PART 4

10.4K 539 8
                                    

Satu bulan, dua bulan, Lili masih bisa menutupi kehamilannya. Perubahan dirinya belum dicurigai oleh teman-teman kampus. Akan tetapi, kini kehamilan Lili sudah memasuki bulan ke tiga. Di mana kentara sekali perubahannya. Tubuhnya kian berisi, perutnya kian membesar, porsi makannya kian menambah.

Lili tidak berani ke kampus, dia menyendiri di kamar seraya mengamati dirinya di cermin. Lili takut teman-temannya mengetahuinya hamil di luar nikah. Lili tak bisa membayangkan caci maki yang akan dia dapatkan.

Sampai detik ini, Lili belum mengatakan perihal kondisinya pada orang tuanya. Lili belum berani, apalagi sampai pulang ke rumah. Setiap Mama dan Papa menyuruh Lili pulang, Lili akan mengatakan kalau dia banyak tugas. Entah sampai kapan Lili akan menyembunyikan kehamilannya.

Lili memandang dirinya di pantulan cermin. Perutnya membesar. Lili juga belum mengecek kehamilannya ke dokter. Tangannya mengelus perut besar itu, menghela napas ketika menyadari bahwa dalam beberapa bulan lagi dia akan menyambut buah hatinya.

"Meski kamu hadir karena kesalahan, Mama sayang kamu," ujar Lili tersenyum lebar. Terus mengelus perutnya.

Ting tong ting tong.

Suara bel apartemen berbunyi. Kening Lili mengerut dan segera memakai pakaiannya. Kaos longgar menutupi perut besarnya.

"Sebentar," teriak Lili, berjalan menuju ke pintu. Jika Sasi, perempuan itu pasti langsung masuk tanpa memencet bel.

"Mama?" Lili terperangah menatap sang Mama berdiri di depannya sambil tersenyum ke arahnya.

Lili gugup dan takut. Lili meremas ujung kaosnya dengan jantung berdetak hebat. Kenapa Mamanya di sini? Lili tak pernah menduga bila ini terjadi.

"Kenapa sayang? Kok kamu malah kaget?" Yesi menatap putrinya tak mengerti. Wanita paruh baya itu masuk ke apartemen putrinya dan meletakan bawaannya di meja.

"Mama kenapa di sini?" pertanyaan bodoh, Lili merutuk dalam hati.

"Kamu kok tanya begitu? Mama ke sini, pastinya mengunjungimu. Sudah dua bulan kamu gak pulang ke rumah. Mama sama Papa khawatir."

"Bu-bukan begitu, Ma." Lili merasa kikuk. Dengan perlahan mendekati Mamanya, namun ada jarak. Hal itu membuat Yesi merasa aneh dengan tingkah Lili.

"Kamu kok jauhan, biasanya langsung peluk Mama."

Lili meringis. Sebenarnya Lili ingin memeluk Mamanya seperti biasanya. Tetapi hal itu Lili tahan, bagaimana jika Lili memeluk Mama dan Mamanya tahu ada yang mengganjal. Tidak, Lili belum siap.

Uhuk, uhuk,

Lili pura-pura batuk. "Lili lagi flu, Ma."

"Flu juga biasanya meluk," cetus Yesi lalu geleng-geleng kepala. Lalu tatapan Yesi memindai Lili dari atas sampai ke bawah. Membuat Lili ketar-ketir.

"Kamu agak gemukan sekarang." Lili menahan napas saat Mamanya bilang seperti itu.

"Ah, itu karena akhir-akhir ini banyak tugas dan makan camilan, Ma. Iya, karena makan camilan jadi gemuk, hehe." Benar-benar pintar sekali, kamu Lili. Sejak kapan kamu berani bohong pada Mamamu! Eh, tapi itu juga tidak salah. Karena sejak hamil, Lili juga suka memakan camilan.

"Astaga, jangan banyak makan, apalagi camilan. Kamu harus diet, Lili. Papamu pasti gak suka melihat perubahanmu itu," ujar Yesi.

"Iya, Ma." Lili mengangguk lesu. Andai mamanya tahu kondisinya, kenapa dia bisa agak gemukan.

"Mama bawakan kamu makanan, kamu makan nanti ya. Sisanya bisa kamu masukan kulkas. Mama pulang dulu, melihat keadaanmu baik-baik saja, Mama lega." Yesi menatap Lili sambil geleng-geleng kepala. Di mana tubuh langsing Lili? Sekarang tubuhnya sangat gemuk. Yesi yakin, suaminya tak akan suka melihat keadaan Lili seperti ini.

"Iya, Ma." Lili patuh. Mana pernah dia membangkang.

"Ingat, Sayang. Kamu harus diet. Mama gak mau kamu gemuk, apalagi sekarang kamu kucel."

"Iya, Ma. Nanti Lili diet." Tentu itu kebohongan. Mana mungkin dia diet sedangkan sekarang tengah hamil. Lili tidak mau kandungannya kenapa-napa.

"Ya sudah, Mama mau ke kantor Papa kamu." Yesi mengusap rambut Lili sebelum pergi meninggalkan unit apartemen Lili.

Kepergian Mamanya, Lili dapat bernapas dengan tenang. Lili membuka makanan yang dibawakan Mamanya. Melihat makanan itu, biasanya Lili akan antusias memakan masakan itu. Tapi sekarang dia tak berselera. Lili pun memasukkan makanan itu ke kulkas. Nanti akan Lili suruh Sasi memakannya.

"Sepertinya aku gak bisa menyembunyikan lama-lama." Lili berdiri, mengambil jaketnya. Siang ini Lili akan menarik uang tunai di rekeningnya.

Sedia payung sebelum hujan, inilah yang dilakukan Lili. Dia akan menguras tabungannya untuk berjaga-jaga. Cepat atau lambat, Lili akan memberitahukan kehamilannya pada orang tuanya. Lili tidak yakin mereka akan menerimanya. Maka dari itu, Lili melakukan penarikan uang, supaya ketika Papa membekukan kartunya, Lili tak akan susah. Karena uang ada di tangan.

Lili memang pintar.

Tak sia-sia dia banyak membaca novel. Ternyata salah satunya bisa dipraktikkan.

****

Lili telah mengambil uang tunai, begitu juga membuat rekening baru agar uang itu bisa disimpan. Jika dipikir memegang secara langsung, Lili takut uang itu akan hilang.

"Untuk apa kamu memberiku ini?" Sasi menatap tak mengerti pada Lili, ketika ibu hamil itu memberi kartu atm padanya.

"Aku minta tolong kamu simpan ini ya, Sas," pinta Lili.

"Kenapa aku? Kenapa gak kamu simpan sendiri." Sasi belum menerima kartu itu.

Lili menghela napas. Pada akhirnya Lili mengatakan rencananya pada Sasi. Dan syukurnya Sasi paham.

"Oh, begitu, oke aku simpan." Sasi menerima kartu itu dan memasukkannya ke dalam dompetnya.

"Lili, apa yang kamu lakukan, aku akan mendukungmu. Memang ini terasa berat, tapi aku yakin kamu bisa. Aku akan selalu bersamamu."

Mata Lili berkaca-kaca. Dia langsung memeluk Sasi. "Terima kasih, Sasi."

"Sudah, jangan cengeng. Sebentar lagi kamu akan jadi ibu." Sasi mengusap punggung Lili. Sasi tersenyum tipis, dia yakin Lili dapat melewati ini semua. Membayangkan menjadi Lili, belum tentu dia bisa melakukan hal terbesar dalam hidup.

"Aku tau," lirih Lili lalu mengusap air mata yang entah kapan menetesnya.

"Lalu kapan kamu mengatakan pada orang tuamu?" tanya Sasi.

"Besok. Besok aku akan mengatakannya. Jika mama dan papa murka, aku akan menerimanya. Dan bila mereka mengusirku dan tak menganggapku anak lagi__" napas Lili tercekat. Ini pilihan tersulit dalam hidupnya. Namun Lili harus memilih mana yang terbaik.

"__aku akan menerima keputusan mereka," lanjut Lili sendu. Tatapannya kini ke arah perutnya, Lili tak bisa membayangkan orang tuanya tak menganggapnya anak. Tapi Lili juga tak bisa membunuh anaknya. Bagaimanapun, Lili mencintai kandungannya sepenuh hati.

"Apa perlu aku temani besok?" tawar Sasi yang mendapat penolakan dari Lili.

"Gak perlu, Sas, aku bisa sendiri kok."

"Kamu yakin?" Sasi masih menawarkan diri. Takut jika Papa Lili akan menyakiti sahabatnya ini.

"Aku yakin." Lili tersenyum menenangkan kekhawatiran Sasi, sang sahabat.

Melihat senyum Lili, tangan Sasi mengepal erat. Jika Sasi melihat Felix, Sasi berjanji akan memaki pria itu dan membuat pria itu bertanggung jawab. Sasi semakin tak tega jika sahabat satu-satunya merasakan penderitaan.

Sasi berharap, Om Damar tidak akan melakukan hal keras pada Lili.

"Oke. Aku dukung keputusanmu." Sasi mengalah. Tapi jika Lili ada apa-apa, Sasi nomor satu yang akan menolong Lili.

"Kamu sudah makan?" Sasi mengalihkan suasa sendu tadi.

"Belum, aku gak lapar."

"Hei, jangan begitu. Ingat, kamu sekarang berbadan dua, kamu harus tetap makan supaya keponakan aku gak kelaparan di sana." Sasi berdiri dan menuju ke dapur.

Lili melihatnya pun mengikuti Sasi ke dapur.

....
18/08/22

(𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧) 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐦 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang