13

2.9K 340 4
                                    

Sudah tiga hari Edmund bolak-balik dari rumahnya ke apartemen Eris untuk mengurus perempuan itu dan juga bekerja. Edmund tidak seperti Eris yang bisa bebas melarikan diri dari pekerjaannya. West Hotel sudah diakuisisi dan ia tak bisa seenaknya menjalankan perusahaan. Edmund melirik Eris yang hari ini mengenakan gaun sepaha bermotif bunga warna ungu muda. Seperti sebelumnya, Eris selalu mengenakan gaun tanpa lengan karena gaun tanpa lengan lebih mudah digunakan dan dilepas. Walau udara dingin sudah beberapa hari hujan turun tanpa henti, Eris tetap berpakaian tipis seperti itu.

Setiap pagi, Eris masih sering rewel karena merasa kesakitan. Seperti yang Balor katakan, Eris tidak akan mengeluh soal rasa sakitnya, tetapi ia akan bertingkah menyebalkan. Namun, Edmund pikir ia sudah bisa memperbaiki suasana hati Eris. Selain itu, Eris tak pernah mendumal padanya mengenai makanan atau caranya mengganti perban. Edmund belajar dengan cepat soal mengganti perban.

Seperti kemarin, Edmund bekerja di ruang tamu dan Eris membaca novel lain di sofa yang sama dengan posisi duduk berselonjor. Bel pintu depan berbunyi, membuat Edmund mengerutkan kening. Ia melirik Eris sejenak. "Kamu punya tamu?"

"Buka saja pintunya. Itu belanjaanku," kata Eris santai tanpa menatapnya.

Edmund beranjak bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu untuk membukanya. Begitu pintu terbuka, Edmund melihat seorang perempuan memakai terusan hitam berlengan panjang dengan hiasan kancing berwarna emas. Kerah terusannya berwarna merah tua. Di belakangnya, ada dua lelako bertubuh besar mengenakan pakaian yang mirip dengan terusannya, membuat Edmund menyadari jika itu adalah seragam kerja. Perempuan itu tersenyum ketika bertatapan dengan Edmund. Ia membawa tiga kotak beludru ukuran besar dan sebuah kotak beludur berukuran lebih kecil di puncak kotak itu.

"Selamat siang, Tuan. Apakah Nona Eris ada di tempat?" tanyanya sambil tersenyum.

"Ia sedang membaca," jawab Edmund. "Ada yang bisa kubantu?"

"Kami mengantarkan pesanan Nona Eris. Bisakah Tuan menyampaikan ini kepadanya?"

Edmund melirik kotak beludru itu dan mengangguk. Perempuan itu kemudian memberikan kotak perhiasan itu pada Edmund, mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. Edmund menutup pintu, kembali pada Eris yang masih membaca novelnya.

"Kamu membeli sesuatu?" tanya Edmund seraya meletakkan kotak itu ke meja yang kosong.

Eris menutup bukunya, mengambil kotak terkecil dan membukanya. Sementara Edmund kembali duduk di sofa tempat ia duduk sebelumnya. Matanya membulat ketika melihat eris mengeluarkan cincin berlian dari sana.

"Itu cincin asli?" tanya Edmund terkejut.

"Mm-hm," guman Eris menjawab pertanyaan Edmund dan mengenakan cincin itu di jari manisnya. "Cantik kan?"

Edmund menatap kotak beludru biru tua yang memiliki logo tulisan dalam huruf sambung berwarna perak. Matanya melebar ketika menyadari jika brand perhiasan itu tidak pernah melakukan pengantaran kepada pelanggannya. Setahu Edmund, jika membeli secara online, pelanggannya tetap harus datang ke outlet terdekat untuk mengambil barangnya. Namun, mereka mengantarkannya kepada Eris sampai ke depan rumahnya.

"Kamu membeli berlian asli dan mereka mengantarkan ini semua sampai ke depan rumahmu?" Edmund kembali bertanya dengan wajah bodoh. "Bukankah brand itu tidak pernah mengantarkan pesanan?"

"Mereka akan mengantar untuk pelanggan VVIP," jawab Eris acuh tak acuh.

"Aku tidak pernah mendengar soal pelanggan VVIP?" Edmund menatap Eris heran.

"Karena sejauh ini, hanya aku pelanggan VVIPnya."

Edmund masih terheran, tetapi sedetik kemudian menyadari jika Eris adalah perempuan terkaya di kota dan siapapun bisa ia beli dengan uangnya. Ia melirik pada cincin yang Eris kenakan sekarang. Jemari Eris kelihatan kecil dan rapuh, tetapi siapa sangka jika ia adalah seorang pembunuh. Eris menyimpan terlalu banyak kejutan bersama dengan dirinya.

Prettiest EvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang