Prolog

446 29 2
                                    

“Allah memberi cinta yang kita butuhkan, bukan cinta yang kita inginkan.”

***

Apa kamu pernah mencintai seseorang sampai rasanya mau gila? Kamu bahkan merendahkan diri, mengesampingkan ego perempuan dan sengaja memasang wajah nelangsa agar dia mau mengabulkan permintaanmu untuk menikah. Sayangnya, meski sudah hampir 7 tahun kalian bersama, dia justru menolakmu mentah-mentah. Perasaanmu bukan hanya jatuh, tapi hancur berkeping-keping.

Aku pernah mengalami hal seburuk itu. 

Saat mengingat kejadian tersebut, rasanya aku ingin menghilang saja dari bumi. Hatiku tidak cuma patah, tetapi putus asa. Sebab ketika itu, aku benar-benar sedang payah dan sangat membutuhkannya, tetapi dia meninggalkanku tanpa satu kata maaf seolah tak pernah ada cinta di antara kita.

Laki-laki brengsek itu, kupikir dia tak akan pernah muncul lagi di depanku, bahkan dalam mimpi sekali pun. Akan tetapi, tak ada angin tak ada hujan, di tempat yang biasa aku kunjungi untuk menenangkan diri, dia kembali.

“Aku dengar kamu belum menikah sampai saat ini. Jadi, menikahlah denganku, Nayla Husna.” 

Dia menyodorkan sebuah kotak bludru biru dengan cincin berlian yang berkilau.

Aku tertegun! Dadaku bergetar! 

Bukan, bukan rasa haru apalagi senang karena akhirnya dia yang pernah kudambakan menawarkan pernikahan. Namun, rasa benci. Sudut hatiku terasa panas dan kesal sekali. Bagaimana bisa pria yang pernah kupuja bersikap keterlaluan sekarang? Setelah penolakan tanpa hati dan membuat perasaanku terasa mati, dia menawarkan hal yang kuminta setelah bertahun lamanya menghilang? Dia kira aku bodoh atau murahan?

Dengan mata yang menatapnya penuh kebencian, aku membuka suara.

“Jika aku Nayla yang dulu, aku pasti bakal nerima ini dengan air mata bahagia. Tapi …” Aku meraih kotak cincin itu dan menutupnya keras-keras.

“untuk diriku yang sekarang, aku gak lagi mengharapkan hal kayak gini dari jenengan,[1] sekali pun cuma mimpi!” lanjutku seraya membanting benda itu lalu beranjak dari kursi. Namun, sesuatu yang dia katakan membuat gerakanku terhenti.

“Maaf …”

Aku menolehkan kepala dengan kaku.

“Kamu pasti ingin mendengar kata itu dariku 3 tahun lalu, kan?” ujarnya dengan wajah datar. Aku mengepalkan tangan. Bisa-bisanya dia mengatakan kata maaf tanpa rasa bersalah sedikit pun? Kenapa hanya wajahnya saja yang bertambah kharisma, tetapi hatinya menjadi beku luar biasa? 

Dasar, pria br*ngsek! makiku dalam hati. 

“Memang kesalahan apa yang jenengan sesali sampai akhirnya sadar buat minta maaf sekarang?”

Dia mengalihkan pandangannya dariku.

“Banyak, kamu pasti bosan kalau aku nyebutin satu-satu.”

Aku bertambah kesal dengan jawabannya yang kian datar.

“Lalu?”

“Menikahlah denganku karena aku mau menebus kesalahanku.”

Deg!

Tubuhku terhuyung seketika. Jika saraf motorikku tidak bagus, bukan hanya perasaanku yang jatuh, badanku juga ikut merosot ke tanah.

Hatiku sakit, dadaku sesak … bagaimana bisa ada laki-laki yang dengan mudahnya berucap ingin menebus kesalahan, setelah membuat hidup seorang perempuan berantakan? Apa dia pikir, dia bisa mengembalikan reputasi, perasaan baik-baik saja, dan waktuku yang terbuang sia-sia hanya untuk pulih beberapa tahun ini?

“Haha …” Aku tertawa miris dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk.

Ternyata … memang  benar, janganlah mencintai seseorang terdalam, karena sejauh itu pula luka yang akan kamu rasakan, dan itu sangat menyakitkan.

“Apa di sekelilingmu kekurangan Ning yang cantik sampai baru sekarang jenengan inget kesalahan jenengan dan mau menebusnya?” tanyaku lalu menggelengkan kepala dan melangkah mundur.

“Kak, ini bukan drama TV, di mana tokoh utama perempuan bakal nunggu laki-lakinya selama apapun itu meski udah disakiti. Bukan!” lanjutku.

“Kamu salah jika menganggapku akan menerimamu pake tangan terbuka!” 

Nada bicaraku meninggi seiring mataku yang kian panas. Aku bahkan tak peduli jika orang-orang akan mulai memperhatikan kami.

Setelah itu, dia baru kembali menatapku dengan benar. Mata kami sama-sama berada dalam satu garis lurus dan saling mencari kejujuran. 

Aku kemudian menyadari … walau parasnya terlihat lebih menawan, kini tak ada lagi keteduhan. Yang ada di depanku sekarang bukanlah dirinya yang kukenal dulu. Sebenarnya kenapa dia yang tak pernah kubayakan akan kembali, justru datang menemui? Sedang, sangat mudah bagi dirinya saat ini untuk mencari pendamping hidup. Kenapa?

Aku ingin bertanya, tapi ego menahanku untuk tak peduli. Dia sudah menorehkan luka yang begitu dalam, tak ada alasan bagiku untuk menerimanya, apalagi mempertanyakan hidupnya. Sementara, dia sendiri tak mempedulikanku saat aku sedang jatuh-jatuhnya.

“Apa kamu udah punya calon?”

Pertanyaan itu menyentak kesadaranku. Padahal, cukup aku memberinya kalimat sarkas bahwa aku sudah memiliki pasangan meskipun belum menikah, maka semuanya akan selesai sekarang. Namun, kenapa rasanya sulit sekali? Mulutku bahkan tak mau bergerak dan hanya terus tertahan karena sesak.

Tepat pada waktu itu, terdengar sahutan datar dari belakang.

“Ya, Nayla udah punya calon sekarang, Gus Lana.”

Lagi-lagi aku terperanjat. Perasaanku yang tadi sudah berantakan, kini jatuh berserakan. Aku melupakan fakta jika dia yang kusebut pasangan meskipun belum menikah ada di sini sekarang.

“Arsyad?”

Allah … Bagaimana bisa pria yang baru saja kuterima ajakannya menikah dan mantan yang menawarkan pernikahan bertemu di waktu bersamaan? Bukankah ini keterlaluan? Saat dulu aku memohon Engkau tidak memberikan, tapi setelah aku melepas dan ikhlas Engkau justru memberi secara berlebihan?

***

[1] Jenengan: kamu/Anda

Di antara 2 GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang