Sakura menggosok-gosok kaki di depan Manor House pada bebatuan kecil dan daun-daun lembab. Membersihkan bercak kotoran dari telapak kaki sebelum masuk ke dalam rumah.
Prajurit datang membawa Sakura kemari atas perintah. Sakura masuk ke dalam rumah saat di rasa telah bersih. Tidak lupa noda samar di ujung kiri gaun, Sakura tidak bisa menghilangkan noda lebih dari ini.
"Tuan muda di lantai dua."
Ruang kerja.
Sakura naik ke lantai dua beralasan perintah. Dia naik sendiri karena prajurit hanya mengantar sampai depan lantai satu, Sakura menaiki tangga hati-hati.
Ini panggilan pertama secara resmi. Apa pria yang Sasori katakan datang lebih awal? Hingga Tuan muda memanggil?
Sakura tiba di lantai yang pernah di bersihkan, tepat di depan ruang kerja kerja. Lantainya sudah bersih, Sakura tidak tahu siapa pengganti tugasnya di sini usai kejadian itu.
Pintu berlapis kayu jati berukiran lambang cat hitam, sangat megah dan sederhana secara bersamaan. Sakura mengetuk pintu itu dua kali.
"Masuk."
Suara seseorang terdengar. Sakura meraih gagang pintu, mendorong perlahan agar bunyi tidak kentara. Dia mendapati sosok memakai jas berkerah membelakangi. Sosok itu sedang memegang beberapa dokumen mengarah pada rak buku di belakang meja kerja.
"Anda memanggil saya, Tuan?"
Sakura berdiri di tengah ruangan. Kedua tangan saling merangkum, menjaga kesopanan.
Sasuke berbalik, pandangan pertama fokus pada Sakura. Sakura merunduk, kedua kaki gadis itu merapat ketat, sangat segan padanya.
Sasuke menaruh dokumen di tangan ke atas meja kerja berlapis kayu. "Kau akan menempuh pendidikan di District of Columbia."
Sakura terpana, mengangkat kepala cepat. "S-Saya?"
Telunjuk Sakura menunjuk diri sendiri. Jemari itu gemetar, Sasuke bisa merasakan keterkejutan Sakura.
"Rumah ini mendapatkan surat atas nama seseorang dari República Portuguesa hampir tiga minggu lalu. Aku sudah tahu itu apa tanpa membukanya. Seorang pemuda akan datang dan ingin membawamu pergi..." Sasuke tidak pandai basa-basi, dia terus terang.
Sakura membisu. Semua surat sebelum datang ke tangan penerima, selalu di periksa lebih dahulu, hanya saja Sakura tidak tahu kalau kabarnya menyeruak.
"Aku memberimu pilihan, pendidikan atau pergi ikut pemuda itu."
Napas Sakura seakan terputus di suatu tempat. Tawaran ini tidak pernah masuk ke dalam harapan Sakura, tidak setelah mengubur dalam-dalam impian ini sebelumnya.
Tidak ada balasan. Sasuke tahu Sakura terkejut. Tanpa apa-apa dan secara mendadak pilihan muncul. Tetapi Sasuke tidak bisa menunda lama, dia tidak mau Sakura terlalu mengikuti arus.
"Fasilitas sudah ku disediakan. Mungkin susah untuk menempuh pendidikan lanjutan karena kau belum pernah menerimanya. Tapi kesulitanmu tidak akan lama."
Sasuke membaca singkat judul depan dokumen di atas meja. Judul itu berisi nama siswi yang lulus pendidikan tinggi, tertera nama Sakura. Sasuke sudah menyelesaikan pendaftaran pertama dan biaya pendidikan sampai lulus.
"Kejarlah pendidikan yang kau inginkan." Aku ingin melihatmu berhasil.
Kata-kata sebelumnya berhasil membuat Sakura gundah. Kini, kata-kata Tuannya kembali mengambil dampak besar dari lubuk hati Sakura. Sakura menatap Sasuke, pemilik Hotel Waldorf-Astoria di New York City dan juga Manager di Hotel Bellevue-Stratford. Terlalu senang dan tidak sadar jika liquid itu menetes melewati pipi. Sakura menyentuhnya, merunduk dan menghilangkan air mata di sana diam-diam walau Sasuke terus memperhatikan seksama.
"Saya janji, saya akan memanfaatkannya sebaik mungkin."
.
4 tahun kemudian.
District of Columbia. 1896.
Ibukota Amerika. Pusat kepadatan di sini naik signifikan setiap tahunannya, banyak usaha terkait penduduk yang ikut melonjak sukses. Salah-satu yang populer di Ibukota adalah Toko pakaian ternama yang melejit sukses, membuka cabang di berbagai kota lain dan mendapatkan apresiasi dari mantan wali kota New York, Abram S. Hewitt.
Toko berlantai tiga terlihat elegan di tengah-tengah kepadatan penduduk. Toko itu buka dari pagi sampai sore. Keramaian cukup terjadi di lantai satu, berjumlah karyawan enam belas orang yang sibuk melayani pembeli.
Sakura tersenyum cerah dari lantai dua, melihat bagaimana semua orang bersemangat dan sigap melayani. Tokonya berkembang pesat dalam kurung waktu empat tahun. Banyak hal yang terjadi.
Tidak bisa menunjukan semua kepuasan dengan ekspresi wajah. Sakura pergi menuju ruang kerjanya. Ruang kerja yang menunjukkan papan nama tergantung di depan pintu, papan nama bertulis gelar Sakura.
Saat masuk, Sakura di sambut warna cat dinding soft, tidak monoton dan tidak terlalu mencocok, sesuai. Ruangan ini luas. Ada sofa di sisi ujung kanan, meja kerja tepat di tengah, jendela besar menghadap jalan Ibukota dan rak buku kecil...
Hentakan sepatu Sakura menyentuh lantai terdengar halus, kaki itu tidak lagi menyentuh permukaan tanah atau lantai langsung, keadaan berubah.
Sakura mendekati rak buku, mengamati buku-buku mulai dari edisi terbaru dan lama. Semua buku yang susah payah Sakura inginkan dulu, kini semua ada di rak. Termaksud buku usang di tengah buku lainnya--itu buku dari pembuangan. Senyum simpul terbit di wajah Sakura, The Canterville Ghost buku terbaik versi Sakura.
"Ruanganmu bagus."
Pujian muncul dari balik tubuh Sakura. Sosok itu memakai pakaian informal dari biasa, bersandar pada meja kerja dan mengamati sekitar, memperhatikan arsitektur.
"Benar kah?" Mata Sakura menyipit, tidak mampu menahan tawa kecil. Mendekati sosok bersekedap itu.
"Ya, kau berkembang." Ada senyum tipis saat sosok itu mengutarakan pujian kedua kali. Tidak mampu menyembunyikan rasa bangga pada Sakura.
"Anda terlalu memuji saya Tuan muda," ucap Sakura, menaruh jemari tangan di dekat mulut saat terkekeh.
Sasuke menatap Sakura. Jutawan muda Amerika berselisih beberapa tahun dengan Sakura memberikan usapan kecil pada pucuk kepala Sakura.
"Kau berhasil," ucap Sasuke, rendah. Nyaris berbisik.
Sebelumnya sudah banyak yang memberi pujian untuk launching bisnis Sakura. Semua itu berkesan di hati Sakura, tetapi yang sekarang terdengar tulus dan sangat bangga. Sakura lemah pada kata-kata singkat ini.
"Kau menangis?"
Sasuke merunduk, menyamakan tinggi tubuh Sakura. Ingin tahu bagaimana wajah Sakura.
"T-Tidak." Sakura memalingkan wajah, malu.
"Perlihatkan wajahmu."
"Tidak." Sakura mengusap sendiri wajahnya.
"Kenapa di sini sembab?" Sasuke mengeluarkan sapu tangan hijau tosca, memperhatikan jejak air mata di kelopak mata Sakura.
"Saya hanya terharu."
Getaran bibir Sakura melengkung, membentuk ekspresi menahan tangis, tanggul pertahanan bocor, Sakura menangis disertai isak kecil sesekali. Sasuke menarik Sakura, memegang sisi bahu Sakura, dan memeluknya.
"Tidak ada yang perlu ditangisi," bisik Sasuke, di samping telinga Sakura. "Aku bangga padamu."
"Hanya Anda yang seperti ini pada saya."
"Aku memang berharap hanya aku satu-satunya."
Sakura tertawa, kedua tangan di depan dada Sasuke, bergerak pelan. "Bagaimana cara membalas semua ini?"
Emerald itu memandang ke atas. Sasuke melihat Sakura dari dalam dekapan, menyadari betapa lama waktu melakukan semua ini untuk Sakura.
Sasuke tersenyum tipis. Mengusap poni di dahi Sakura. "Jadi teman hidupku."
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORI (END)
Historical Fiction1884. 1887. 90⁰. República Portuguesa. Kasta. 1900. 2022. ( SasuSaku )