Prolog

103 31 47
                                    

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pak Mukhlis sedari tadi sibuk menelepon dengan seseorang, sepertinya orang tersebut sangatlah penting sehingga ia belum sempat menjalankan kewajibannya untuk berpatroli malam mengelilingi sekolah.

Sementara itu, Pak Djarot dan Pak Rizal sudah duduk di depan layar kaca televisi untuk bersiap-siap menyaksikan klub sepakbola favoritnya bertanding malam ini.

"Pak Djarot, itu Pak Mukhlis ngga ikut nonton sama kita? Apa dia udah pensiun nonton bola." Tanya Pak Rizal.

"Ngga tau Pak, dari tadi dia sibuk nelpon mulu, ngga tau deh jadi kagak nonton bolanya. Dia juga belum patroli malam, Pak." Jawab Pak Drajot.

"Oh iya, yaudah biarin aja, kalau capek juga dia pasti berhenti nelponnya."

Pertandingan sepakbola antara FC Barcelona melawan Real Madrid memang sangat dinantikan oleh para penggemarnya. Terlihat dari raut wajah mereka yang begitu fokus menonton pertandingan walaupun lewat televisi saja.

Secangkir kopi mulai diseruput pelan-pelan oleh Pak Djarot, sebaliknya Pak Rizal lebih memilih untuk meminum secangkir teh hangat. Sambil menikmati sajian makanan yang tersedia. Setengah jam sebelum pertandingan dimulai, Pak Rizal sempat keluar mencari makanan untuk disantap sambil nonton bola, ia memilih membeli tahu petis dan juga rengginang. Sebenarnya, Pak Rizal tidak begitu suka dengan tahu petis. Untuk menghormati Pak Djarot serta Pak Mukhlis, terpaksa ia membeli tahu petis sebelum akhirnya membeli rengginang disekitaran pasar.

Mereka asik menikmati jalannya pertandingan. Pak Mukhlis belum juga kembali. Ia langsung berpatroli setelah menelepon hampir lima belas menit lamanya. Dan pertandingan pun berakhir dengan kemenangan tipis FC Barcelona 1-0 atas Real Madrid. Pak Djarot menengok pada jam dinding, untuk memastikan waktu. Sedangkan Pak Rizal masih memikirkan apa saja kekurangan event Porak yang ia tangani.

Pak Rizal terpaksa tidak pulang ke rumah, lagian ia juga masih bujangan dan juga tidak ada siapa-siapa di rumahnya. Ia masih sibuk mengurusi pembukaan event olahraga yang akan berlangsung besok di sekolahnya. Tentu saja ini menjadi event yang sangat ditunggu-tunggu oleh para siswa sebelum libur akhir tahun tiba. Pak Rizal sudah tidak sabar melihat antusiasme para siswanya selama bertanding, terlebih pertandingan basket sebagai ajang pembuka olahraga lainnya.

Terlihat di atas tikar, Pak Djarot sudah terlelap, ia tidak banyak melakukan aktivitas setelah nonton bola. Pak Rizal baru ingat sesuatu, ia lupa memasang jaring di ring basket sore tadi. Ia tak tega membangunkan Pak Djarot yang sedang tertidur pulas. Sementara Pak Mukhlis, belum juga kembali dari patrolinya malam ini. Pak Rizal bersiap menuju lapangan basket. Ia menghabiskan beberapa sisa rengginang diatas piring, lalu beranjak keluar meninggalkan Pak Djarot sendirian.

Ia mulai berjalan santai, melewati beberapa ruangan kelas 11 IPS serta MIPA. Sambil memperhatikan sekitarnya, berharap ia berpapasan dengan Pak Mukhlis. Ia tak mungkin memasang jaring di ring basket itu sendirian tengah malam begini. Pasti memerlukan bantuan Pak Mukhlis. Tidak ada lagi yang ia harapkan, apalagi Pak Djarot yang sedang tertidur. Mana mungkin Pak Rizal harus balik lagi dan membangunkannya.

Ia harus bergegas memasangnya, sebelum matahari terbit lagi esok hari. Pak Rizal mengitari sekolah, dimulai dari area belakang. Area kantin, gudang, perpustakaan sampai ruang serbaguna ia lewati. Sama sekali tidak menemukan batang hidungnya. Kemana Pak Mukhlis pergi. Biasanya ia terlihat mondar-mandir di area belakang sekolah. Kali ini, Pak Rizal tidak melihatnya.

Dari arah kejauhan, tampak sekelebat cahaya senter yang terlihat dari sekitar ruangan bimbingan konseling. Apa mungkin itu Pak Mukhlis. Jarak Pak Rizal berdiri tidak terlalu jauh, mungkin sekitar dua ruangan lagi untuk menuju ke ruang BK. Pak Rizal bergegas mengejar asal muasal cahaya senter itu datang. Namun baru beberapa langkah, ia tidak bisa bergerak. Aneh, ada apa dengan kakinya. Ia sama sekali tidak menginjak lem ataupun yang membuat kakinya tidak bergerak. Tapi kenapa kakinya terasa berat sekali untuk digerakkan. Pak Rizal mematung. Tidak tau apa yang ia alami sekarang. Ia coba menggerayangi kantong celananya. Meraih handphone untuk menghubungi seseorang. Tetapi siapa yang harus ia hubungi? Pak Djarot sedang tertidur, tidak mungkin ia akan menjawab teleponnya. Sementara itu, Pak Mukhlis tidak kelihatan sama sekali keberadaannya di sekolah malam ini.

Malam yang malang baginya. Ia masih berdiri kokoh mematung beberapa menit. Tiba-tiba ia mendengar suara seseorang dari arah belakang. Suara itu menyerukan namanya.

"Rizalll!"

Hanya sekali terdengar. Namun, membuat Pak Rizal ketakutan. Cukup lantang, nadanya seperti orang yang sedang marah. Tegas sekali suara itu. Ini pertama kali baginya mengalami hal yang tidak disangka-sangka. Air keringat bercucuran deras dari seluruh badannya. Andai kakinya bisa bergerak saat ini, mungkin ia akan lari sekencang-kencangnya bahkan sampai pulang ke rumahnya.

"Zal, Pak Rizal," sepertinya suara itu cukup familiar di telinga Pak Rizal. Siapa lagi kalau bukan suara Pak Djarot. Dan ternyata benar. Tepukan telapak tangan mendarat tepat pada bahu Pak Rizal. Akhirnya yang ia harapkan bisa terwujud. Seketika, Pak Rizal tersungkur di lantai. Ia tidak pingsan, masih dalam kondisi sadar, setengah kaget hampir tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang.

"Hufttt... Untung Pak Djarot datang," ringis Pak Rizal yang ketakutan.

"Bapak, ngapain toh dari tadi berdiri mematung di sini?" tukas Pak Djarot.

"Buat apa saya mematung disini, Pak. Ngga ada kerjaan. Tadi saya baru ingat kalau belum masang jaring buat ring basket besok, jadi saya ke sini. Terus saya coba cari Pak Mukhlis buat minta bantuan nolongin saya masangnya, Pak. Saya ngga enak bangunin Bapak yang lagi tidur nyenyak. Taunya saya liat ada cahaya senter dari arah depan ruang BK. Saya coba kejar, Pak. Siapa tau itu Pak Mukhlis, eh malah saya ngga bisa gerak gini, lima menit lebih kayaknya ada, Pak. Untung Bapak dateng."

"Sama, Pak. Tadi saya lagi tidur, kebangun gara-gara ada suara keras kaya teriak juga manggil nama saya. Di kira toh Bapak Rizal, taunya ngga ada sama sekali, jadi saya nyari Bapak sambil manggil namanya."

Suara pecahan kaca menghentikan obrolan mereka. Terdengar cukup keras. Arahnya datang dari depan. Sepertinya kaca rumah Pak Satpam pecah. Mereka berdua lari sekencang-kencangnya, untuk memastikan tidak ada penyusup atau maling yang masuk ke sekolah itu. Terus berlari, pandangan mereka fokus ke arah depan. Tak sedikit pun melirik ke arah samping. Semilir angin malam terasa lebih dingin daripada biasanya, menusuk masuk hingga ke rongga pori-pori, bersaingan dengan detakan jantung yang semakin berdebar-debar, naik turun terpompa tak terkendendali.

Mereka terus berlari, berpacu dengan energi yang tersisa. Pak Djarot yang berada di belakang Pak Rizal merasa heran. Ada sesosok bayangan hitam besar mengikuti mereka berlari. Entah apa yang ada dipikiran Pak Djarot, ia mendadak berhenti. Nafasnya terengah-engah. Tangan kanan memegang dadanya. Sesak sekali rasanya. Ia biarkan Pak Rizal yang terus berlari. Tidak mencegah atau mengeluarkan sepatah katapun. Anehnya bayangan itu melintas melewatinya. Dan kini mengejar Pak Rizal.

Pak Rizal begitu fokus, pandangannya hanya ke arah depan saja. Tidak menyadari ada pergerakan di belakangnya.

Perjuangan Pak Rizal tidak sia-sia. Ia kembali ke rumah Pak Satpam itu. Bukan untuk tidur atau menonton ulang pertandingan bola. Situasinya berbeda, sekarang benar-benar tegang. Ternyata benar, dua kaca depan rumah itu pecah. Pak Rizal memeriksanya. Ia sangat terkejut, Loreng-Kucing peliharaan Pak Djarot mati dengan banyak luka. Darah berlumuran dari tubuh kucing itu. Sementara ada sebuah surat disamping kucing tersebut. Tangan Pak Rizal gemetaran. Perlahan mengambil surat itu. Ia mulai membuka dan membacanya. Ada satu kalimat di dalam surat tersebut. Pesan tersebut berwarna merah darah. Sepertinya dituliskan dari darah kucing itu yang berwarna merah.

"MALAPETAKA SUDAH DATANG."

Sekte Darah - Malapetaka [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang