“Tak ada hasil dari sebuah pengharapan pada manusia kecuali sia-sia. Jadi, jangan terlalu jauh dalam mencintainya.”
***
Sama seperti pernikahan, aku juga telah membuang keinginan untuk dicintai. Selama ini perasaan itu tak pernah membuatku lepas dari apa yang dinamakan kekecewaan.
Pertama, ibuku.
Dulu ... aku berpikir jika bisa menjadi anak penurut, pintar dan membanggakan ... aku akan mendapatkan semua cinta seperti yang kudengar dari bu guru. Namun, ternyata hal itu tak berlaku bagiku. Cinta dari ibu yang selalu aku bayang-bayangkan sebelum tidur sejak kepergiaannya, ternyata tak pernah bisa kuraih meski sudah belajar keras setelah dia kembali. Ibu lebih menyukai jika putrinya bisa bersolek dan cantik seperti anak tetangga daripada mendapat juara kelas.
Waktu itu aku merasa kesal sekali karena usahaku tak berarti. Karenanya, berdandan bagiku serupa penyiksaan diri hingga sering kali aku membangkang. Sampai pernah suatu kali, sebab sudah muak dan wajahku rusak akibat make up, aku tak berdandan. Ibu marah besar. Aku dilarang keluar dari rumah selain untuk sekolah. Perasaan kesal dan tertekan akhirnya menimbulkan insecure.
Aku jadi membenci wajahku sendiri. Bahkan, usai bisa memulihkan kerusakan di wajah dengan perjuangan panjang, aku tetap tidak memiliki kepercayaan diri. Jadi, saat Arsyad mengataiku jelek ketika kami belum sedekat ini, aku benar-benar terpuruk. Bahkan dalam hati kecilku pernah berbesit hanya ingin menikah dengan seseorang yang tak pernah mengatakan aku jelek meskipun itu bercanda. Sayangnya, satu-satunya lelaki yang seperti itu kini sudah meninggalkanku.
Memang, di dunia ini tidak ada hal-hal yang berjalan sesuai keinginan manusia. Pria yang pernah membuatku mengharapkan segenap cinta, justru kini menjadi alasanku membuang perasaan indah itu.
Aneh, apalagi sekarang aku justru dicintai oleh laki-laki yang pernah membuatku terpuruk. Kadang-kadang, aku masih tidak yakin. Apa benar untuk menerima Arsyad di sisiku? Tapi, rasanya dia sangat tulus dan aku tidak dalam usia yang bisa menolak pernikahan. Aku sudah terlalu tua untuk jual mahal.
“Hei, yang baru aja dilamar, bawaannya melamunin cincin terus, awas kesambet jin cincin bertuah loh,” teguran dari Riya membuatku menoleh ke mejanya.
“Ck, apa sih? Aku gak ngelamun kok.”
“Hm, iya-in aja deh. Aku laper jadi malas debat. Ngebakso, yuk. Tadi anak-anak staf bawah ngajak makan bakso.”
“Warung depan sana?”
“He'eh, kamu gak ada janji sama klien, kan?” tanya Riya. Namun, belum sempat aku menjawab, seseorang yang baru keluar dari ruangan pimpinan menyahut.
“Sorry, tapi kayaknya Nayla udah punya janji nih.”
Sahutan dari Arsyad membuat Riya berdiri dan mencebik.
“Ealah, Pak Bos, gitu ya sekarang! Udah punya Ayang jadi pas istirahat mau berduaan mulu. Cepet lamaran resmi gih biar kita bisa nikmatin pajak lamarannya juga. Bikin acara yang mewah ya!” Riya menggoda.
Aku hanya tersenyum tipis. Sementara, Arsyad dengan santainya membalas.
“Boleh aja, asal omsetmu bulan ini sampai setengah M ya?”
“Waduh, ngeri, ngeri! Angkat tangan aja aku daripada angkat kaki dari perusahaan.”
Setelah mengakatan itu, Riya ngacir keluar membawa tasnya. Sedangkan, Arsyad terkekeh pelan dan mendekat padaku.
“Ada janji sama klien gak hari ini?” Dia bertanya.
Aku menggeleng.
“Bu Hasna mendadak ada urusan, jadi aku bakal meeting online nanti malam. Kamu mau dinas luar ke kota?”
![](https://img.wattpad.com/cover/320681681-288-k304646.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di antara 2 Gus
SpiritualNayla Husna, wanita karir yang penuh dengan rumor buruk dan dihantui sumpahan neneknya tentang tidak mendapat pasangan. Dia yang sudah sangat frustasi memutuskan menyerah dan berniat legawa hidup sendirian. Namun, suatu hari sahabatnya mendadak mela...