HARI KE 08

4 2 0
                                    

"Ini bukanlah salahmu."

"Jadi janganlah menyalahkan dirimu," begitu katanya.

Jadi...

...dia memang berfikir seperti itu...

*

"Daniiiish!" teriakku memanggil.

Aku berjalan setengah berlari menuju laki-laki itu. Dia sudah duduk di bangkunya, sendirian di dalam kelas. Tampaknya dia bangun sama awalnya denganku hari ini.

Laki-laki itu mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk. Ekspresi wajahnya tampak kesal dari awal, seakan dia tahu bahwa akulah yang memanggilnya.

Ohoho, dia sudah bisa mengecamku hanya dengan suara. Bukankah itu berarti aku sudah mendapatkan sebagian besar perhatiannya?

"Pagi, Danish!"

Aku menempati kursi di sampingnya yang masih kosong. Karena si Mesum itu belum sampai, aku bebas duduk di tempatnya. Danish pula memberikan wajah kesal saat aku duduk di sampingnya.

Dengan ekspresi yang dia tunjukkan, dia seakan mengatakan, 'pergi sana!'

"Kenapa kau tampak kesal begitu? Apa memang seperti itu sikapmu terhadap seorang teman?" tanyaku bernada polos.

"Kau pikir salah siapa sikapku begini," ketusnya.

Mungkin sikapnya begini karena kemarin aku mati-matian merebut cutter darinya. Dia tidak ingin memberikan cutter yang satu itu, mungkin karena itu miliknya yang terakhir.

"Apa kau kehabisan uang saku di bulan ini?" tanyaku penasaran.

Danish tersentak, lalu memandangku dengan ekspresi heran. 'Bagaimana dia bisa tahu?!', kurang lebih itulah yang wajahnya katakan.

"Hahaha! Danish, wajahmu mengatakan segalanya!" aku tak bisa menahan tawaku.

Dia membuang muka, mencoba menghindari tatap mata.

"Di-diamlah," ucapnya kesal.

Aku tersenyum mendengar ketusan darinya. Sebelum terlintas di pikiranku tentang latar belakang yang dia miliki.

"Lalu, bagaimana dengan orang tuamu? Kau bisa meminta uang lebih, kan?"

Aku tak tahu apakah aku terlalu frontal dengan pertanyaanku. Tergantung yang diberi pertanyaan, aku bisa saja mendapat efek minus dalam upaya pendekatan ini. Dan sebelum apapun itu, pendekatan yang ku maksud adalah sebatas teman.

Aku mengamati lawan bicaraku. Dia tak memandangku, berusaha menghindar, seperti tak nyaman. Melihat sikap itu aku mulai berfikir bahwa aku salah langkah.

"Orang tuaku... tak bisa," ucapnya pelan.

Aku cukup kaget, mataku terasa melebar. Ada cukup banyak variabel tercetus dari apa yang dia katakan, tetapi yang paling ku khawatirkan adalah kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Ah, maafka-"

"Mereka hidup," potong Danish.

"Mereka masih hidup," dia mengulang perkataannya.

Aku menghela nafas lega.

"Ahaha, maaf, pikiranku terlalu jauh."

"Jadi, kenapa tak bisa?" aku lanjut bertanya.

Jujur saja, aku tak terlalu penasaran. Tetapi hal ini mungkin menambah pengetahuanku tentangnya, disamping menambah poin plus dalam bentuk rasa peduli terhadap teman.

100 Days After Meet YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang