"Apa katamu? Kedai?"
"Kau masuk dan tinggal disini tidak lihat kalau bangunan ini ada namanya?"
"Ah. Aku baru paham. Tuan Ahn? Kontraknya sudah berakhir dan tempat kecil yang kau sebut bangunan ini sudah menjadi milik organisasi pemberdayaan desa. Sekarang aku yang menyewanya", jawabnya enteng.
Ash tak berkutik. Tapi ia mengerti jelas kalau bangunan ini memang bukan sepenuhnya milik orang tuanya.
"Sudah berapa lama kau tinggal disini?"
"Tiba-tiba?", laki-laki itu heran dengan pertanyaan yang dilayangkan padanya.
Melihat Ash yang hanya diam saja dan menunggu kelanjutan jawabannya, laki-laki itu menambahkan.
"Ehehem. Mungkin sekitar sudah dua tahun berlalu?", terdengar mengambang, tak meyakinkan.
"Keluar dari sini", ucap Ash, kasar.
"Kau gila? Siapa kau berani-beraninya bertindak seenak itu?"
"Aku sudah bilang, bangunan ini dulunya milik siapa. Aku putra orang itu, putra tunggalnya Ahn. Ahn Hae Min".
Mulut laki-laki itu terbuka, ia tak habis pikir. Lantas dirinya beranjak berdiri dan mendekati Ash. Tangannya dilipat di depan dada, sedikit mengepal Tinggi mereka hampir sama.
"Sebenarnya yang tuli itu kau atau aku? Apa harus dua kali aku menekankan kalau tempat ini sudah disewakan dan bukan lagi kontrakan menahunnya tuan Ahn", sedikit tersulut emosi, tetapi lelaki itu masih menahan sikap.
"Kalau begitu, panggil orang tuamu sekarang. Suruh mereka sendiri saja yang mengusirku. Bukannya mengirim anak kecil sepertimu.
"Ah, juga suruh mereka mengembalikan semua uang bulananku yang selama ini aku serahkan".
"Mereka sudah mati, dua-duanya", jawab Ash enteng.
Laki-laki itu semakin hilang kesabaran. Ia berbalik untuk mengendalikan emosinya. Satu tangannya memegangi kepala karena pusing menghadapi bualan yang tak masuk akal itu.
"Tunggu dulu, tunggu dulu, sekarang jelaskan dulu semua tujuanmu kenapa ingin aku pergi dari sini?"
"Karena tempat ini adalah milikku. Kau baru dua tahun disini, sedangkan selama itu bibiku masih membayar pajak tempat ini selama lima tahun ke belakang". Ash berbohong, bahkan semenjak kematian ibunya, tempat itu belum pernah dilunasi sama sekali.
Semakin berputar-putar dan tak masuk akal. Laki-laki itu semakin kesal. Tiap runtutan jawaban yang Ash lontarkan tak bisa diterima begitu saja, sulit mencapai otaknya. Kepalanya semakin pening. Apa karena terlalu bodoh untuk memahami, atau karena saking cerdasnya mulut Ash membual?
Laki-laki itu beranjak ke suatu sudut ruangan. Pada sebuah tumpukan kertas, ia mencoba mencari-cari sesuatu dengan kasar. Ash hanya memperhatikan tubuh yang membelakanginya itu.
Lima detik, sepuluh detik, dua puluh detik.
Ash lelah hanya berdiri saja, ia bosan. Kedua kakinya menuntunnya untuk berkeliling melihat-lihat. Jendela tempat keluar masuknya udara, ditempeli papan-papan kayu tipis sehingga hanya menyisakan celah-celahnya saja yang tampak. Di sampingnya bertumpuk pakaian-pakaian pada sebuah keranjang medium yang tak terlalu besar atau terlalu kecil. Di samping kirinya lagi, ada sebuah lampion yang menyeruakkan cahaya merah. Ah, ia salah lagi, ternyata bukan sebuah lilin yang dihidupkan.
Mendekati tempat tidur, matanya menangkap laptop yang masih menyala. Sebuah loading bar dimana warna putih berjalannya hampir mendekati angka 100.
"97, 98, 99, 100, selesai. Datamu berhasil terenkripsi dan secara otomatis akan terkirim 10 hari kemudian", baca Ash dalam hati.
"Baca ini keras-keras".

KAMU SEDANG MEMBACA
Hunt the Light
Adventureslow-paced story Ash berkata, Mungkin saja aku tak pantas hidup di dunia ini, apa menurutmu juga begitu? Bisa jawab aku sekarang? .. Ash, seorang remaja 22 tahun yang menghabiskan lima tahun dalam jeruji besi akhirnya terbebas. Namun nihil, ia hamp...