PART 6

10.4K 577 6
                                    

Lili menelusuri jalan seorang diri setelah pengusiran dari kedua orang tuanya. Lili segera mengusap air matanya yang berjatuhan, meski semua hal itu percuma, air matanya terus berderai.

Masih ingat bayangan satu jam yang lalu ketika Papanya terus mendesak untuk mengugurkan kandungannya. Lili menolak meski Damar mengatai anak tak tahu diuntung. Karena penolakannya itulah, Lili diusir dan disuruh merenungi kesalahannya.

Darma dan Yesi ingin Lili berpikir matang-matang tentang mempertahankan anaknya. Jika Lili menggugurkannya, orang tuanya akan menerima Lili dan melupakan tentang dia yang pernah hamil. Atau mempertahankan, tetapi Lili tak diakui anak lagi dan menghilangkan nama Hermawan di belakang namanya.

Pilihan sangat sulit, tapi Lili tak peduli tentang tak dianggap oleh kedua orang tuanya. Lili memilih sang jabang bayi yang masih bersemayan dalam rahimnya.

"Ingat kata Mama, masa depanmu masih panjang. Pikirkan baik-baik mempertahankan anak itu. Dia akan menjadi penghalang masa depanmu!"

Ucapan Mamanya terngiang di telinga. Terasa miris ketika sang nenek dari anaknya berkata demikian. Memang Lili tak terlalu berharap lebih tentang penerimaan mereka. Tetapi tetap saja, terasa sangat menyakitkan saat anaknya yang tak tahu apa-apa mendapat penolakan, bahkan saat dia masih kecil, belum berbentuk sempurna.

"Biarpun dunia menolak, Mama akan mempertahankan kamu."

Lili mendongak, hari kian malam. Namun Lili merasa ada ketenangan saat melihat di langit terdapat bulan menderang yang dikelilingi bintang gemerlap. Menghela napas pelan, Lili kembali melangkah meski keadaan jalan terasa sunyi.

Begini lebih baik, dia terasa leluasa menangis tanpa harus malu dilihat oleh orang-orang. Seharusnya Lili takut karena jalan sepi, tapi entah kenapa Lili merasa lebih baik dalam kesunyian.

"Maafkan aku, Sasi, aku butuh sendiri." Lili menatap ponselnya yang terus bergetar. Sasi terus mengirim pesan dan meneleponnya. Lili tahu, sahabatnya itu sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tidak mau membuat Sasi tambah khawatir setelah mendengar betapa seraknya suaranya kini.

Lili menyebrang jalan tanpa melihat kanan dan kiri, merasa tak akan ada satu kendaraan melalang ke jalan. Nyatanya semua salah, satu mobil melaju kencang dan hampir menabraknya. Andai Lili tak segera menghindar, Lili tak yakin nyawanya akan selamat. Tetapi yang terjadi lutut dan sikunya terluka. Untung saja kehamilannya baik-baik saja.

"Kamu baik-baik saja?"

"Ya." Lili mengangguk tanpa melihat orang itu. Malahan sekarang Lili sedang menahan sakit akibat lukanya tadi.

"Mau kubantu?" Lili terdiam saat melihat tangan besar terulur padanya. Tapi, kenapa suaranya terasa familiar? Lili mendongak, matanya membulat saat melihat sosok pria yang selama tiga bulan ini tidak pernah dia lihat.

"Felix," lirih Lili, merasa tak percaya jika dia bisa melihatnya lagi.

"Kamu__ Lili?"

**

Felix segera menarik Lili untuk berdiri. Felix sendiri tak menyangka akan melihat Lili di sini. Pria itu hampir lupa dengan sosok Lili, akibat suatu insiden di mana dia meninggalkan Lili saat mereka baru saja mencapai puncak bersama.

"Kenapa malam-malam di sini?" tanya Felix penasaran. Apalagi mengingat jalan ini sangat jauh dari apartemen Lili.

"Aku__" Lili menunduk. Haruskah dia berkata jujur pada Felix.

Melihat keterdiaman Lili, dan juga luka pada tubuhnya, Felix langsung menggendong Lili menuju ke mobilnya.

"Akh, Felix!" Lili memekik, terkejut dengan gendongan tiba-tiba pria itu.

"Diamlah, kamu terluka."

Wajah Lili merona, jantungnya berdebar hebat. "Aku bisa jalan sendiri," bisiknya.

"Hanya lima langkah."

Felix menurunkan Lili ke kursi samping kemudi. Lalu mengitari mobil, masuk ke bagian kemudi. Dalam perjalanan, hanya keheningan. Lili yang tak tahu ingin berkata apa, rasanya canggung. Matanya hanya melirik ke arah Felix yang fokus mengemudi.

Tanpa sadar Lili mengusap perutnya.
Papa kamu ada di samping Mama, Sayang, batin Lili mengulum senyumnya.

"Apa perlu kita ke rumah sakit?" Felix melirik luka Lili.

"Kenapa harus di rumah sakit?" tanyanya tak mengerti.

"Kamu terluka."

"Ah, luka ini gak terlalu sakit. Gak perlu ke rumah sakit," jawab Lili, merasa lukanya tak perlu dibawa ke rumah sakit. Sangat berlebihan sekali.

Felix mengangguk dan tak memaksa ketika Lili tak ingin. Hingga tak lama kemudian, mobil yang mereka naiki berhenti di gedung apartemen tempat tinggal Lili.

"Gak ingin turun?" Felix menoleh ke arah Lili, yang masih bergeming. Lili pun sadar betul bahwa mobil ini terhenti di gedung apatemen yang dia tinggali. Tapi, Lili tak bisa tinggal di sana lagi.

"Apa perlu aku menggendongmu sampai ke unitmu?" tawar Felix.

Lili menggelengkan kepala, wajahnya memerah. Namun bukan saatnya Lili tersipu malu. Lili mendongak hingga tatapan mereka bertemu.

"Felix, bisakah aku menginap di tempatmu?" tanya Lili seraya menggigit bibirnya.

"Apa?" Sial! Felix malah fokus pada bibir Lili yang digigit.

"Anu, kalau boleh, aku menginap di tempatmu untuk sementara sebelum memiliki tempat tinggal. Boleh?" Lili menatap Felix penuh harap. Seperti kelinci yang tidak ingin disembelih.

Melihat Felix diam, Lili merasa tak enak hati.
"Maaf, anggap saja aku gak pernah bilang begini sama kamu," ujar Lili. Lili membuka pintu mobil Felix, merutuki diri yang lancang meminta tempat menginap. Padahal mereka tak begitu saling mengenal, selain mereka pernah menghabiskan malam bersama. Hingga dia hamil begini.

Lili terkesiap saat tangannya dipegang oleh Felix. Lili menatap penuh tanya membuat Felix berdeham canggung.

"Aku gak tahu apa masalahmu, tapi kamu boleh menginap di tempatku." Felix menahan Lili. Dari raut wajah wanita di depannya, ada masalah yang mungkin tak bisa Lili ungkapkan.

"Kamu yakin?" tanya Lili memastikan.

"Ya." Felix mengangguk.

Senyum Lili mengembang, tanpa sadar Lili memegang tangan Felix.
"Makasih, aku janji gak akan lama menginap." Mungkin Lili akan mengontrak sambil membesarkan anaknya. Untung saja Lili mempunyai uang yang dititipkan pada Sasi.

Lili rasa uang itu cukup. Lili juga akan bekerja memenuhi kebutuhannya. Meski harus Lili sayangkan, dia tak bisa menyelesaikan kuliahnya. Tak apa, ada calon anaknya yang butuh perhatiannya.

"Ah, maafkan aku." Lili malu, sebab dia telah lancang memegang tangan Felix.

"Gak pa-pa." Felix tak mempermasalahkan tentang itu.

"Makasih, Felix." Lili berujar tulus. Walau sebenarnya bisa saja dia turun dan menghubungi Sasi untuk menjemputnya. Bukan malah meminta menginap di tempat Felix, meski pria itu ayah kandung dari calon anaknya.

Ah, mungkin saja ini keinginan calon anaknya yang ingin tinggal bersama ayah kandungnya. Istilahnya, saat ini Lili sedang mengidam ke tempat tinggal Felix.

Halah Lili, akui saja kamu ingin dekat-dekat dengan pria yang kamu suka. Bukan alibi karena ngidam atau keinginan anak.

Lili meringis kecil, andai tiba-tiba Lili ingin memeluk Felix, apa pria itu mau menurutinya?

....
24/08/22

Akhirnya bisa up meski 1k kata wkwk.

Makasih buat yang stay sama karanganku.

(𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧) 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐦 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang