Nathan dan permintaannya

56 23 19
                                    

tak ada yang benar-benar tahu alasan seseorang mengapa dirinya memilih melakukan hal yang demikian, kecuali orang itu sendiri.

⑅ • ⑅

Zia memasuki area taman belakang sekolah. Ternyata tempat ini tak semenyeramkan yang ada dipikirannya.

Kanopi-kanopi pohon tinggi yang lebat mendominasi setiap sisi taman, mengahalau cahaya matahari untuk masuk, mencipta suasana teduh nan sejuk. Zia juga melihat segelintir siswi di sisi kiri taman, duduk beralaskan rerumputan hijau, bercanda ria.

Gadis itu memasang earphone ke kedua telinganya, berpikir musik akan menemani kesendiriannya di tempat yang jarang terjamah oleh warga sekolah ini. Dia merasa taman belakang akan menjadi tempat kedua yang nyaman setelah ruang perpustakaan. Senyap. Hanya ada suara daun yang melambai terhantam angin dan burung-burung yang hinggap di reranting pohon. Begitupun dengan ramainya suara warga sekolah di depan sana, hanya terdengar sayup-sayup ketika menginjakkan kaki di tanah hijau ini.

Zia berjalan ke sisi kanan. Sejauh mata memandang, dia melihat sebuah kursi taman di sana. Gadis itu pikir di sini hanya ada rumput hijau dan pohon-pohon tinggi serta satu kolam ikan dengan air mancur di tengah taman.

Zia menoleh ke belakang, mengapa pula siswi-siswi itu memilih duduk tanpa alas, sedangkan kursi di sisi kanan taman cukup untuk mereka bertiga. Sudahlah, Zia tak mau peduli.

Tangan Zia menyingkirkan daun-daun kering di kursi yang akan didudukinya. Akan sangat nyaman berdiam di bawah pohon di siang-siang seperti ini.

“Kamera?” Zia menengok ke kanan dan kiri, memeriksa apakah ada orang lain di sekitar sini. Lalu diraihnya sebuah kamera analog yang ditemukannya di ujung kursi tersebut.

Zia mengubah pandangannya—lagi pada tiga siswi yang bersebrangan dengannya. “Punya mereka kah?”

Cekrek!

Refleks Zia menolehkan kepala ke belakang mendengar suara itu.

“Siapa lo?” Oh, Nathan?

“Seorang pria tampan,” sahut Nathan, entah itu menjawab pertanyaan Zia atau memang sekadar ingin mengatakan kalimat tersebut. Cowok itu terlihat baru saja memotret burung kecil di ranting pohon yang cukup rendah dengan kamera ponselnya.

Zia berdecak, tangannya sembari melepaskan satu earphone yang terpasang. Atensinya mengikuti arah burung kecil itu terbang dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon yang lain, terakhir menatap Nathan. “Ngapain lo di sini?”

“Harusnya gue yang tanya.”

Zia mengatupkan bibir. Mungkin Nathan benar, dia yang seharusnya bertanya. Tapi tidak ada salahnya, kan, Zia juga bertanya? Pasalnya gadis itu terheran, mengapa Nathan tiba-tiba muncul di sini. Dan—ah sudahlah!

“Kamera lo?”

Nathan mengangguk.

⑅ 04: Nathan dan Permintaanya ⑅

Kegaduhan kecil sudah biasa terjadi ketika bel pulang sekolah berbunyi dan guru pengajar tidak lagi di kelas. Obrolan basa-basi sesama teman, teriakan bertanya kemana hilangnya penghapus pena atau pensil, bahkan suara decitan kursi ikut serta meramaikan kegaduhan kelas.

Di tempatnya, Zia yang usai mengemas buku-buku dan alat tulisnya kembali memeriksa isi dan kondisi tas berwarna Xanadu kesayangannya.

“Zia, gue duluan, ya? Bunda udah nunggu di depan.” Suara Aya memecah kegiatan Zia.

“Ya? Oh ... iya. Hati-hati, Aya.”

“Sampai jumpa, Zi.” Aya melambaikan tangan, tanda pamit.

Zia membalasnya dengan seulas senyum. Lalu gadis itu kembali memeriksa tasnya. Sudah benar, barang-barangnya tidak ada yang tertinggal atau raib. Zia berdiri sambil lalu menggendong tasnya. Waktunya pulang!

Pal in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang