07. Puzzle Pieces

17 1 0
                                    

~Happy Reading~

Agaknya aneh saat aku hendak memasuki krematorium, Mark keluar dengan tergesa-gesa sambil mengelap matanya lalu disusul oleh bibi Minjoo yang sama halnya menitikkan air mata. Sayangnya Mark tidak menyadari kalau aku ada disini. Hanya bibi Minjoo saja yang tahu.

Aku membungkukkan badan ketika mata kita bertemu. Ngomong-ngomong mengenai Lee Minhyung, aku kenal dia tapi tidak begitu dekat. Hanya bertemu beberapa kali dan waktu itu cuma sekedar kebetulan saja.




Waktu itu, Yoon Ella kecil yang baru berusia sepuluh tahun nekat berjalan keluar sendirian sekadar membuang rasa bosan karena orang tuanya yang belum pulang dari bekerja. Dia yang belum hapal mengenai seluk beluk apartemen tersebut dikarenakan belum genap seminggu dia pindah ke apartemen itu. Alhasil dia tersesat, seperti bocah sepuluh tahun pada umumnya yang dilakukan hanya menangis.

Namun, seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya berjongkok di depan Yoon Ella.

"Kamu kenapa?"

Yoon Ella yang ditanyai begitu malah tambah menangis. Dia menenggelamkan kepalanya lebih dalam. Tetapi anak laki-laki itu masih bersabar untuk menemani Yoon Ella sesekali menepuk pelan pundaknya.

Sampai pada akhirnya Yoon Ella mengangkat sedikit kepalanya dan masih menemukan anak laki-laki itu disampingnya.

"Kamu siapa?" tanyanya pelan dengan suara segukan khas orang yang habis menangis.

Bukannya menjawab, anak laki-laki itu malah balik menanyai, "kamu kenapa menangis?"

Sudah dasarnya Yoon Ella kecil yang cengeng, dia malah menangis lagi. Anak laki-laki itu malah kebingungan, "loh kok nangis lagi? Aku gak orang jahat kok, beneran," ujarnya dengan membentuk dua jari di tangannya dengan tatapan serius.

"A-aku gak tau jalan pulang."




Dari situlah Yoon Ella mengenal Lee Minhyung. Sempat bertemu beberapa kali dan pertemuan terakhirnya adalah beberapa jam sebelum insiden mengerikan itu terjadi. Namun, Tuhan lebih sayang kepada Minhyung begitu pula dengan orang tuaku yang sekarang ini pasti sudah bahagia di sana.

Mengenai kepergian, sekarang aku mencoba untuk terbiasa. Sedikit demi sedikit aku mulai belajar bahwa akan ada kedatangan setelah kepergian. Karena kepergian itu tak akan pernah bisa untuk kembali lagi dengan keadaan yang sama, tak akan bisa dilihat lagi dengan wujud sama, tak akan bisa menikmati momen-momen bersama seperti dulu lagi. Tapi people come and go ternyata benar adanya, ada yang pergi kemudian ada yang datang. Ada yang berguguran, ada yang bertunas. Semua itu bukan untuk menggantikan posisi atau sekedar bertukar peran tetapi yang datang sebagai penyembuh dari pada rasa sakit yang tertinggal yang dikemas dengan cerita baru.

Disini, aku mengunjungi kedua orang tuaku. Kali ini, aku tidak lagi menangis seperti kunjunganku pada sebelum-sebelumnya. Aku belajar ikhlas, hingga sekarang aku telah memilikinya, dan itu telah kuberikan untuk kedua orang tuaku.

Kata Mark, perihal mengikhlaskan bukanlah hal mudah tetapi tidak merelakan adalah cara yang salah. Terkadang, takdir memang sebercanda ini dalam mempermainkan. Biarlah semua tersimpan menjadi sebuah kenangan. Kenangan yang tak pernah bisa terlupakan.

***

Perjalananku pulang kubiarkan berbaur dengan suasana perkotaan. Berjalan demi setapak menghirup udara ibukota menjelang siang hari. Entahlah aku hanya ingin sesekali merasakan euforia ku sendiri. Jadi, kubiarkan diri ini menikmati hiruk pikuk nya lalu lalang kendaraan tanpa henti.

Tidak seperti yang kuharapkan, pada awalnya. Ada sepasang netra yang terus menatapku. Gerak-gerik ku terekam jelas pada padangannya. Ada yang memperhatikanku secara terang-terangan ketika aku mencoba menepis dugaan awal dengan menatap kembali ke matanya ternyata dia tak kunjung membuang arah pandangan. Aku dibuntuti oleh tatapannya di saat aku baru memasuki gang.

Jujur saja, aku risih ditatap seperti itu. Namun, ketika aku sadar bahwa dia hanyalah seorang wanita tua yang tengah memikul sekarung gandum, aku mencoba untuk berpikir positif. Dia hanyalah seorang wanita tua. Jadi, apa yang mencurigakan? Jelas dia tidak mungkin melakukan tindak kriminal dengan kondisi seperti itu, kan? Justru detik ini bayangan nenekku kembali memadat dalam memoriku. Hingga sekarang, kaki ku dikendalikan oleh perasaan, lagi. Berujung aku yang tepat berada di hadapan wanita tadi.

Sekarung gandum yang dipikulnya runtuh. Lantas, refleks aku turut menangkapnya walaupun akhirnya karung tersebut berakhir tergeletak ke tanah karena bebannya yang terlalu berat ketika berada di tanganku. Gandum itu berceceran tumpah dari wadahnya.

"Biar aku bantu," kataku pada wanita tua. Kemudian aku segera ikut serta memunguti gandum-gandum tadi. Aku berniat menarik diri setelah gandum tadi telah usai dimasukkan ke dalam karung. Namun, tanganku terjerat oleh anyamannya. Gelang pada tanganku tersangkut pada karung tadi.

Wanita tua tadi membantuku melepaskan gelang yang tersangkut di karung. Beliau tidak segera melepaskan ketika gelangku sudah tidak lagi menyangkut. Gelangku, lebih tepatnya simbol gembok pada gelangku lekat oleh pandangannya. Lantas, akupun berkata, "maaf," hendak undur diri dari tempat ini.

Memang setelah itu, beliau tidak lagi menggenggam simbol gelangku, tapi kemudian dia berkata, "terima kasih sudah membantu nenek. Kamu orang yang baik, semoga takdir baik kepadamu juga," aku mengulas senyum ketika beliau mendoakan hal yang baik kepadaku.

"Anak muda, terkadang dunia tidak sesuai seperti kehendakmu. Ada kalanya kamu mengalah agar dirimu sendiri tetap terjaga," timpalnya.

Pertama kali, nasehat yang kudapat setelah ibuku tiada. Biasanya ibu selalu menasehatiku tentang apapun, hal kecil, petuah dunia dan ini pertama kalinya setelah sekian lama aku tak lagi mendengar kalimat-kalimat seperti itu lagi. Aneh rasanya, tapi aku sedikit terharu. Ada yang perduli terhadapku, walaupun bisa dibilang dia asing untukku.

"Jangan terlalu dekat ya, garis takdirmu bersinggungan bukan menyatukan," ujarnya lagi. Aku dibuat bingung, "dekatㅡ dengan siapa?," tanyaku.
















"Laki-laki yang mampu membuatmu seakan bersamanya saja sudah cukup membuat duniamu bahagia."








Kemudian wanita tua itu berlalu, meninggalkanku yang membatu seakan ramainya gang tetap tak mengecoh pikiranku. Aku mengadahkan kepala ke atas, teriknya matahari begitu menyilaukan mata.

Pager, Apartemen Lasvernand, butiran salju, krematorium, gelang, dan terakhir wanita tua. Kuncinya hanya satu Mark Lee. Semua ini seperti puzzle yang saling berkaitan seakan aku dituntut untuk menyatukan setiap kepingannya yang berceceran dan yeah... Laki-laki yang mampu membuatku seakan bersamanya saja sudah cukup membuat duniaku bahagia, of course. He is. Really he is, and so fast.

Mark Lee.






Bersambung...

TIMELINES | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang