Part 11

269 37 16
                                    

Dona memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Skala, terutama Mamanya. Mama Skala menganggap Dona seperti putrinya sendiri, bahkan ingin mereka cepat-cepat menikah agar segera memberinya cucu. Setiap Dona datang ke rumah Skala, pastilah disambut dengan penuh kasih.

"Ini gimana menurut kamu?" Lusiana menunjukkan salah satu konsep yang ditawarkan sebuah wedding organizer di dalam lembaran album foto.

"Bagus, Ma. Aku suka dominasi warna putih sama gold kayak gini, terkesan mewah," sahut Dona menyetujui.

"Nah, iya kan? Mama juga mikirnya gitu. Walau simpel, tapi kesan mewah tetap menonjol." Lusiana mengambil satu album lagi. "Coba kamu lihat dulu semuanya sebelum memutuskan mau yang mana."

"Ya ampun, udah yang ini aja. Mama suka yang ini, aku juga. Kenapa harus cari yang lain?"

Lusiana tersenyum senang. "Kamu itu emang menantu idaman, Dona. Selalu nurut, nggak pernah ngajakin debat. Padahal ini kamu loh yang mau nikah tapi malah Mama yang ngatur semua konsepnya," pujinya.

"Mama, mau gimanapun konsepnya, hasilnya akan sama aja. Yang penting itu, kan, bukan tema pernikahannya, tapi tujuannya. Aku nggak mau nanti ribut-ribut sama Mama cuma karena masalah kecil doang." Dona memang pintar mengambil hati Mama Skala.

"Mama beruntung dikasih menantu seperti kamu. Udah baik, santun dan nurut lagi. Pilihan Skala emang nggak ada duanya," puji Lusiana lagi.

"Mama bisa aja ih, jadi mau terbang, kan?" Dona tertawa geli.

Lusiana melirik jam dinding. "Skala kok belum dateng, ya? Padahal udah jam tujuh," keluhnya.

"Tadi katanya sih udah di jalan, Ma."

"Oh iya Dona, Mami baru ingat. Kata Risya, kamu sakit ya?"

"Hah? Nggak, aku nggak sakit." Dona tidak mengerti, tapi dia tahu Risya itu dokter keluarga Skala.

"Loh, gimana sih? Beberapa hari yang lalu Risya ngasih tau Mama, katanya habis dari apartemen dipanggil sama Skala karena kamu sakit."

Kening Dona berkerut. "Aku, kan, baru aja pulang dari Palembang hari ini, Ma. Udah satu Minggu aku pergi," beritahunya, sekaligus mengingatkan.

"Oh iya ya, kok Mama bisa lupa." Lusiana tampak kebingungan. "Terus itu yang Raisya periksa di apartemen Skala siapa dong?"

Barulah Dona ingat kalau ada Leta di apartemen Skala, dan calon Mama mertuanya itu tidak tahu. "Oh iya aku lupa kasih tau Mama, kalau temen aku tinggal sementara di apartemen Skala," beritahunya pelan-pelan.

"Temen kamu? Wanita? Kok bisa?" Lusiana tampak sangat terkejut.

Dona pun menceritakan kronologinya agar tidak terjadi salah paham. Dari awal hubungannya dengan Leta, hingga permasalahan rumah tangga sahabatnya itu. "Ya jadi gitu, Ma. Ska lagi bantuin Leta buat urus gugatan cerainya, sekaligus sembunyi dari suaminya yang jahat itu."

"Berarti wanita yang dilihat sama Reni di arena bermain anak kemarin itu temen kamu? Mama pikir Reni salah orang, makanya nggak begitu Mama tanggepin."

Skala sama Leta di arena bermain anak? Dona terkejut mengetahuinya.

"Tapi Dona, Mama kok merasa nggak nyaman ya dengernya temen kamu tinggal di apartemen Skala? Meski dia temen kamu, tetap aja bukan saudara yang pantas untuk tinggal bersama di satu atap dengan seorang laki-laki. Apalagi di sana nggak ada siapa-siapa selain mereka." Lusiana tampak tidak setuju. "Walau Mama percaya Skala nggak mungkin macem-macem, tapi kita, kan, nggak tau watak seseorang. Apalagi temen kamu itu, maaf ya ... statusnya akan menjadi janda."

Mata Dona mulai terbuka sekarang. Ucapan Mama Skala ada benarnya. Dia tidak memikirkan ini sejak awal. Bahkan baru satu Minggu dia tinggal saja, sudah banyak yang berubah dari Skala.

***

Skala datang larut malam ke rumah Mamanya, itu pun untuk menjemput Dona. Kini, keduanya sudah di jalan pulang menuju apartemen, lantaran selama Bunda belum pulang Dona akan menginap di apartemen Skala.

"Sayang, kenapa kita nggak nginep aja di rumah Mama? Biasanya juga kalau kita berkunjung pasti nginep." Dona heran Skala mengajaknya pulang saat seharusnya ini momen yang pas untuk mereka menginap.

"Di apartemen, kan, ada Leta sama Kalis. Kasihan dong kalau mereka kita tinggal," sahut Skala.

"Tapi apartemen kamu, kan, aman. Mereka akan baik-baik aja di sana. Toh kita cuma satu malam."

"Kamu gimana sih? Kemaren waktu aku mau nyusul kamu ke Palembang, kamu bilang jangan ninggalin mereka sendirian di apartemen. Aku lakuin sesuai kemauan kami loh."

"Iya sih ..." Dona mengakuinya. "Aku harusnya nggak minta Leta tinggal di apartemen kamu. Semua salah aku."

"Kenapa kamu berpikiran kayak gitu?"

"Tadi aku cerita ke Mama soal Leta."

Skala sontak menoleh pada Dona. "Na, kenapa diceritain sih? Kamu tau, kan, sifat Mama gimana?" erangnya kesal.

"Tadinya mau aku rahasiain, tapi Mama udah terlanjur tai dari orang lain. Daripada Mama salah paham, mending sekalian dikasih tau, kan?"

"Mama tau dari mana emang?"

"Tante Risya. Katanya aku yang sakit, jadi Mama nanya. Terus juga ada laporan dari Tante Reni yang ketemu kamu di arena bermain. Sama Leta, kan?"

Skala terdiam.

"Kamu kok sekarang jadi suka ke luar rumah sih, Ska? Belanja kebutuhan dapur, terus nemenin Kalis bermain. Padahal kamu, kan, nggak suka ke tempat-tempat yang ramai. Setiap aku ajak pasti banyak drama dulu." Dona menginterogasi Skala.

"Ya ... itu karena emang di rumah nggak ada apa-apa buat dimasak. Aku nggak mungkin biarin Leta sama Kalis kelaparan, kan? Terus kalau aku biarin mereka sendirian ke luar, apa nggak berbahaya kalau nanti ketemu sama Bram? Makanya aku temenin." Skala berusaha tetap tenang agar Dona tidak semakin curiga. "Terus soal ngajakin Kalis ke arena bermain itu karena aku kasihan lihat Kalis yang nggak bisa ke mana-mana. Kamu juga pasti ngelakuin hal yang sama kalau jadi aku, kan?"

Dona merasa terpojok, seolah semua yang dilakukan Skala ini adalah hal yang diinginkannya. Memang benar dia yang memaksa Leta tinggal bersama Skala, tapi tujuannya bukan untuk ...

Dona pun tersenyum, bersikap seolah dia baik-baik saja. "Duh, aku mikir apa sih tadi. Kamu bener, aku aja yang berlebihan," tepisnya agar Skala tidak merasa dirinya terlalu childish.

"Na, Leta butuh saksi buat persidangan di kasusnya nanti. Kamu mau bantu?" tanya Skala.

"Ya, mau dong. Aku malah excited banget pengen Leta buru-buru pisah sama Bram. Prosesnya bakalan lama, ya?"

"Karena Bram nolak untuk bercerai jadi agak pelik masalahnya. Tapi aku bakal usahain yang terbaik."

Dona merangkul lengan Skala. "Kamu pasti bisa selesaikan masalah Leta. Nanti saat semuanya udah selesai, Leta bisa hidup tenang dan mandiri. Aku kayaknya mau cariin dia tempat tinggal baru deh," ucapnya.

"Ha?" Skala menatap Dona.

"Iya sayang, kita harus cariin Leta tempat tinggal yang baru dan lebih aman. Kan, nggak mungkin dia tinggal di apartemen kamu terus. Aku yakin Leta akan lebih nyaman kalau tinggal sendirian."

Skala terlihat resah.

***

Mau dilanjut gak?
Kalau mau spam spam spam komen.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 24 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Skandal CintaWhere stories live. Discover now