Rangkai LXVI : [Tamat]

104 4 0
                                    

Semula, kita disakiti. Lalu tenggelam kacau tanpa mau diobati. Oleh cinta yang baru, kita bersedia memulihkan diri.

***

"Oke. Mata ke kamera semua. Satu, dua, tiga. Sekali lagi, satu, dua, tiga. Terima kasih,"

Intruksi itu berulang kali diperdengarkan padanya. Fotografer professional itu berulang kali memandu sekumpulan orang-orang berpakaian formal di depan sebuah gedung yayasan sosial jauh dari provinsi ibu kota. Kalimatnya ibarat analog melekati tiap-tiap rungu. Potret kegiatan istimewa pada hari ini sebagaimana dokumentasi. Esensi mutlak di era teknologi mengharuskan segala sesuatu diabadikan lalu dipamerkan di jagat maya sekadar cipta pujian hipokrit.

Pria berpakaian mahal yang berdiri tepat di tengah-tengah barisan sontak membuka matanya. Menampik lelah di pundaknya. Ini menjadi hari sekian ia dipadatkan oleh kegiatan amal. Penyelenggaranya tak lain adalah perusahaan yang dipimpinnya sendiri. Kali ini ialah kegiatan pembagian sembako pada pengungsi korban bencana longsor di daerah kecil Pulau Sulawesi yang naasnya terjadi dua hari lalu.

Anggap saja terlampau letih, pria itu sampai beberapa detik tidak acuh begitu kepala daerah lokal yang semula berdiri di sampingnya mengajak berjabat tangan.

"Pak Wiguna?"

Wiguna tentu kembali telan seluruh penat. Alihkan wajah sekadar lempar senyum,serta-merta gapai uluran tangan di depannya, terselinap rasa tidak enak hati di sana lantas ucapkan, "Maaf, Pak. Saya hanya sedikit tidak fokus,"

"Saya maklum, tidak usah sungkan begitu. Dengan jadwal padat bapak yang masih menyempatkan datang ke sini, mengunjungi korban bencana yang sangat jauh dari kota bapak, saya merasa sangat berterima kasih."

Barisan orang-orang yang merapat untuk dipotret perlahan bubar. Beberapa dari tim perusahaan Wiguna, perangkat daerah, dan pengungsi yang dimintai turut berfoto bersama di depan spanduk kegiatan. Spanduk itu berada di belakang mereka sehingga wajar jika fotografer meminta semuanya untuk bergaya di sana. Hari beranjak sore. Akan tetapi, langit pulau Indonesia bagian timur itu cerah, banyak pengungsi berlalu lalang di sekitar mereka dengan berbagai kegiatan. Ada yang mengambil jatah makan, mengantri menggunakan kamar mandi umum, atau mengunjungi pos kesehatan untuk konsultasi dan meminta beberapa keperluan. Anak kecil turut meramaikan suasana sekitar.

Ya, Wiguna berpikir kegiatan yang dilakukannya atas tujuan pengabdian dari keuntungan perusahaannya terlaksana sukses. Meskipun penyelenggaraannya kali pertama, Wiguna merasa puas hanya dengan melihat senyum-senyum dari banyak manusia yang telah ditolongnya tak seberapa.

Kelelahannya rupanya tidak total sia-sia.

Berdeham, Wiguna tersenyum patih, "Saya hanya kebetulan ada proyek di daerah ini juga, Pak,"

"Benarkah? Saya sudah tahu sebelum dari sini bapak juga sudah kesana-kemari mengadakan kegiatan peduli amal sejenis ini," Ungkapan terlalu tulus itu bermaksud membongkar kemuliaan yang sedang Wiguna tutupi sekadar berpikir tidak pantas diagungkan sedemikian rupa. "Bapak sangat baik, meskipun ada banyak pengusaha sukses seperti bapak, tidak semuanya bisa berbuat begini, membantu sesama, apalagi pada orang yang kesusahan. Zaman sekarang, sudah melenceng karena banyak manusia kurang empati atau tidak memiliki sama sekali,"

Tidak. Wiguna belum sepantas itu disanjung-sanjung. Hanya karena keputusannya untuk rehat sejenak dari dunia bisnisnya. Lantas realisasikan rencana melaksanakan kegiatan-kegiatan amal berwujud kepedulian pada sesama. Wiguna berpikir ia telah sangat jauh dari Pencipta sejak lama. Ia tak ingat kali terakhir ia bersyukur. Kali terakhir ia menolong orang kesusahan saat dirinya lebih dari sanggup mengulurkan tangan secara percuma.

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang