PART 10

8.9K 511 8
                                    

Damar benar-benar murka dengan keputusan Lili. Anak yang harusnya membanggakan dan menuruti kemauannya, malah membangkang hanya karena mempertahankan kehamilannya. Damar ingin masa depan Lili cemerlang, tetapi Lili malah mengecewakannya dengan kabar kehamilan.

"Anak itu benar-benar kurang ajar," marah Damar seraya menghela napas kasar.

Siapa yang menyangka kalau Lili tak kembali ke apartemennya dan pergi entah ke mana. Padahal Damar sudah merancang akan mengusir Lili dari sana jika anak perempuan itu terus membangkang. Damar bisa membayangkan Lili akan memohon padanya, lalu menuruti keinginannya untuk menggugurkan janin itu.

"Aku juga gak tahu kenapa dia begitu, Pa," desah lelah Yesi. Yesi sama kecewanya pada sang putri. Yesi ingin masa depan Lili tak terhambat akibat kehamilan itu. Entah anak siapa yang dikandungannya, yang pasti Yesi dan Damar tak mau mengakui janin itu sebagai cucu.

Beginilah jika mereka menutup mata tentang kebahagiaan anaknya. Yang mereka inginkan adalah kesempurnaan, dan anak-anak harus menurutinya.

"Kamu harusnya memperhatikan Lili! Lihat dia jadi membangkang. Entah bajingan mana menghamilinya!" Damar menyalahkan sang istri. Bagi Damar, tugas istri adalah mendidik baik anak-anak. Dan pria tua itu mencari uang, dan melihat anaknya patuh pada perintahnya.

"Kenapa kamu menyalahkanku, Mas? Kamu juga salah di sini, dia bukan putriku saja." Yesi kesal. Yesi menjadi kesal dengan Lili, padahal Yesi memanjakan Lili, tapi apa yang didapat adalah kecewa.

Yesi tak habis pikir dengan Lili, anak itu memang benar-benar membangkang. Bukannya merenungi kesalahannya karena diusir, dan sekarang malah menghilang.

"Sudahlah, aku pusing!" Damar mengibaskan tangannya lalu beranjak dari duduknya. Kepalanya rasanya pening memikirkan Lili yang kurang ajar, menurutnya.

Tanpa mereka sadari, putri bungsu mereka mendengar apa yang mereka katakan. Rara, gadis berusia 16 tahun tahu betul, kakaknya cukup tertekan dengan tuntutan orang tua mereka yang harus serba sempurna.

Tapi Rara juga tahu kalau kakaknya hanya bisa menuruti tanpa berani menolak. Baru sekarang Rara mendukung jika kakaknya tak menuruti lagi keinginan orang tua mereka. Meski Rara tak menyangka kalau kakaknya akan hamil di luar menikah.

"Rara harap, Kakak Lili bisa mendapatkan kebahagiaan." Karena Rara dan Lili berbeda. Jika Lili patuh, maka Rara akan membangkang, meski gadis itu juga takut dengan amukan Damar.

****

Lili merasa bahagia saat tinggal bersama Felix. Ibu hamil itu merasa terharu akan perhatian Felix, meski perhatian itu karena kehamilannya.

Satu bulan bersama, kini kehamilannya sudah berusia empat bulan. Perutnya semakin besar meski Lili dan Felix belum melakukan USG. Meski mereka tinggal bersama, nyatanya Felix belum menikahinya. Entah tanggung jawab mana yang Felix lakukan, menikahinya? Atau hanya mengakui anaknya saja.

Walau hati terasa sedih seperti digantung, Lili harus cukup dengan kebersamaan mereka. Tak apa, jika mereka tak menikah, anak dalam kandungannya diakui anak sudah cukup. Lili juga tak berani menanyakan, apakah Felix menikahinya atau tidak.

"Makasih," ujar Lili sambil tersenyum, saat melihat Felix memberinya segelas susu hamil padanya.

"Sama-sama."

Terjadi keheningan, Felix sibuk dengan tab miliknya. Lalu Lili minum susu hamilnya, walau sesekali melirik Felix yang fokus bekerja.

"Kamu bosan?" tanya Felix. Meletakan tab di meja, tatapan Felix terarah pada Lili.

Lili tersenyum, sejujurnya dia bosan. Meski dimasa lalu, dia keluar hanya ke toko buku bersama Sasi. Walau sesekali Sasi mengajaknya ke salon untuk merilekskan diri.

"Lumayan bosan," jawab Lili. Karena selain menonton tv lalu membuka media sosial, Lili hanya diam diri di apartemen Felix. Apalagi ketika pria itu sibuk bekerja.

"Ingin pergi ke mana?" tawar Felix. "Mumpung lagi free,"  lanjutnya.

"Kamu beneran gak sibuk?" tanya Lili memastikan.

"Iya." Felix mengangguk.

"Aku ingin makan nasi bakar," ujar Lili antusias. Gara-gara melihat postingan dimedia sosial, Lili ingin makan nasi bakar yang dijual pedagang kaki lima. Harganya juga terjangkau.

"Oke, kamu siap-siap atau begini saja?" Felix menatap Lili yang hanya memakai daster. Bukan daster mini, tetapi daster longgar dan panjang. Tapi tak bisa menutupi kehamilannya.

"Aku begini aja gak pa-pa? Kita cuma makan aja."

"Gak pa-pa."
Mereka pun keluar dari apartemen.

"Ingin makan di mana?" tanya Felix, memencah keheningan selama perjalanan.

"Aku ingin makan di Jalan Mawar."

"Di sana ada rumah makan nasi bakar?"

"Bukan di rumah makan sih, tapi di pinggir jalan. Di sana banyak yang jualan, gak cuma nasi bakar saja."

"Kamu sering makan di pinggir jalan?" tanya Felix.

"Gak sering sih, tapi beberapa kali pernah makan. Gak pa-pa, 'kan?"

"Gak masalah, aku juga pernah makan di pinggir jalan."

Lili dapat bernapas lega. Dia pikir, Felix keberatan. Tapi ternyata tidak. Tak lama kemudian mereka sampai ke lokasi. Lili merasa anatusias segera turun dari mobil, begitu juga dengan Felix.

Ibu hamil itu langsung menggandeng Felix menuju ke tempat nasi bakar. Duduk di sana, Lili langsung memesan. Hidangan sudah di depan mata, Lili segera membuka bungkus nasi bakar yang terbuat dari daun pisang.

"Rasanya enak," ujar Lili seraya menyuapkan nasi itu pada mulutnya.

Felix tersenyum tipis, pria itu juga melakukan hal sama seperti Lili. Felix mengangguk-angguk saat makanan itu masuk ke mulut.

"Aku boleh nambah?" tanya Lili dengan puppy eyes.

Felix menahan tawa, ekspresi Lili sekarang seperti anak anjing yang meminta kasih sayang.
"Kamu bisa makan sepuasmu." Dia melirik ke arah bekas milik Lili yang habis. Felix tahu, faktor kehamilan dapat memicu naiknya nafsu makan.

"Makasih." Lili beranjak dari duduknya dan mengambil dua nasi bakar. Rasanya makan satu saja tak akan cukup.

Felix mengamati Lili. Satu bulan bersama, Felix mengetahui kalau Lili tak cukup makan satu porsi. Mungkin faktor kehamilan membuat nafsu makannya melonjak.

"Kenyang? Mau nambah lagi?" tawar Felix saat melihat Lili sudah menghabiskan makanannya. Bahkan ibu hamil itu mengusap perutnya tanda kekenyangan. Namun Felix tetap menawari lagi, barang kali Lili masih mau makan. Atau beli makanan lain.

Lili meringis malu, memang dia seperti tak punya malu di depan doi malah makan banyak. Tak ada anggun-anggunnya. Yah, mau bagaimana lagi, bukan perutnya saja yang lapar, pasti bayinya juga merasa demikian.

Jujur saja selama tinggal bersama Felix, Lili sama sekali tak mengeluarkan uang tabungannya. Malah tetap utuh, karena Felix memenuhi kebutuhannya. Pakaian pun, pria itu yang membelikannya. Tak tahu kenapa pakaian itu sangat pas di tubuhnya. padahal Lili sama sekali memilihnya. Tiba-tiba saja beberapa pakaian sudah ada di kamar, dan Lili hanya tinggal memakainya.

"Aku kenyang," cicit Lili. Felix pun membayarnya dan mereka segera beranjak dari sana.

"Tapi, boleh gak beli telur gulung?" Lili menghentikan langkah Felix dan meringis kecil, tiba-tiba ingin membelinya saat melihat stand telur gulung.

"Ya ampun." Felix tertawa. Ibu hamil ini, kenapa plin plan sekali. Jadi gemas.

....
14/09/22

Akhirnya bisa up.

(𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧) 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐦 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang