Sejak insiden Leo membentaknya, Clara menjadi pendiam sampai waktu pulang sekolah. Hari ini ia merasa sanngat lelah karena masalah Leo tadi dan mata pelajaran sekolah yang sangat memusingkan. Matematika, fisika dan kimia ada dalam satu hari penuh. Tadi ia berkali-kali kena hukum karena melamun hingga disuruh mengerjakan soal di papan tulis.
Satu pesan masuk di whatsappnya
Kakak : Mama papa di rumah.
Terlalu singkat bagi Clara. Fikirannya mulai melayang membayangkan apa yang akan terjadi saat mama dan papanya tau akan kepribadiannya yang baru. Ia yang sekarang sangat jauh berbeda dari dulu.
Pesan whatsapp kembali masuk.
Kakak: jangan pulang!
Alis Clara mengerut. Mengapa tidak boleh pulang?. Bayangannya sudah pergi kemana-mana. "Pak, apa kakak ada dirumah?" tanyanya pada pak Danang, sopirnya.
"Ada. Tadi dia lagi buat bangunan kecil gitu, buat ujian praktek kuliahnya, Non."
Clara heran. Mengapa malah menyuruhnya untuk tidak pulang? Apakah karena ada mama dan papa? sayang sekali, ia baru saja membaca novelnya sampai bab 3 saat itu. Jadi ia tak tahu seperti apa lanjutan ceritanya. Kini ia malah bingung meneruskan cerita ini bagaimana. Bagaimana karakter mama dan papanya? Bagaimana karakter sesungguhnya tokoh ketiga? Konflik apa saja yang akan terjadi padannya?
Mobil terpakir rapi di garasi mobil. Clara memaksakan senyumnya di wajahnya. "okey, Clara. Okey ... semuanya baik-baik saja," katanya menenangkan dirinya sendiri yang sebenarnya ia sangat deg-degan. Ia pun keluar dari mobilnya dan masuk ke rumah dengan pelan. Ketika ia baru sedikit saja membuka pintu depan, ia mendengar suara yang jauh dari perkiraannya.
"Kamu nggak ingat masa lalu kita? Seharusnya si Clara itu tidak lahir di dunia ini. Dia itu.. " Suara melengking dan tinggi terdengar jelas di telinga Clara.
"Jangan ungkit itu lagi!" sahut papa cepat. "Masa lalu ya masa lalu. Jangan kamu ungkit hal yang nggak berguna dulu. Basi!" bentak papa dengan menggelegar, membuat mama dihadapannya diam seketika.
Clara mengintip sedikit dari pintu. Ruang tamu yang gabung dengan ruang tengah luas itu membuatnya tak bisa menebak seperti respon mamanya itu. Diam karena takut, atau apa. Karena posisinya yang membelakangi mereka membuat Clara tak bisa mengenali mimik wajah apa yang mereka tampilkan. Yang jelas, kini perasaannya terasa berat, dadanya sesak, jantungnya seolah berhenti berdetak dan tubuhnya seolah kaku ditempat.
"Sebaik apapun dia memang nggak ada baiknya. Karena darahnya juga bukan dari yang baik-baik. Buang saja anak itu!" Mama kembali angkat suara dengan nada merendah. Kalimat itu membuat hati Clara semakin terpukul. Bukankah ia anak mama dan papa? Air mata Clara menetes tanpa ia sadari.
"Kamu kira saya tidak ingin membuangnya?" kata papa dengan nada frustasi.
Bibir Clara semakin membungkam karena tak bisa berkata-kata, bukan tak bisa, tetapi ia tak mampu tuk sedikit saja berucap satu hurufpun, tatapannya nanar tak focus. Sedih, terpukul, kecewa, dan semuanya bercampur menjadi ketakutan yang berlebihan dalam dirinya. Ternyata seperti ini hidupnya.
"Sudah berapa kali juga dia mendapat masalah disekolahnya sampai berkali-kali pemanggilan orang tua? Berapa kali dia diskors? Dan dia nggak pernah sekalipun dapat nilai bagus disana."
Air mata Clara semakin deras saat ia menatap lembaran nilai ulangannya dengan nanar. Sepertinya nilai seratus sempurna kali ini takkan berguna kalaupun ditunjukkan kepada mereka. Ia menghapus air matanya kasar. Saat ia akan meninggalkan tempat itu, suara kakaknya membuat ia mengurungkan langkahnya. Ia kembali mengintip.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELIEVE
Teen FictionClara Amelia tiba-tiba masuk kedalam novel yang telah ia baca dan menjadi tokoh antagonis, Clara Shafira. Permasalahan terjadi beriringan dengan masa lalu yang belum terpecahkan, satu persatu terkuak dan lain sisi tertutup rapat membuat Clara dipak...