Rangkai LVIII : [Mustahil Kembali]

115 8 2
                                    

Kita butuh jeda untuk mengobati luka.

****

Maka hari beranjak sore tak terasa bagi mereka yang lalui dengan perasaan suka cita, penuh kedamaian nikmati gulir sangkala semesta. Memupus gelora dendam. Memusnahkan segala sesak terpendam. Hari ini usai sesali masa lalu. Berganti ciptakan kisah baru. Meski hati masing berdebar-debar akui kecanggungan dengan malu.

"Sudah, Sore, ya. Nggak terasa banget karena ngobrol sama kamu nyaman. Kamu mau pulang sekarang?" Itu suara wanita yang tengah didorong kursi rodanya oleh Deva saat mereka lalui orang-orang di tengah koridor rumah sakit menuju salah satu ruang inap VIP.

Deva, berdiri di belakang wanita itu, katupkan bibir. Matanya memandang ke depan bersama sorot rumit diartikan. Sembari tangan setia dorong kursi roda, dia terus tenggelam akan kecamuk pikirnya.

Merasa tak kunjung ditanggapi, wanita itu memegang punggung tangan pemuda tanggung yang tersampir di pegangan kursi roda dekat bahunya. "Deva, kenapa? Ada yang kamu pikirin? Cerita ke Bunda."

Tersentak. Berulang kali sebutan itu terucap dari bibir sang wanita, serasa ada batu besar menyekat rongga dadanya. Merasa asing, ganjal, tetapi tak elak jantungnya berdebar kuat. Seolah sensasi baru yang diam-diam ia sukai dan buat relung miliknya ketagihan mendengar sebutan bernada kelembutan itu.

Kirana tersenyum. Paham atas kecanggungan yang masih merajai diantara mereka, meski ia pikir tak sebesar awal temu yang sempat memicu tendensius. "Bunda nggak bisa nahan kamu nginap di rumah sakit, kan? Padahal, masih banyak yang ingin bunda tahu tentang kamu."

Ujaran itu-penuh ketulusan yang nyata.

Membungkam Deva lagi-lagi atas kebingungan terhadap realita yang sempat ia kesalkan.

Sejak pernyataan Kirana meminta Deva menganggapnya sebagai bunda, Deva kira itu hanyalah basa-basi belaka. Atau penipuan lain yang akan menjatuhkan ke sekian kali dalam luka harapan. Kirana melakukannya sebatas simbol permohonan maaf agar ia tak mengungkit kasus kecelakaan yang mengharuskan Kirana diproses secara hukum. Secara logikanya, ibu mana yang mau menerima anak orang lain memanggilnya dengan sebutan mama di saat ia juga sudah memiliki putra yang sangat ia sayangi? Mustahil.

Namun, pemikiran itu perlahan sirna dengan jejal kerumitan ia terima tatkala berikutnya adalah Kirana berusaha membuka obrolan padanya. Selalu menanyakan tentang dirinya dan bersikap menahan seolah tahu gelagat rencananya ingin pergi menyudahi temu. Di taman rumah sakit, dari pagi sampai menjelang sore, tak sadar mereka lewati dengan banyak bahasan yang sudah merambat dengan hangat. Kirana menjadi pihak bertanya. Sebaliknya, Deva sebagai pihak menjawab bersama wajah kaku dan suara yang kadang bergetar kikuk.

Yang paling membekas adalah selama Kirana memintanya menceritakan kehidupannya, wanita itu tak henti menggenggam tangannya. Membawa kujur kaku tubuh Deva kala itu. Terima sentuhan lembut dan halus yang sudah begitu lama tak ia rasakan.

Sentuhan seorang ibu-yang tulus dan hangat.

Deva tak ingat topik apa saja yang sudah mengalir, tetapi ia tetap batasi jawaban jika bersangkutan dengan orang tua barunya-oh apakah masih bisa disebutnya begitu?

Yang pasti, Deva tidak beritahu Kirana soal ia diadopsi Wiguna, yang tak lain adalah suaminya. Deva merasa-tidak enak. Ada sesuatu yang menyangkut di hatinya kala ingin akui hal itu di saat ia ingat beberapa kali waktu Kirana membalas jawabannya disusul nama putra kesayangannya. Seolah-olah mengatakan Deva dan putranya itu memiliki banyak kesamaan di beberapa hal. Contohnya saja, sama-sama tidak menyukai makanan pedas, lebih suka telur mata sapi dibandingkan telur dadar, dan paling tidak suka menunggu nasi panas menjadi dingin agar enak dimakan.

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang