BELIEVE 10

2 0 0
                                    

Clara membalik-balikkan buku tentang sincostan yang masih belum ia pahami. Ia berencana akan mencari buku yang mudah dipahami tanpa meminta bantuan orang lain. Namun, sepertinya kali ini ia harus bersikap social. Ia mendengus lelah. Wajahnya yang sejak tadi menunduk itupun akhirnya terangkat usai 20 menit menatap buku.

Dan Clara sangat kaget saat didepannya ada Farel yang menatapnya dengan tersenyum ramah. Jantungnya masih berdegub kencang saking kagetnya. "Lo bener-bener buat gue jantungan." Ia mengelus-elus dadanya.

Farel mendekat. "Serius amat lo bacanya. Paham nggak sama bab bagian itu?" Tanyanya seolah tau kebingungungan Clara.

"Sebenernya gue nggak paham banget," jawab Clara terpaksa mengaku dengan melasnya.

"Gue ajari." Farel menarik tangan Clara untuk duduk disalah satu bangku.

"Dengerin gue dan liat cara gue ngitung!" selanjutnya Farel menerangkan dengan terperinci salah satu soal disana, tidak lupa ia juga memberikan contoh mengerjaan di buku catatan Clara.

"Paham kan?" Tanya Farel usai lama menerangkan.

Clara tersenyum dan mengangguk. "Paham. Thanks ya." Ia kembali menatap soal dan catatan matematikanya dengan serius tanpa memdulikan Farel yang masih menatapnya.

"Lo nggak kepengen balas budi, gitu?" Tanya Farel yang cenderung dengan perintah bukan sekedar berharap.

Clara menoleh dan menatap Farel dengan seringai panjang. "Untungnya lo bukan guru gue. Kalo lo guru gue, satu soal satu kali traktiran, mungkin gue bakal bangkrut." Clara bukannya kesal, ia malah terkekeh kecil. "Oke deh, kali ini gue harus balas budi. Karena bab ini emang gue bener-bener nggak bisa dan baru nanti ada pembahasan saat les." Ia tersenyum lepas.

"Bagus donk."

"Bayar berapa?"

"Gue nggak kekurangan uang, Ra. Gimana kalo lo kasih gue waktu aja?" saran sekaligus mengutarakan keinginan.

Clara memiringkan kepalanya, meneliti apa yang ada dalam fikiran Farel. "Iya. Asal gue ada waktu aja."

"Nanti lo pulang sama gue ya?. Gue ajak lo ke suatu tempat."

Clara berfikir sejenak. Ia menggeleng. "Kalau itu gue nggak bisa. Semenjak gue keluar dari rumah sakit dan amnesia, kakak gue ketat banget dalam urusan penjemputan dan jalan-jalan. Gue aja belum pernah jalan-jalan sama Devina. Padahal udah rencana jauh-jauh hari."

"Kayaknya lo sering pulang sama Leo."

"Karena kakak gue juga udah percaya sama Leo," jawab Clara dengan gelagapan. Ia tak mau karena hal ini memicu kekecewaan dalam diri Farel. Ya setidaknya Farel saat ini menjadi temannya dan ia takkan merusak pertemanan itu. Walaupun di novel menerangkan banyak hal berkenaan dengan Farel.

Farel mengangguk paham. "Gimana kalau akhir pekan? ... Lo ada acara, nggak?"

Kepala Clara menunduk. Ia kembali dibuat bingung dan ragu dengan ajakan Farel kali ini. Sebenarnya akhir pekan kakaknya selalu memberikan fulltime libur tanpa penjagaan ketat. Ia bisa jalan-jalan dengan siapapun dan menanapun. Tetapi hampir tiap akhir pekannya selalu diisi dengan kehadiran Leo dirumahnya. Entah untuk menemani kakaknya main PS, basket, atau mengantarnya jalan-jalan.

Inilah sebabnya ia tak bisa jalan-jalan dengan Devina selama ini. Tiap akhir pekan selalu ada Leo yang mengantar. Daripada malah jalan-jalan bertiga yang membuat suasana akwark dan cangguh, ia memilih selalu menunda. Dan untuk akhir pekan ini, ia tak tau memiliki jam kosong tanpa Leo atau tidak.

BELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang