° Kapan Nikah? °

905 116 67
                                    

"Kapan nikah?"

Well, Dara Abelia Lubana sudah muak mendengar pertanyaan ini. Ini pertanyaan sensitif buat jomblo seperti dia. Sama sensitifnya seperti pertanyaan "Kapan lulus?" buat mahasiswa tingkat akhir yang skripsinya ditolak terus-menerus.

"Di waktu yang tepat." Sang dokter berkulit seputih salju menjawab dengan kesal.

"Bisa gak lo berhenti nanya itu Sin?" Dara berdecak sewot. "Itu sama kaya lo nanya, kapan mati? Denger ya njing?! Jodoh itu di tangan Tuhan. Kalau Tuhan ngasih sekarang ya gue bisa aja nikah sekarang."

"Ya, tapi kalau ga dicari Tuhan ga bakal ngasih jodoh." Si cewek berwajah judes yang duduk di seberang Dara—Sindy Marsela membalas.

"Terus carinya dimana? Di pasar senen?" Dara mendengus.

"Yah dimana kek. Dari segitu banyak kenalan cowok memangnya gak ada yang menarik buat lo?" Sindy mengangkat alisnya heran. Setaunya, si Dara punya banyak banget kenalan cowok dan kebanyakan ganteng-ganteng lagi.

"Ah—" Dara menghela napas. Ia menegakkan posisi duduknya dan menatap Sindy dengan serius.

"Cowok ganteng itu cuma ada dua kemungkinan. Kalau gak homo ya bangsat."

"Darimana lo narik kesimpulan kek gitu, Ra?"

Dara mengindikkan bahu. "Berdasarkan hasil observasi," ujarnya sambil menyimpangkan kaki. "Noh liat aja si Tejo ama Jaka temen satu koas gue dulu yang ternyata homo, noh terus si Hendery ternyata penganut aliran sesat, dan si ganteng Dikta, senior gue pas masih jadi dokter umum dulu eh ternyata hobi ngelenong. Pantes bae kulitnya bisa kinclong dan wajahnya bisa cantik begitu. Sekali dandan bisa dua jam ngalahin anak perawan…"

Sindy mendengar penjelasan Dara. Please ya, sahabatnya ini kenapa harus dikelilingi orang-orang aneh sih?

"Yah, mungkin cowok yang biasa aja gak terlalu ganteng deh. Gak ada apa?"

"Hmm nggak deh Sin, gue sibuk sekolah." Dara mengangkat bahu. "Empat taon buat kuliah S1, lepastu koas dua taon, pengabdian ke daerah satu taon, lanjut lagi kuliah spesialis empat taon, belom lagi abis lulus spesialis gue mo fokus karir sampe gue ada di posisi sekarang, ini aja gue ada rencana mau ambil superspesialis di bidang penyakit syaraf. Mana ada waktu buat nyari laki apalagi pacaran."

Sindy bergidik mendengar penjelasan Dara. Ngeri ya perjuangan seorang dokter itu ternyata?

Sindy sendiri tipe cewek yang nikah muda (dia nikah pas umur 21 tahun tepat abis lulus kuliah) dan menyerahkan segalanya sama suaminya yang bernama Tio.

Prinsip Sindy sih selama masih ada duit suami buat apa pakai duit sendiri? Prinsip inilah yang ditentang Dara abis-abisan.

Dara bilang kalau cewek itu ga boleh bergantung pada siapapun, harus mandiri, ga boleh bergantung pada cowok. Dan beginilah dia sekarang. Sudah tua masih Jomblo.

AWOKAWOKAWOK

"Nah begini nih efeknya, gak ada cowok yang berani ngelamar lo karena lo terlalu high pride, independen, dan dominan. Cowok suka sama cewek yang bergantung sama dia dan cewek yang butuh perlindungan dia karena dengan begitu cowok jadi merasa perkasa."

"Mendingan gue jadi perawan tua daripada nikah terus ngelepas semua pencapaian gue sekarang." Ujar Dara menyingkirkan gelas jusnya yang telah habis.

"Seriusan, Ra! Gimanapun lo kudu nikah bangsul! Ga panas apa kuping lo ditanyain kapan nikah mulu? Ga kesian apa sama Tante Martini dan Om Kadir yang udah pengen banget gendong cucu?"

Dara menekuk alisnya. "Panas banget, Sin. Muak gue dengar satu pertanyaan diulang-ulang mulu."

"Pokoknya lo harus nikah sebelum ulang tahun lo yang ke-29! Plis, Ra! Cewek itu ada masa expirednya. Kalo lo kelamaan nikah kapan mau punya anaknya? Ngelahirin pas udah kisut juga resikonya tinggi loh."

JOMBLO ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang